Ada dua jalan bercabang, sulit bagiku untuk memilih. Lama aku berdiri, dan
membungkuk di semak-semak dan memilih salah satunya. Aku ragu apakah ini jalan yang
benar? Aku mengatakannya sembari menghela nafas. Beberapa saat sebelumnya, aku
melepaskan sepatu hiking ini setelah menyadari bahwa kakiku terluka sangat parah. Sepatu
sebelah kiri terjatuh di dalam lereng yang curam dan mustahil bagiku untuk mengambilnya
kembali.
Aku mendekap sepatu yang lainnya agar tidak terjatuh, namun rasanya sia-sia. Apa
gunanya sebuah sepatu tanpa sepatu lainnya? Tidak ada gunanya. Dia telah menjadi yatim
piatu selamanya, dan aku membencinya. Sepatu ini adalah sepatu yang berukuran raksasa yang dikirim
oleh mantan suamiku beberapa bulan yang lalu. Sepatu coklat dengan renda berwarna merah yang menemani perjalananku selama 60 hari.
Aku mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparnya sekuat tenaga dan menyaksikannya jatuh ke pepohonan yang rimbun.
Aku sendirian dan tanpa mengenakan alas kaki. Aku adalah seorang wanita berusia dua
puluh delapan tahun dan juga seorang yatim piatu. Beberapa minggu yang lalu, aku
memperkenalkan diri kepada seorang lelaki kaukasian dan bercerita betapa buruknya nasibku.
Ayahku adalah seorang alkoholik dan meninggalkan kami ketika aku masih berusia 10 tahun.
Ibuku meninggal saat aku berusia 27 tahun. Kehidupan kami menjadi tercerai-berai
setelahnya.
Pada tahun-tahun sebelum aku melempar kedua sepatuku ke tepi lereng itu, aku juga
berulang kali terjatuh kedalam lereng terdalam dalam hidupku. Aku menjelajahi banyak
tempat sampai akhirnya menemukan diriku yang sebenarnya, tanpa bantuan dari kedua
sepatuku. Aku menemukannya di dunia yang belum pernah aku datangi dan tak pernah aku
ketahui keberadaannya selama ini, dunia yang membuatku terlarut dalam kesedihan dan
kebingungan; ketakutan dan banyak berharap. Dunia yang aku pikir akan membuatku menjadi
wanita dan ibu yang sempurna bagi putriku. Sebuah dunia yang berukuran 5,830 kaki. Sebuah
dunia yang disebut Vescenia.
Aku pertama kali mendengarnya hanya beberapa bulan sebelumnya, ketika aku
melarikan diri dari sebuah pusat rehabilitas di Lagas, sedih dan putus asa pasca bercerai
dengan pria yang masih aku cintai. Aku baru saja keluar dari kafe setelah bertengkar hebat
dengan Eddy, sahabatku. Dia sangat marah mengetahui kehamilanku dengan pria yang tidak
‘ku kenali, aku berada dalam pengaruh obat-obatan kala itu. Aku singgah di sebuah toko
untuk membeli sebuah sekop lipat dan berencana menggugurkan kandunganku. Sebuah buku
berjudul The Vescenia tak jauh dari rak di sebelah tempatku mengantre dan aku mulai
membaca sampul belakangnya. Vescenia, katanya, adalah jalur hutan belantara yang
membentang dari perbatasan Northbury di Scruembridge hingga tepat di luar perbatasan
Ansvale di sepanjang puncak pegunungan Laguna, Nevada, Liebre, dan Cascades. Jarak
menuju ke tempat itu sejauh dua kali lipat saat melintasinya tanpa bantuan kendaraan. Ya,
tidak ada kendaraan yang pernah melewati wilayah tersebut. Vescenia melewati ibu kota yang
berbatasan langsung dengan pegunungan Nevada; melalui gurun dan pegunungan hutan hujan;
melintasi sungai dan jalan raya. Aku membalik buku itu dan menatap sampul
depannya—sebuah danau berbatu yang dikelilingi tebing berbatu dengan langit
kebiruan—lalu meletakkan kembali di rak, membayar sekopku, dan pergi.
Tapi kemudian aku kembali dan membeli buku itu, The Vencenia adalah hal yang asing
bagiku saat itu. Bagian dari diriku terus-menerus meminta untuk kembali dan membacanya
sampai habis. Itu hanyalah sebuah ide yang samar dan penuh misteri yang ingin ‘ku telusuri.
Aku terus menatap peta sembari membaca buku tersebut, dan mempelajari jalurnya
Aku tinggal sendirian di sebuah apartemen di Lagas, pasca bercerai dari suamiku, dan
tidak bekerja kecuali hidup untuk menghabiskan uang yang diberikan Vernor, mantan
suamiku saat kami bercerai. Itu adalah titik terendah dalam hidupku, aku seolah-olah berada
di dasar sumur kering yang dalam dan terus melihat keatas berharap ada yang datang
menolongku. Tetapi, aku sadar bahwa tidak ada yang akan mengeluarkanku dari kegelapan
yang aku pilih kecuali diriku sendiri. Dahulu, aku adalah seorang penulis yang dikenal banyak
orang dan mempunyai seorang suami yang penyayang dan pengertian. Di titik terendah
hidupku, aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku sambil mencoba mengonsumsi
obat-obatan terlarang dan tidur dengan banyak pria.
Aku adalah seorang feminis yang sangat radikal semasa kuliah. Aku banyak menuliskan
hal-hal yang tak aku sukai tentang cara mereka memandang seorang wanita. Tetapi, sekarang?
Aku menyesal pernah menjadi seorang feminisme. Seorang Ibu yang kukenali dengan baik
yang juga merupakan seorang penyintas feminis bersama dengan putrinya, mengambil alih
kebahagiaanku dengan merebut suamiku. Aku menyesali bahwa orang yang selama ini
berkoar-koar tentang hak perempuan tak bisa bertanggung jawab atas haknya yang di ambil
perempuan lain. Gadis itu, aku sangat membencinya, tetapi juga berterima kasih karenanya
aku bertemu dengan seorang pria menawan dan cerdas. Pria itu yang akan menemaniku
memulai petualangan liarku di masa yang akan datang.
Aku merasa bersedih atas segala hal yang menimpaku kala itu—saat aku berjalan tanpa
alas kaki dengan kaki yang luka-luka—rasanya seperti baru kemarin dan kemarin dulu aku
mengalaminya. Tetapi, aku percaya bahwa semua hal yang aku alami sebelumnya telah
mempersiapkan diriku untuk perjalanan ini. Setiap hari, aku tidak tau apa yang akan
menimpaku hari itu dan apa yang harus kupersiapkan untuk hari esok. Sebenarnya, aku sangat
sedih kehilangan kedua sepatuku di lereng kala itu, mereka menemani perjalananku selama
dua bulan, kami melintasi gurun dan salju; melewati pepohonan dan semak-semak;
rerumputan dan bunga-bunga dari segala bentuk, ukuran, maupun warna; berjalan naik turun
gunung dan melewati ladang dan padang rumput; dan berjalan sepanjang hamparan tanah
yang sangat luas. Sementara, sepatu itu berhasil membuat kakiku iritasi dan sebagian kuku
kakiku terlepas.
Saat itu sore hari di pertengahan bulan Mei, dan aku berada jauh dari peradaban manusia.
Beberapa jarak lagi, aku akan tiba di kantor pos untuk mengambil sepatu yang dikirimi oleh
Vernor, mantan suamiku. Aku hampir tak menemui seorang pun disini kecuali beberapa
pendatang yang melintas dengan kendaraannya. Aku sendirian disini. Aku menatap kakiku
yang berjalan tanpa alas kaki, mereka tampak pucat dan luka yang memanjang sepanjang urat
kakiku. Ada rasa ingin pulang dan lelah, akan tetapi aku sudah terlalu jauh berjalan dan
sampai ke titik ini dan tak ingin putar balik ke kehidupanku yang dulu. Hanya satu yang aku
tau. Terus berjalan.