Raja mengernyitkan keningnya, karena Rani memakai pakaian bututnya lagi pagi ini.
"Ganti bajumu!" Seru Raja dengan nyaring tepat di hadapan Rani.
Rani mendongakan wajahnya, ditantangnya tatapan Raja.
'Aku tidak tuli!' Sengitnya meski tanpa suara, tapi mimiknya menunjukan kekesalannya.
"Bik Yunah, Biiikk!" Seru Raja dengan suara menggelegar, membuat Rani menutup kedua telinganya.
Bik Yunah datang dengan tergopoh-gopoh.
"Ya Tuan"
"Singkirkan semua pakaian butut Rani dari dalam lemarinya! Buang, bakar, terserah mau diapakan!" Perintah Raja.
Spontan tangan Rani melayang memukul d**a Raja dengan cukup keras sebagai tanda protesnya.
'Jangan dibuang!' Meski tanpa suara jelas terlihat kekesalan di wajahnya.
"Untuk apa menyimpan pakaian butut seperti itu!" Mata Raja menantang tatapan Rani.
'Jangan dubuang!' gerak bibir Rani terlihat bergetar, matanya berkaca-kaca.
Pakaian butut itu adalah apa yang tersisa dari musibah tanah longsor itu. Pakaian yang dulu dibelikan Ayahnya, meski sudah pudar warnanya, tapi sangat berharga bagi Rani.
Melihat air mata yang mulai mengaliri pipi Rani, Raja tidak tega juga.
"Baiklah, kamu boleh menyimpannya, tapi tidak boleh lagi memakainya, sekarang ganti bajumu!" Perintah Raja terdengar sangat tegas.
Rani menganggukan kepalanya, ia tidak ingin bersitegang dengan Raja. Cukuplah Raja membatalkan niatnya untuk membuang pakaiannya.
Rani masuk kembali ke dalam kamarnya, diambilnya pakaian yang dibelikan Raja untuk dikenakannya.
Saat Rani ke luar dari kamar, Raja dan Bik Yunah sudah tidak ada lagi di lantai atas. Cepat Rani menuju ruang makan, ia tidak ingin Raja marah karena harus menuggunya selesai sarapan.
"Nah itu lebih bagus! Kamu harus belajar untuk berpenampilan lebih baik lagi, nanti siang aku jemput kamu, kamu perlu ponsel, kamu perlu bedak, lipstik, atau apapun itu namanya"
Cerocosan Raja membuat Rani mengernyitkan keningnya.
'Untuk apa dia sampai mengurusi soal lipstik dan bedakku' batin Rani.
"Jangan berpikir aku melakukan ini karena aku mulai memperhatikanmu Rani, semua kulakukan karena aku tidak ingin kakek berpikir kalau aku tidak mengurusmu, kamu juga harus belajar banyak hal, agar tidak membuat kakekmu malu saat orang-orang tahu kalau kamu itu cucu tunggal kakekmu!"
'Tuhkan, perhatian yang dia berikan terhadapku itu cuma untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untukku, dasar pria egois! Dia ini jenis pria yang suka bermain-main dengan wanita, tapi giliran wanitanya ingin serius dia malah menghindar, iiih kasihan banget wanita yang tadi malam, pasti sakit hati karena ucapan si Tuan Raja ini' batin Rani, yang semalam mendengar percakapan antara Raja dan Vonny.
Sambil menyuap makanannya, Raja masih saja berbicara tentang perubahan yang harus dilakukan terhadap dirinya.
Meski Rani tahu tujuan Raja mengatakan itu untuk kepentingan Raja sendiri, tapi buat Rani itu pasti berguna untuk dirinya juga.
Tapi yang membuat Rani bingung, adalah kenyataan kalau Raja itu ternyata banyak omong, tidak pendiam seperti dugaannya.
Selesai sarapan mereka segera berangkat ke rumah kakek Rani.
"Aku sudah memerintahkan orangku untuk mengurus kepindahan sekolahmu, kamu akan bersekolah di sekolah milik kakak Ibuku, aku rasa karena kamu tidak tuli, kamu tetap bisa berbaur dengan lingkungan di sana, kamu sudah kelas tiga kan?"
Rani menganggukan kepalanya dengan mata berbinar. Kembali bersekolah adalah hal yang paling diinginkanya, ia bisa bertemu dengan teman sebayanya. Tapi kenyataan kalau ia tidak bisa bicara lagi membuat keceriaannya surut seketika.
'Bagaimana kalau aku tidak di terima di sana?
Bagaimana kalau aku diejek dan dihina?
Bagaimana kalau aku dijauhi dan tidak ada yang mau berteman denganku?' Batin Rani gelisah.
Tanpa sadar air mata mengaliri pipinya.
Melihat wajah Rani yang tertunduk dalam membuat Raja penasaran, kenapa tiba-tiba kecerian yang diperlihatkan Rani tadi lenyap seketika.
Raja meraih dagu Rani dengan jarinya.
"Kenapa menangis!" Serunya, seakan ia tidak suka melihat Rani menangis di hadapannya.
Rani menepiskan tangan Raja, lalu menghapus air matanya.
'Aku tidak apa-apa' gerak bibirnya mengatakan itu, dan Raja mulai terbiasa dengan cara mereka berkomunikasi seperti ini.
"Tidak apa-apa? Menangis itu pasti ada sebabnya Rani!" Seru Raja cukup nyaring seakan Rani terganggu pendengarannya.
Rani memukul lengan Raja dengan kesal.
'Aku tidak tuli!' Katanya tanpa suara seraya menunjuk telinganya dan menggoyangkan telapak tangannya. Tatapan dan mimiknya jelas menunjukan rasa kesal luar biasa karena Raja selalu bicara dengan keras di hadapannya.
"Sorry! Sekarang katakan kenapa kamu menangis?" Raja menurunkan nada suaranya.
'Aku senang bisa sekolah lagi' kata Rani yang terbaca dari gerak bibirnya oleh Raja.
"Semoga urusannya cepat selesai, jadi senin depan kamu bisa masuk sekolah"
'Aamiin' Rani menadahkan kedua tangannya ke atas lalu mengusapkan telapaknya ke wajahnya.
Keceriaannya kembali terlihat di mata dan wajahnya.
"Bagaimana keadaan ibumu?" Tanya Raja tiba-tiba.
'Hmmm mulai memberi perhatian lagi, kira-kira yang ini motifnya apa ya' batin Rani.
'Lebih baik' gerak bibir Rani mengatakan itu, dan Raja terpaksa harus lebih sering memperhatikan bibir Rani saat mereka mencoba berkomunukasi tanpa notes dan polpen.
'Bibirnya merah tanpa pemerah, pipinya juga merah tanpa blush on meski sangat chubby, alisnya terukir bagus tanpa di sulam, bulu matanya lentik dan hitam tanpa pelentik bulu mata dan maskara, hidungnya terlihat mancung tanpa perlu di shading, dagunya lancip tanpa perlu tanam benang, ehmm ternyata dia manis juga, hanya raut wajahnya terlihat sangat kekanak-kanakan, khas ABG, tapi ABG yang hidupnya sudah dipenuhi dengan kesedihan dan kepedihan hidup, ya ampuuun! Kenapa aku jadi memperhatikannya! Memujinya! Jangan mulai menyukainya Raja, dia tidak sebanding dengan dirimu, meski kakeknya kaya, tetap saja dia hanya gadis kampung, udik, ndeso, dan katro!' Batin Raja tengah bergelut dengan dua sisi yang tengah dirasakannya.
Tiba di rumah kakek Rani, Raja menyempatkan diri bertemu dengan ibu mertuanya.
"Selamat pagi ibu" sapanya pada Bu Lina, diciumnya punggung tangan ibu mertuanya. Rani melakukan hal yang sama plus mengecup kedua pipi Ibunya.
"Selamat pagi, kalian sudah sarapan?"
"Sudah ibu" jawab Raja.
"Ibu senang, Nak Raja mengijinkan Rani datang ke sini untuk menemani ibu"
"Tapi mungkin mulai minggu depan Rani tidak akan bisa lagi tiap hari menemani ibu"
Jawab Raja.
"Kenapa Nak?"
"Minggu depan mungkin Rani akan kembali bersekolah Bu, dia sudah kelas tiga, sayang kalau tidak diteruskan"
"Tapi sekolah mana yang mau menerima murid yang sudah bersuami Nak Raja"
"Ibu jangan khawatir, sekolahnya milik kakak ibu saya, jadi Rani akan bisa menyelesaikan SMA nya di sana"
"Terimakasih Nak Raja, terimakasih banyak, kamu sudah mengurus Rani dengan baik, dia tampak sangat cantik dengan pakaian barunya" puji Bu Lina sambil menatap kagum pada putrinya.
Tapi Rani justru tengah mencibir pada Raja.
'Iih pintar berakting juga ternyata dia, hmm pintar apa lagi ya dia, selain pintar main perempuan, pintar memilihkan pakaian, pintar menginterfensi orang, dan pintar berakting!' Batin Rani.
"Mbak, baik-baik sama Bang Raja ya, Mbak harus nurut sama dia, jangan kecewakan dia, jangan kecewakan almarhum Ayahmu ya..."
Rani memeluk ibunya, ingatan tentang Ayahnya selalu membuat jatuh air mata mereka.
"Tapi kalau Rani sekolah lagi, itu artinya keinginan Ibu untuk menimang cucu harus tertunda ya" gumam Bu Lina kemudian.
Raja dan Rani saling pandang, tidak ada satupun dari mereka yang menanggapi ucapan Bu Lina.
"Ehmm Ibu, saya permisi ingin ke kantor dulu" pamit Raja cepat, ia tidak ingin pembahasan tentang cucu terus berlanjut, diraihnya tangan Bu Lina dan diciumnya punggung tangan beliau.
"Hati-hati di jalan ya Nak Raja"
"Iya Bu terimakasih, Rani nanti siang aku jemput, kita makan di luar sekalian kita belanja untuk keperluan sekolahmu" kata Raja pada Rani.
Rani hanya menganggukan kepalanya saja.
"Antar Bang Rajamu ke depan Mbak"
"Tidak usah Bu, biar Rani di sini saja, saya permisi, selamat pagi" Raja melangkah keluar dari kamar Bu Lina diikuti tatapan penuh rasa terimakasih dari ibu mertuanya.
"Nak Raja pria yang baik ya Mbak" puji Bu Lina.
Rani hanya menjawab dengan senyumannya.
'Baik karena ada maunya, baik karena ada pamrihnya, baik karena ingin mencapai tujuannya, baik...tapi munafik!!' Batin Rani.
*