BAB 7 : Intero Ga Si

1062 Kata
Mungkin ini akan menjadi yang pertama kalinya aku tidak minat si botak kembar karena memikirkan masalah pekerjaan. Astaga, kenapa bisa aku seceroboh ini? Bahkan setelah memukul kepala berulang kali, rasa sakitnya tidak bisa menyembuhkan semua rasa kesalku. Seharusnya, aku menyiapkan alasan-alasan palsu saat ditanyai Mas Ayden tentang parfum pemberiannya. Namun, otakku benar-benar buntu sehingga setelah memasak makan malam tadi, aku hanya duduk di depan meja sambil menopang dagu. Sesekali mengambil snack dari toples, atau sekedar memukul kening saat perasaan kesal datang lagi. Oh Tuhan, aku bisa gila jika seperti ini terus. Lebih dari dikeluarkan dari tempat kerja, apa tanggapan Mas Ayden nanti saat bertemu denganku? Aku menggigit ujung kuku bingung memikirkannya. Bagaimana jika dia berpikir aku memata-matainya? Astaga, gelar malaikatku bisa hilang di mata Mas Ayden saat itu juga. Oh Tuhan .... Aku mengetukkan kepala di meja. "Kamu kenapa, Ayya?" Tubuhku membeku seketika saat suara berat Mas Ayden menyapa telinga. Bergerak slow motion, aku menoleh ke arah Mas Satya yang duduk di sofa setelah mengambil camilan. "M-Mas?" Aku triple terkejut melihatnya sudah ada di rumah, dalam keadaan sudah berganti pakaian, dan sangat santai. "Kok aku nggak sadar Mas udah pulang? Aku belum siapin air hangat tadi." Aku baru setengah berdiri, dan Mas Ayden menahan tanganku. Aku yang terlalu semangat ingin memberikan pelayanan ekstra dan dia yang terlalu kuat menahan sehingga tubuhku terpental mundur dan jatuh. Tubuhku langsung menegang setelah dengan kurang ajarnya mendarat di pangkuan Mas Ayden. "Saya sudah mandi, tidak perlu repot," kata Mas Ayden tepat di belakang telinga kiriku. Aku langsung meremang. "Kamu kayaknya sibuk banget sampai nggak perhatiin saya masuk tadi," lanjutnya. "Kamu butuh sesuatu atau mau beli sesuatu?" "N-nggak." Meski sangat nyaman, aku takut terlena jika duduk terlalu lama di tempat haram itu. Aku langsung berdiri tegak, lalu menyelipkan anak rambut di belakang telinga. "Maaf, tadi aku lagi banyak pikiran," kilahku. "Karena itu, mungkin kamu mau cerita?" "Masalah ringan, kok." Aku harus segera melarikan topik obrolan ini. "Aku udah siapin makan malam, Mas." Mas Ayden langsung berdiri, dan aku berjalan lebih dahulu menuju ruang makan. Diikuti seperti ini, setelah adanya masalah tadi siang, aku jadi sangat grogi. Apalagi, aku merasa, Mas Ayden sengaja memperkecil jarak antara kami. Setibanya di meja, aku langsung mengambilkan piring, lalu menyajikan makanan sesuai porsi biasanya untuk Mas Ayden. Ia duduk tenang menunggu di kursi favoritnya, sementara jantungku krasak-krusuk menunggu disidang. Aku mempercepat penyajian makanan ini, lalu memberikannya pada Mas Ayden. Aku merasa 2% lebih lega setelah duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Mas Ayden. Lalu menyajikan makan malam untuk diri sendiri dengan kepala menunduk. "Ayya ...." Mas Ayden memanggil sebentar. Seluruh indraku langsung tajam, sehingga detak jantung terdengar double kerasnya. Aku langsung mematung di tempat menunggu ucapan Mas Aiden selanjutnya dengan otak yang membeku. "Saya cuman mau cerita, ya. Jangan tersinggung, oke?" Aku meneguk ludah secara kasar mendengar pembukaannya. Dahiku terasa lembab, dan tubuh benar-benar sulit bergerak. "Sudah dua kali saya bertemu perempuan, yang kalau diteliti, itu mirip sekali sama kamu. Yang pertama di restoran, kedua di kantor saya. Bahkan, parfum si perempuan itu mirip sama yang saya berikan ke kamu." Mas Ayden memasang wajah berpikir, sedikit mendongak. Sementara bawah mataku mulai berkedut. "Itu bukan kamu, kan?" Lalu, ia menatapku tajam. Seluruh sel-ku membatu sekarang, tidak bisa berpikir cepat tentang alasan yang bisa aku berikan. Hanya 1 solusi yang ditawarkan otak: aku jatuh ke lantai dan menutup mata lemas. "Ayya!" *** Ada dua hal yang aku jengkelkan sekarang: Mas Ayden yang kelewat perhatian sampai harus memanggil dokter untuk pingsan pura-puraku ini; dan aku yang tidak kunjung tertidur meski sudah menutup mata hampir 1 jam. Aku benar-benar khawatir Mas Ayden bisa membaca sandiwara murahan ini. "Dia tidak apa-apa, Pak. Semua kondisinya normal," ucap dokter perempuan tersebut. Untuk mengecek keadaan, aku sedikit mengangkat kelopak mata kanan. Mas Ayden menempatkan kepalan tangannya di depan bibir, cemas. Uh, manisnya. Seandainya pria itu mencintaiku, hidup ini akan sangat sempurna. "Tapi dia pingsan, Dok," keluh Mas Ayden yang secara tiba-tiba saja melirik padaku. Aku langsung merapatkan mata lagi. "Mungkin kelelahan, Pak. Biasanya, begitu. Mungkin karena pekerjaan rumah tangga ditambah pekerjaan lain, tubuh seseorang bisa down, dan pingsan." Untung saja dokter hanya bisa memeriksa kondisi fisik, bukan membaca pikiran. "Usahakan, jangan terlalu bebani istri Anda, ya, Pak. Di usia muda seperti ini, sangat rentan stres jika pekerjaan dan tekanan menumpuk," lanjut si dokter. Kok kasihan sama Mas Ayden yang seakan jadi sasaran penyebab aku begini, ya? Padahal, ini cuman pura-pura. Jangan salahkan Mas Ayden-ku! "Baik, Dok." "Ini vitamin, silakan tebus ya, Pak, supaya imun istri Anda kembali membaik." "Terimakasih, Dok." "Kalau begitu saya permisi, Pak. Selamat malam." "Malam." Mas Ayden kenapa tidak antar dokternya keluar, sih! Padahal, aku pegal pura-pura begini. Sedikit saja, mau bergerak membetulkan bantal di pinggang yang sangat mengganggu. Encok sudah kalau lima menit bantal itu belum aku pindahkan. Tuhan ternyata mengabulkan apa yang tidak aku inginkan. Karma karena sudah berbohong pada suami sendiri. Mas Ayden malah terdengar mendekat. Lalu terakhir aku rasakan, ia duduk di sampingku. Menempelkan tangannya di kening dengan sangat lembut. Tuhan, plis, bekukan bibirku sekarang ini agar tidak tersenyum. Doa itu dikabulkan, tetapi malah berimbas dengan debaran jantung yang benar-benar keras. Semoga Mas Ayden sedikit mengalami gangguan pendengaran malam ini saja agar tidak mendengarnya. Oh apa ini? Semakin lama Mas Ayden menempelkan tangannya, semakin pipiku terasa hangat. Astaga-astaga. Jangan sampai memerah. Aihhh .... Aku semakin merasa pegal karena menahan senyum. Mungkin, sudah cukup pingsannya. Aku harus bangun agar bisa menyingkirkan bantal yang mengganggu ini, dan segala godaan Mas Ayden yang terkutuk ini. "Apa karena pertanyaan tadi kamu pingsan, Ay?" Eih ... tunda dulu buka matanya. Mas Ayden tiba-tiba bahas kejadian tadi. Mampus aku. "Tapi apanya yang salah? Saya hanya penasaran tentang perempuan itu, dan kamu," bisiknya lembut. "Ah, apa yang saya pikirkan. Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah sampai lelah seperti ini. Saya mungkin cuman terlalu sering memikirkan kamu, jadi menganggap orang lain adalah kamu." OMG, dia sering memikirkan aku? Plis, ini godaannya semakin berlipat. Sudut bibirku berkedut kesulitan menahan senyum. Sumpah ini dia sering mikirin aku? "Kamu istirahat, ya?" bisiknya kemudian, tepat di samping telingaku. Embusan napasnya menggelikan sekaligus mengejutkan. Aku sedikit tersentak kaget. Tempat tidur kembali bergerak, lalu terdengar suara langkah, dan terakhir pintu bunyi dikunci. Aku langsung bangun, bersorak tanpa suara. Untuk hal sepele ini, aku sangat gembira. Demi apa? Demi apa dia sering memikirkan aku? Astaga .... Aku benar-benar .... Pintu tiba-tiba terbuka. Aku membatu. Dia tersenyum. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN