BAB 8 : Yuk, Pisah!

2082 Kata
Aku duduk diam di tempat sampai Mas Aiden berdiri di hadapan. Sama sekali tidak berani melirik Mas Aiden yang sudah memergokiku tadi. “Saya khawatir sama kamu tadi.” Mas Aiden mengusap rambutku dua kali. Lalu memasukkan kedua tangannya dalam saku celana training yang ia pakai. “Kamu bisa turun ke bawah? Kamu belum makan malam. Atau saya bawakan ke sini?” Ini seriusan dia tidak tanya apa pun mengenai sandiwaraku. Untuk sekelas Mas Aiden yang cerdas, apa dia tidak bisa mengetahui sandiwaraku? Jika iya, aku sangat bersyukur akan hal itu. “Nggak papa, Mas. Tadi cuman pusing aja,” jawabku lemah, seraya memijit pelipis pelan. “Mas udah makan? Maaf banget, ya? Karena aku, Mas jadi keganggu makannya.” “Tidak masalah. Mau makan di sini? Saya bisa bawakan.” “Nggak usah, Mas. Nanti aku turun, kok. Sekarang cuman mau istirahat sebentar,” jawabku pelan. “Semalam tiba-tiba nggak bisa tidur, jadi mungkin gara-gara itu tadi aku pingsan.” “Ya sudah, istirahat.” Mas Aiden merunduk memperbaiki posisi bantal, sekaligus membantuku berbaring. Ia juga menarik selimut hingga sebatas d**a. Aku tersentuh lagi dengan perlakuannya ini, kemudian tersenyum tanpa diminta. “Terima kasih,” ucapku tulus. “Hm.” Mas Aiden tersenyum sebentar lalu berbalik, kemudian dari kamar. Aku langsung lemas di tempat tidur. Menendang-nendang tidak jelas karena terlalu girang dengan setiap sikap Mas Aiden padaku. Astaga .... Mataku terpejam erat, kemudian mengangkat kedua tangan berdoa. Ya Allah, please, kabulkan doa aku yang satu ini. Jangan sampai suamiku itu belok, aku tidak ikhlas lahir batin dunia akhirat. Dia terlalu uwu untuk menyukai sesama jenis. Lagipula, aku lebih menarik daripada rekan kerjanya itu. Jangan butakan Mas Aiden sehingga tidak melihat bidadari seperti diriku. Aamiin. Aku mengubah posisi menjadi menyamping saat pintu lagi-lagi terbuka. Mas Aiden datang dengan membawa sebuah nampan berisi makanan. Lagi, hatiku menghangat karena sikapnya ini. Mas Aiden meletakkannya di atas nakas. Ia mengambil sebuah benda pipih berwarna hitam dari nampan. Ponselku. “Dari tadi bunyi, saya pikir ada yang sangat penting di sini.” Begitu penjelasan Mas Aiden saat menyerahkan ponselku. “Kamu makan dulu sebelum tidur, ya. Di situ juga sudah ada vitamin yang direkomendasikan dokter. Untungnya saya selalu stok di lemari obat.” “Makasih, Mas.” “Hm. Sama-sama.” Mas Aiden keluar lagi. Entah kesibukan apa yang dia lakukan di luar sana, karena seharusnya, sekarang dia di kamar sibuk melanjutkan pekerjaan. Atau, dia sekarang sudah bebas chatting-an dengan Zul karena aku tidak ada? Aihh ... aku langsung menyesal pura-pura pingsan jika begini akhirnya. Aku bangun, turun dan duduk di lantai. Mengambil nampan untuk makan malam sambil mengecek ponsel. Tumben, Arsya—teman SMA— menghubungiku. Arsya M. P P P P Woe Mau ikutan reuni, nggak? Besok kumpulnya. Ayyana B. Keana Kok mendadak? Nggak ngabarin dari kemarin:/ Arsya M. Sorry ae. Gw baru inget lo ternyata temen gue sekarang Ayyana B. Keana Bang*** Arsya M. Eh, omongannya dijaga:) gw laporin ke suami lo, mampus! Ayyana B. Keana Gimana ya? Kamu halal banget buat dikata-katain Arsya M. Awoakwoakwoak Ngakak sampe nikah sama bities Ayyana B. Keana Garing Arsya M. Jadi, mau kagak? Gw cuman pesen 13 tempat ae kalau Lo nggak mau ikut. Lumayan hemat tempat Ayyana B. Keana Aku ikut!! Nggak mau tau mau ikut!! Jam berapa? Aku pikir, besok tidak akan masuk bekerja karena dipecat, dan identitasku hampir dibongkar Mas Aiden, jadi refreshing bersama teman SMA lumayan membantu. Arsya lalu menyebutkan alamat dan jam kumpulnya. Aku mengirim stiker jempol, lalu mematikan data. Menyantap makan malam dengan tenang, lalu tidur. *** Baru sampai di tempat reuni, aku langsung terkejut melihat jumlah orang yang ikut bukan 14 orang—termasuk aku—tetapi lebih dari itu. Dari beberapa mereka tampak asing. “Wee ... si telat udah nyampe.” Arsya langsung menyambut, dan semua pandangan mengarah padaku. Arsya memberikan isyarat agar aku duduk di sampingnya. Setelah duduk, aku langsung berbisik. “Ini kok banyak yang asing, ya? Mereka siapa?” “Oh ini.” Arsya semangat menjelaskan. “Masing-masing mereka bawa pasangan, jadi ya gini, banyak.” “Kok nggak bilang bawa pasangan?” ucapku kesal. “Ya kali gue sendirian yang nggak bawa pasangan, Ay. Jadi, ya gue nggak bilang ke elo biar lo juga kelihatan jomlo,” jawab Arsya. Aku menatapnya malas. “Tapi aku nggak jones kayak kamu!” “Halah, terima aja. Suami lo juga pasti sibuk kerja, jangan diganggu! Lagian, ada si Melly juga yang nggak bawa suami.” Aku langsung melirik ke arah Melly yang duduk di sudut. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman reuni dengan dia karena di sekolah dulu, bisa dibilang kami bersaing jadi most popular di sekolah. Melly langsung memasang ekspresi masam, memainkan jemarinya di pinggir gelas berkaki di hadapannya. “Jangan bahas-bahas suami, gue males banget,” kata Melly lesu. “Minggu depan udah sidang perceraian. Capek gue nikah sama dia.” “Loh, kenapa, Mel?” Husna yang duduk di hadapan Melly bertanya penasaran. Melly semula menatap kami sejenak, lalu menunduk mengembuskan napas perlahan. “Dia belok, suka cowok juga.” Semua otomatis langsung terkejut, menganga, dan nyaris tidak percaya mendengar jawaban ketus Melly, sementara aku tegang di tempat. “Kok? Astaga, padahal, kalian baru nikah sebulan.” Bella yang duduk di sampingku menyahut. Melly berdecak, bersandar di kursinya. “Nggak bisa dipertahanin, Bell. Gue bicara sama sepupu gue yang dokter, yang kayak gitu nggak bisa diobatin, karena itu bukan penyakit.” Aku meneguk ludah kasar. Melly masih melanjutkan, “Daripada tersiksa batin ngelihat suami gue sama cowok lain, ya mending pisah aja. Kalau ditunda terus, gue bisa makin cinta sama dia, dan bakalan susah lepasinnya kalau udah cinta banget.” Aku tersengat oleh kata-kata Melly. “Duh, sabar ya, Mel.” Husna mengulurkan tangan, menggenggam tangan Melly untuk menguatkan. “Thanks.” “Terus, kenapa dia nggak cerita dari awal, Mel? Seenggaknya lo nggak bakalan repot urus pernikahan, nggak repot urus perceraian. Astaga, ini nih yang bikin gue nggak mau nikah!” timpal Arsya. “Lo mah emang nggak laku, Sya!” ucap yang lain. “Dia nggak mau cerita buat nutupin masalahnya itu. Dia mau nikahin gue juga supaya orang lain ngiranya dia itu normal, padahal ... gitu," jelas Melly. Mendadak, reuni yang aku pikir akan menjadi peristirahatan lahir dan batin ini akan berlangsung tenang, malah menjadi ketegangan sendiri untukku. Semua yang diceritakan Melly juga aku alami. Bahkan setelah hampir setahun pernikahan, aku tetap diam karena berpikir, dia bisa berubah. Namun, tidak. Karena setelah 11 bulan ini, Mas Aiden sama sekali tidak berniat berhubungan denganku. *** Setelah reuni, aku meminta kontak Melly dengan alasan mau lebih dekat dengannya. Sesampainya di rumah, aku jadi bingung, harus bercerita pada Melly atau tidak. Tapi, kalau aku tidak cerita, aku tidak akan menemukan solusi. Setelah mengatur napas, aku mulai memberanikan diri. Dimulai dengan percakapan basi-basi, aku mulai masuk ke intinya. Ayyana B. Keana Sebenarnya, Mel, aku juga ngalamin hal sama kayak kamu. Langsung di-read detik itu juga oleh Melly. Aku semakin antusias bercerita karena aku pikir dia peduli denganku. Ayyana B. Keana Suami aku juga 'gitu' kayak suami kamu. Rahasiain ini, ya? Udah hampir setahun ini, kami belum pernah nganu-nganu. Melly Geordiana Eh seriusan? Kenapa lo nggak ajak.pisah, Ay? Astaga, kok bisa Lo sesabar itu. Ayyana B. Keana Aku udah cinta banget sama dia:" Dia juga baiiiiik banget sama aku. Jadi aku pikir, aku ada harapan buat dapetin hati dia. Melly Geordiana Big No, Ay! Orang belok kayak gitu nggak bakalan berubah. Percaya sama gue. Sepupu gue ahlinya. Dia bilang nggak bisa berubah kecuali kalau bukan dia sendiri yang mau. Melly Geordiana Gue tanya sama Lo, dia ada niat berubah, nggak? Aku terdiam. Sejujurnya, tidak. Bahkan beberapa hari lalu, saat kami mencoba lagi, dia tetap menolak. Ayyana B. Keana Nggak kayaknya. Kemarin aku coba pancing, dia nggak minat:" Melly Geordiana Pisah! Buruan pisah! Lo cuman bakalan sakit hati, tau, nggak? Kalau lo tunda terus, lo bakalan makin cinta sama dia. Melly Geordiana Pisah sekarang, lo mulai belajar move on mulai sekarang, atau tunda aja terus sampai Lo beneran sakit hati terus depresi! Ancaman Melly cukup menakutkan, dan sejujurnya mulai aku rasakan. Ayyana B. Keana Tapi dia baik banget. Seriusan. Aku nggak tega. Melly Geordiana Kalau dia beneran baik, dia bakalan lepasin lo demi kebahagiaan lo. Lagian, kalian lanjutin nikah pun, nggak bakalan ada yang bahagia. Aku menggigit bibir bawah cemas. Memukul-mukulkan ponsel di kening. Lalu, mulai mengetik. Namun, baru dua kata, aku hapus lagi. Aku benar-benar bingung. Mau pisah dengan Mas Aiden seperti mau ikutan perang. Berat sekali. Namun, benar ucapan Melly. Masing-masing kami tidak akan ada bahagia, apalagi adanya tuntutan dari keluarga mengenai keturunan. Tapi, aku mencintainya. Astaga. Kepalaku mendadak pening memikirkan ini. Memilih memindahkan ponsel ke atas meja, lalu berbaring di sofa. Kedua tangan terlipat di depan d**a, mulai membayangkan hidup tanpa Mas Aiden. Ya, memang aku tetap akan bahagia karena ada Bapak sama Ibu, tapi ... tetap saja. Memikirkan tidak melihat pria itu sehari saja, aku jadi gelisah. Membayangkan pria itu pulang ke rumah dalam keadaan lapar sementara ia harus menyiapkan air hangat sendiri dan tanpa ada yang memasakkan, aku tidak nyaman. Memejamkan mata, aku tiba-tiba melihat bayang-bayang rak pakaian kotor yang menggunung. Sejak mengikuti Mas Aiden, aku belum pernah mencuci pakaian. Aku langsung berdiri, buru-buru ke kamar mandi dekat dapur. Namun, aku sama sekali tidak menemukan kain kotor di keranjang. Apa mungkin aku lupa membawa semua pakaian kotor dari kamar? Astaga ... astaga .... Apa yang akan dipikirkan Mas Aiden jika aku tidak bekerja di rumah? Aku berlari ke kamar, tetapi bersih. Hanya ada pakaian kotor tadi pagi. Aku membersihkan kamar terlebih dahulu, lalu turun menuju halaman belakang tempat menjemur pakaian. Benar saja, tempat gantungan baju sudah penuh terisi oleh pakaian-pakaian kering. Aku langsung lemas di tempat. Tadi pagi tidak mungkin Mas Aiden mencuci karena harus berangkat pagi. Kemungkinan, ia mengerjakan ini semua tadi malam, saat aku dengan nyamannya tidur tanpa beban. Astaga, Ayya. Kamu benar-benar tidak berguna jadi istri. Aku langsung berpikir, Mas Aiden sebenarnya bisa hidup tanpa diriku. Bahkan sebelum pernikahan ini, ia hidup mandiri seorang diri. Papanya sendiri tinggal di kampung halamannya. Jadi, jika kami berpisah, Mas Aiden akan baik-baik saja. Aku mengumpulkan semua pakaian, membawanya ke kamar untuk dilipat. Sembari itu, aku menguatkan hati untuk melepaskan Mas Aiden. Ini yang terbaik, untuk kami berdua. Setelah semua pekerjaan selesai, aku kembali mengirim pesan pada Melly. Ayyana B. Keana Kamu ngomong apa pas minta pisah. *** Sebenarnya, aku mengajak Mas Aiden mengobrol saat makan malam. Tapi melihat dia tidak mau dibuatkan kopi—yang berarti tidak akan melanjutkan pekerjaannya, aku memilih waktu saat bersantai saja nanti. “Ay, tadi siang kamu minum vitamin kamu, kan?” tanya Mas Aiden seusai ia menutup makan malamnya. “Udah, Mas.” Dia tersenyum puas mendengar jawabanku, lalu pergi ke ruang tengah. Aku tidak lagi menghabiskan setengah porsi makanan di piring. Memilih minum lalu menumpuk piring Mas Aiden di atas piringku. Membawanya ke dapur. Merapikan meja makan, lalu kembali ke wastafel untuk mencuci piring. Baru setelah itu menyusul Mas Aiden ke ruang tengah. Duduk di samping Mas Aiden, jantungku dua kali lebih keras detakannya. Bukan lagi karena perasaan cinta yang tumpah-tumpah, tapi lebih ke rasa tidak mau berpisah dengannya. “Mas ....” Aku memanggil pelan setelah beberapa menit berlalu dengan pikiran semrawut. “Kenapa? Kamu pusing lagi?” “Nggak.” Aku menggeleng pelan. Diam lagi sebentar. “Mas ... Mas bahagia sama pernikahan ini?” Mas Aiden tiba-tiba langsung menoleh padaku. “Kenapa tanya begitu?” Aku menggeleng kasar. Mas Aiden tersenyum lalu menahan kepalaku dengan kedua tangannya. “Ntar kepalanya kelempar loh,” ucapnya pelan. “Saya bahagia, Ay. Sangat bahagia dengan kehadiran kamu. Kamu tidak perlu menanyakan itu lagi.” Aku menggigit bibir dalam untuk mencegah senyum. Selalu saja ucapannya membuatku terlena. Tapi ... aku sekarang kehilangan alasan untuk bercerai. “Tapi, Mas. Kita nggak bisa begini terus.” Aku melepas tangannya dari sisi kepalaku. Aku tidak tega melihat raut kecewa di wajahnya itu. Tapi, aku tidak tahu kapan punya keberanian seperti ini lagi. “Mas tau, tujuan bahagia kita berbeda. Aku merasa pernikahan kita belum sempurna. Aku juga ditekan sama keluarga buat punya keturunan.” “Kamu tidak bahagia?” Sungguh, aku benar-benar tidak tega melihat wajahnya itu. Ingin rasanya memeluk Mas Aiden dan mengatakan bahwa dia penyempurna hidupku. “Nggak. Cuman, kurang sempurna aja pernikahan kita. Jujur, ini bukan seperti pernikahan yang aku inginkan. Kamu bahkan nggak cinta sama aku, kan?” Maaf ya, Mas? Aku menghela napas berat. “Gimana kalau kita pisah aja, Mas?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN