BAB 4 : Nonton Dua-Satu Plus, Yuk!

1386 Kata
Letak kacamata aku perbaiki sebelum mengambil tas pundak. Setelah mengunci pintu, aku menunggu Adi di depan gerbang. “Bentar. Kamu coba bandingin muka aku sekarang, sama yang di foto ini. Mirip, nggak?” tanyaku sembari menunjukkan layar ponsel. Adi melirik foto tersebut dengan alis berkerut selama beberapa detik, lalu memandangku. Beberapa kali ia melakukan hal tersebut secara berulang. “Nggak mirip, Mbak. Yang ini cantik dewasa gitu,” dia menunjuk fotoku, “kalau Mbak kayak anak ABG, manis.” Aku memukul lengan pria itu dengan map yang kubawa. “Pinter gombal kamu. Pasti banyak cewek yang naksir, kan?” tebakku. “Pinter gombal buat apa, Mbak, kalau ujung-ujungnya mandang harta.” Aku tertawa ringan mendengar curhatan pria itu. Kemudian naik di motornya. Mulai sekarang, dan jika aku diterima bekerja, Adi akan menjadi ojek pribadiku. “Sabar aja. Banyak kok cewek yang nggak mandang harta.” Aku menghibur. “Ada sih, nggak mandang harta karena udah kaya. Tapi mandang fisik lagi, Mbak. Uh, dunia emang nggak adil banget sama saya. Udah jelek, nggak kaya lagi.” “Nggak boleh gitu, ih! Bersyukur aja, kamu setidaknya punya semangat kerja. Itu modal besar buat jadi sukses. Kalau udah miskin, jelek, nggak punya semangat lagi, ya jadi sampah doang.” “Ih, Mbak, nggak boleh ngomong gitu!” Aku tertawa. Tidak lama, kami sampai di depan kantor tempat Mas Aiden bekerja. Aku mulai gugup. “Beneran kan, aku beda dari foto tadi?” tanyaku. “Iya, Mbak. Suer deh,” ucapnya sembari menunjukkan jari telunjuk dan tengah. Kalimatnya itu tidak mengatasi kegugupanku dengan baik. Aku mengatur napas dengan menarik oksigen banyak-banyak. Rambut yang aku lipat ke dalam agar terlihat pendek, diperbaiki sebentar. Rok selutut aku cek, serta kemeja putih. “Kamu bisa pulang dulu, cari penumpang lagi atau makan gitu. Ntar aku telpon kalau butuh kamu.” “Kan Mbak udah sewa saya seharian. Lagian, uang yang Mbak kasih lebih banyak dari yang saya dapetin setiap harinya.” “Yaudah, kerja lagi, biar banyak duit, cepet kaya. Sana, sana!” Aku mengibaskan tangan padanya sembari tersenyum. “Oke deh, Mbak. Kalau saya kaya gara-gara ngojek nanti, Mbak yang bakalan pertama kali saya traktir!” “Aku pegang janji kamu, ya!” Adi tersenyum lebar, lalu membunyikan klakson sebelum pergi. Kini, aku sendiri dengan rasa gugup yang semakin bertambah. Kamu nggak kenal siapa-siapa di sini. Kamu nggak kenal siapa-siapa di sini. Kamu nggak kenal siapa-siapa di sini. Aku terus melafalkan kalimat itu agar bisa bersikap santai. Saat bertemu dengan satpam kemarin, aku tersenyum ramah. “Ada perlu apa lagi, Mbak?” tanyanya sopan. “Mau lamar kerja, Pak.” Satpam dengan nametag 'Supardi' itu langsung menuntunku ke ruang HRD. Namun, di tengah jalan, aku malah diserempet kecil sampai oleng. Untungnya tidak sampai jatuh. “Maaf!” Seruan tersebut nyaris bersamaan terdengarnya saat senggolan terasa. Aku langsung kaku di tempat saat pelakunya itu adalah Mas Aiden. Apalagi, dia langsung menoleh ke arahku. Tambahan menegangkan lagi, dia menatapku lebih dari 3 detik dengan alis sedikit berkerut. Aku meneguk ludah secara kasar. Mas Aiden lalu menggeleng samar. “Maaf, saya tidak sengaja.” Aku tidak bisa merespon ucapannya karena bibirku kaku digerakkan, takut bersuara dan Mas Aiden langsung menangkapku. “Tidak masalah, Pak.” Si satpam mengambil alih. “Silakan lanjutkan, Pak.” Satpam itu menggeser tubuhku yang seperti patung ke samping agar memberi jalan untuk Mas Aiden pergi bersama pria 'istimewa'nya itu. Aku langsung sadar akan tujuan ke mari setelah pria kurang ajar itu tersenyum hangat padaku. Senyuman itu seakan-akan mengatakan, “suamimu sudah aku ambil. Ayo perang kalau mau dapatkan suamimu lagi.” Jadi karena kesal, aku menatapnya dengan tajam. Pria itu langsung berlari kecil mengekor pada Mas Aiden. Dasar benalu! Aku akan membalas dan membuktikan padanya siapa pemilik Mas Aiden sebenarnya. “Mbak!” Teguran dari satpam tersebut mengembalikan kesadaranku. Segera aku menyusul pria dewasa itu masuk ke ruangan. *** Dua Minggu. Aku harus menunggu jawaban diterima atau tidak selama itu, sementara pria yang selalu mengekor pada Mas Aiden terasa sangat mengancam. Seandainya perempuan, bakal kuajak jambak-jambakan sampai botak. Tapi ini pria, aku harus apakan? Tenaga kalah telak lah. Aku menendang secara asal. Lalu berhenti saat suara benda terjatuh terdengar. “Ayya?” Aku langsung bangun dan melihat ponsel Mas Aiden yang terjatuh. Pria itu memandangku sebentar. Aku langsung lompat untuk mengambil ponselnya mengusap layarnya yang terdapat dua goresan. Secara perlahan, aku berhenti menggosok, melihat aplikasi perpesanan yang sedang dibuka Mas Aiden. Chat-nya dengan kontak bernama 'Zul'. “Tidak masalah.” Mas Aiden merebut ponselnya, dan mematikan benda tersebut. Aku semakin gugup. Zul itu, pria menyebalkan tadi, kan? “Maaf, Mas.” Demi menjaga attitude, aku menghapus jejak ekspresi kesal. Kalau ramah, baik, dewasa saja aku tidak menarik, apalagi kalau menunjukkan sifatku yang bobrok. “Aku nggak tau Mas duduk di situ. Soalnya tadi, Mas kan mau kerja.” Tumben-tumbenan dia mau duduk menonton televisi yang menayangkan si botak kembar dari Malaysia. “Sudah selesai tadi.” “Mas mau kopi?” Aku menawarkan. “Atau mau nonton bola? Atau berita?” Aku langsung menarik remot, tetapi dia mencegah. “Tidak perlu apa-apa.” Dia tersenyum tipis seraya menoleh padaku. “Kamu cukup diam saja di situ.” Aku menurutinya, diam-membeku di tempat. Bahkan untuk alur si botak kembar dari Malaysia yang hampir aku hapal pun, tidak bisa aku cerna baik sekarang. Selalu saja, selalu aku gugup di samping pria ini. Aku tidak mengontrol diri sendiri dan detak jantung. Tarikan pelan di rambut membuatku menoleh. Mas Aiden sedang bersandar di sofa sambil memainkan ujung rambutku yang sampai punggung. Aku semakin salah tingkah dibuatnya. “Kenapa, Ayya, semua tentang kamu mirip sekali dengan Mama.” Dia berbisik sangat rendah. “Rambut panjang kamu, cara berbicara kamu, sikap kamu, kebaikan kamu. Semuanya. Semuanya mengingatkan saya pada almarhum Mama.” Kenapa dia mengembuskan napasnya? Apa dia sangat merindukan mendiang mamanya? Aku ikut bersandar dan merangkul kepala Mas Aiden dalam lenganku. Tanganku bertengger di pundaknya. “Apa ini?” “Nggak tau,” jawabku asal sambil terus melihat si botak. Dua bocah itu bahkan tidak sesedih Mas Aiden sekarang saat membahas ibunya. Kenapa pria ini begitu terbawa perasaan. “Aku potong rambut aja?” Aku bertanya, dan dia menggeleng di dadaku. “Jangan. Saya suka kamu begini.” “Tapi kamu jadi sedih kayak gini.” “Cuman perasaan bersalah.” Aku mengerti. Semua orang yang kehilangan orang yang disayanginya akan selalu merasa bersalah karena merasa belum sempat membahagiakan orang tersebut. Sedikit kaku, aku menepuk lengan Mas Aiden. Itu, ototnya bikin salah fokus. Bikin pengen usap-usap manja gimana gitu. “See, kamu beneran seperti Mama.” Aku tertawa ringan. Betul betul betul! Aku melotot mendengar slogan si botak. Itu bukan dari televisi, karena benda besar itu sedang menayangkan iklan aplikasi belanja si oranges. Suara itu dari ponselku, pertanda notifikasi masuk. Salahkan aku yang terlalu menyukai si botak itu. Aku tersenyum kikuk pada Mas Aiden yang mendongak memandangku. Ia menggeser tubuhnya ke sofa yang kosong. Hilang sudah kesempatan manja-manja tadi. Dengan jengkel aku memeriksa pesan dari teman SMA dulu yang masih langgeng sampai sekarang. Zikya Nura P Cansat! Cek video, Girl! Lalu terakhir, ada video yang dikirim Zikya. Aku langsung mengunduhnya tanpa minat. Hanya beberapa detik, lalu aku membukanya sambil bersandar. “Ah ... Ahh ... Ah ....” Aku kalap saat disambut suara tawa yang mirip desahan begitu. Menekan dua kali mau mem-pause, eh malah zoom. Mana volume full. Ah ya, volume. Aku langsung menekan lama tombol volume sampai tidak tersisa. Menoleh ke Mas Aiden, ia menatapku horor. Mata melotot dan mulut sedikit terbuka. “Anu, Mas. Ini aku ....” Aku bahkan sulit menjawab. Citra baikku seakan runtuh seketika. “Ini temen aku yang iseng kirim, Mas. Aku seriusan nggak nonton p*rno.” Aku sangat takut Mas Aiden berpikir macam-macam. Setakut itu sampai aku hampir menangis. Mas Aiden menarikku, menyembunyikan wajahku di dadanya. Aish ... makin malu aku tuh. “Kenapa jadi menangis begini?” tanya Mas Aiden sambil tertawa tanpa suara. Aku tahu, karena perutnya bergetar. “Tidak papa. Jangan menangis.” Gimana nggak mau nangis? Itu perutnya ngeledek banget. Dia tahan tawa! “Ayya ....” Aku malas menjawab. “Nonton film p*rno yuk!” Aku langsung mengangkat wajah sambil melotot atas ajakannya itu. Dia tersenyum tipis tanpa merasa bersalah. “IS NGGAK MAU IH, JIJIK!” Aku langsung kabur ke kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN