BAB 5 : Cinta yang Anjim Banget!

2057 Kata
Hari demi hari berlalu dengan perasaan gelisah. Dua Minggu terlalu lama menunggu jawaban diterimanya aku bekerja. Seharusnya, aku sangat yakin, bisa diterima karena banyaknya prestasi di sekolah dulu. Aku sangat tidak sabar menunggu. Sementara Mas Aiden dan pria itu dari hari ke hari semakin menunjukkan kedekatan mereka. Semakin jengkel karena aku hanya bisa menggigit jari tanpa bisa melakukan apa pun untuk memisahkan keduanya. “Di, kalau kamu punya pacar, terus selingkuh, kamu bakalan ngapain?” tanyaku penasaran. Mungkin, dia yang lebih muda ini lebih tahu masalah percintaan ketimbang aku. “Pertama,” dia meneguk makanannya, “saya nggak punya pacar, Mbak. Kedua, kalau selingkuh, ya tinggalin. Hatinya aja nggak bisa dijaga, Mbak, apalagi jaga perasaan pasangannya.” Aish. Bukan itu jawaban yang aku inginkan. Pisah dari Mas Aiden adalah daftar terakhir dari jawaban masalah ini. “J-jangan pisah juga. Aku nggak siap pisahnya.” “Bukannya ngajarin sesat, ya, Mbak. Tapi seriusan, antara masalah hubungan lain, perselingkuhan itu yang paling bikin sakit hati. Ini cuman saran saya aja sih, Mbak.” Aku diam. Benar yang dikatakan Adi, tapi .... Aku udah secinta itu sama Mas Aiden. Rencana ini akan aku coba dulu. Jika gagal, mungkin berpisah memang jalan yang terbaik. Ah, tidak. Kalau rencana ini gagal, aku akan cari rencana lain. Pokoknya, kalau gagal terus, cari rencana terus. Pisah harus jadi pilihan terakhir. Ponselku berbunyi. Notifikasi e-mail dari kantor yang menjadi pemantauanku saat ini. Mulut aku bekap kuat-kuat saat pernyataan diterima tertulis dalam e-mail tersebut. “Aku diterima. Aku diterima.” Aku sampai lompat-lompat saking bahagianya. “Ya ... Berarti Mbak nggak pake jasa saya lagi?” ucap Adi. “Eh, siapa bilang? Kamu tetap antar jemput aku, ya. Tapi, kalau aku lagi kerja, kamu bisa ngojek di tempat biasa kamu, biar dapat tambahan, biar cepet kaya. Oke?” “Oke deh, Mbak. Terus, abis ini gimana, Mbak?” tanya Adi. “Kayaknya, besok aku nggak bakalan keluar dulu. Mau siap-siap wawancara, sekalian persiapan batin. Huh. Seriusan, gugup aku. Nanti hari Senin, aku kabari kamu lagi, ya?” “Iya, Mbak.” Aku tersenyum lebar lagi. Sekarang, tidak sabar menunggu hari Senin tiba. *** Suara mobil berhenti di samping rumah. Aku memperbaiki rambut, lalu berlatih tersenyum manis. Atau, tidak perlu berlatih. Rasa bahagiaku sudah cukup menampilkan senyum semanis mungkin. Aku berdiri di depan pintu menunggu. Tidak berselang lama, pintu terbuka menampilkan sosok Mas Aiden yang terdiam sejenak. “Assalamualaikum,” sapaku, lalu meraih punggung tangan Mas Aiden. “W-wa alaikumussalam.” Dia menyerahkan jas dan tas kerjanya. “Kamu sepertinya sangat bahagia, Ayya. Boleh saya tahu kenapa?” “Aku kan tiap hari begini, Mas.” Aku mengekor di belakangnya menuju kamar. “Tapi aura hari ini, agak istimewa begitu.” Dia menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Nggak papa kok,” jawabku malu. “Mas mau minum kopi?” “Tidak perlu.” Sudah aku tebak begitu. Mas Aiden hanya perlu kopi jika ada tugas mendesak, selebihnya tidak. Dia sangat menghargai waktu istirahatnya. Hidupnya memang seteratur itu, jadi tidak heran Mas Aiden akan selalu santai dalam situasi apa pun. Aku sendiri jari ketularan teratur seperti Mas Aiden, padahal, dia tidak pernah memerintah atau mengajari seperti itu. Sikap spontan saat seseorang yang disukai melakukan sesuatu, orang yang menyukai akan melakukan hal sama. Mas Aiden masuk ke kamar mandi, sementara aku meletakkan tas kerjanya di atas meja. Kemudian menyiapkan pakaian untuk Mas Aiden. Aku tidak langsung turun ke bawah, tetapi menunggu Mas Aiden selesai mandi. Setelah Mas Aiden keluar, aku mengambil semua pakaian kotornya tadi ke bawah untuk dicuci besok. “Ada pesta apa nih?” tanya Mas Aiden saat masuk ke ruang makan. Aku tersenyum. “Sekali-kali, Mas.” “Saya makin curiga ada apa-apa hari ini.” Dia menarik kursi di depanku. “Ada apa, sih?” “Nggak apa-apa, Mas. Seriusan.” Aku tersenyum hangat, lalu menyajikan makanan di piring Mas Aiden. Semua bahagiaku langsung lenyap saat Mas Aiden malah membuka ponselnya. Dalam posisi berdiri setengah membungkuk ini, aku bisa melihat siapa yang ia kirimi pesan. Zul lagi. Shit lah! Nyesek banget kalau cemburu sama laki-lain lain begini, apalagi orang itu nggak ada menariknya sedikitpun. Aku duduk secara kasar, sampai Mas Aiden mendongak seketika. Merasa bersalah, aku tersenyum paksa. Mas Aiden masih melirik ponselnya, dan mengabaikan makanan di atas meja. Seriusan, rasanya lebih sesak daripada melihat mantanku dulu terang-terangan selingkuh dengan perempuan lain. Karena dulu, selingkuhan mantanku itu cantiknya di atas rata-rata sementara saat itu aku burik asli. Dan sekarang, aku cantik selevel Dilraba Dilmurat, sementara selingkuhan Mas Aiden itu cocoknya jadi pamannya aja. Jadi, aku kesel banget lah. Ponsel sudah Mas Aiden sembunyikan di saku celananya. Dia tersenyum hangat sebelum menyantap makanan di piringnya. Aku sudah kehilangan separuh nafsu makan. Nasi aku masukkan ke mulut dengan malas. Jemari tangan kanan mengetuk-ngetuk meja. Aku mencoba mencari ide untuk memisahkan kedua orang ini. Tidak ada cara yang lebih efektif selain menjalin kedekatan dengan Mas Aiden, sekaligus menyadarkan si tua itu bahwa menyukai sesama jenis itu tidak baik. Ya ... itu cara terbaik. Aku optimis! “Ayya ....” Aku langsung menoleh pada Mas Aiden dengan mulut sedikit terbuka. “Hah?” “Besok ada acara?” Aku dengan mudah menjawab, “tidak ada.” “Mau keluar besok, mau?” Aku langsung semringah, lalu mengangguk. “Bisa-bisa. Ke mana?” Mas Aiden tersenyum lagi. “Ada deh.” Aku semakin melebarkan senyum. Penuh semangat lagi sekarang. Tidak sabar menunggu besok. Jarang-jarang Mas Aiden ajak aku keluar, ah atau bahkan tidak pernah, kecuali nge-date kemarin. Apa yang membuat pria itu jadi dua tingkat lebih manis seperti ini? Ah, aku makin cinta kalau begini. *** “Mau keluar besok, mau?” Yang aku pikirkan saat mendengar ajakan Mas Aiden semalam adalah: jalan-jalan romantis berduaan ke taman, atau ke mana gitu. Tapi, ya dasarnya Mas Aiden tidak bisa romantis, kami hanya bisa ke rumah orang tuaku. Iya, orang tuaku. Kurang romantis apalagi ini? Tempat di mana, kalau mau berduaan nggak ada kesempatan karena Ibu sama Ayah selalu di rumah. “Liat kamu semalam agak aneh, saya pikirnya kamu kangen sama orang tua kamu. Sudah lama juga kan, kalian pisah.” Begitu penjelasannya. Sangat peka sekali. Padahal, aku hanya ingin merayakan kelolosanku kemarin. Ah, tidak ada salahnya juga kalau dipikir-pikir ke sini. Aku juga harus membagi bahagia dengan Ibu dan Ayah. Mas Aiden lalu menggenggam pergelangan tanganku, yang lagi-lagi membuat jantung berdebar tidak beraturan. Padahal, genggamannya ini khas seorang kakak yang takut adiknya tersesat. Aku mengetuk pintu karena Mas Aiden punya bawaan di tangannya yang satu lagi. “Assalamualaikum!” Lalu aku mengetuk lagi. Pintu kemudian dibuka oleh Bapak. Aku langsung meraih tangannya untuk dicium. Mas Aiden melakukan hal sama setelah melepas tanganku. “Assalamualaikum, Pak.” “Wa alaikumussalam. Wa alaikumussalam. Ada apa ini, tiba-tuba datang? Tidak ada masalah kan? Ayya?” Bapak tiba-tiba melirik padaku dengan kacamatanya setengah turun di hidung. “Nggak ada masalah apa-apa, Pak. Mas Aiden yang ajak ke sini,” jawabku cepat. Bapak ini curiga terus sama aku, takut gagal sebagai istri yang baik untuk orang sesempurna Mas Aiden. Beruntungnya, aku cepat beradaptasi dan jadilah Ayyana yang cantik, pintar, baik, dan ramah ini. “Cuman jalan-jalan aja, Pak.” Nah, Mas Aiden ini langsung bahasanya jadi akrab kalau bicara sama yang lebih tua, apalagi dengan Bapak sama Ibu. “Ayo-ayo masuk! Ibu lagi ke pasar, jadi tidak siapkan apa pun.” Bapak tertawa canggung. “Oh, tenang aja, Pak. Tadi, kami udah beli makanan, kok.” Mas Aiden meletakkan semua bawaannya di atas meja. “Ayya kangen, jadi kita mampir ke sini.” “Ayya memang manja, Nak Aiden. Apalagi kalau sama ibunya. Semoga dia tidak merepotkan selama kalian tinggal sama-sama, ya .... Silakan duduk.” “Nggak ngerepotin kok, Pak. Malah, saya yang kayaknya ngerepotin Ayya.” Mas Aiden melirik padaku sambil tersenyum yang sedikit berbeda dari biasanya. Aku balas tersenyum. Iya, ngerepotin banget kelainannya sampai aku harus turun tangan menyelidiki, terus usaha buat dapat solusinya. Dering ponsel memecah obrolan antara kami. Mas Aiden buru-buru mengecek. Aku yang duduk di sebelahnya sangat jelas membaca pesan dari Zul-nya itu. Aku menggeram kesal dalam hati. Dari banyaknya orang, kenapa si Zul-Zul itu yang terus mengirim pesan pada Mas Aiden! “Pak, mohon maaf. Tapi, saya harus pulang sebentar, ada urusan. Nanti malam saya balik lagi ke sini, jemput Ayya.” “Ah, iya, Nak. Silakan.” Bapak dengan santai mempersilakan, sementara perasaanku campur aduk sekarang. Mas Aiden membiarkan aku di sini agar bisa sama si pria tua itu? Hal menjengkelkan apa lagi yang bisa melebihi ini. Aku rasanya ingin ... Argh! Tidak tahu. Mau marah-marah, jelas tidak bisa. Mau melarang, tapi aku ini siapa? Hanya perempuan asing yang kebetulan berstatus istri dari Biru Evaksa Aiden. “Kamu baik-baik saja, Ayya?” tanya Mas Aiden setelah berdiri. Aku sulit untuk berpura-pura lagi, tapi tidak bisa juga marah-marah. “Nggak papa.” “Kalau kamu mau saya tidak pergi, saya tidak akan pergi.” Aku langsung semringah dengar itu. Tapi melihat tatapan peringatan agar tidak merepotkan Mas Aiden dari Bapak, aku langsung luruh lagi. “Nggak papa.” “Yakin?” Mas Aiden yang sepertinya menyadari sesuatu langsung menoleh pada Bapak. “Nggak papa, Mas. Seriusan. Tapi nanti malam, dateng beneran kan?” tanyaku penuh harap. “Iya, sebelum isya, sudah sampai di sini.” Mas Aiden maju selangkah untuk mencium keningku secepat kilat. Aku membatu seketika, sambil melirik ke Bapak. Maafin Mas Aiden ya, Pak, udah ini-itu-anu in anaknya Bapak. “Assalamualaikum.” Mas Aiden pamit setelah bersalaman dengan Bapak. Mas Aiden keluar dari rumah. Tidak lama, mesin mobilnya terdengar. “Woi! Sadar!” Aku terkejut saat tepukan ringan terasa di pundak. Bapak tertawa ringan. Aku balas tersenyum. Sisi malaikat dibuang dulu. Saatnya jadi ... kucing-anjing dengan Bapak. *** Sudah hampir jam sembilan, tapi Mas Aiden belum ada kabar mau sampai di rumah Bapak. Mereka jalan ke mana, sih? Aku makin cemburu di sini. Sudah berulang kali aku menutup seluruh wajah dengan selimut, sambil bersikap tidak acuh pada Mas Aiden. Terserah dia benar datang atau tidak. Terserah, dia jalan sama Zul atau perempuan lain. Tapi, tidak bisa. Pikiran tidak bisa tenang, maka tidak mau terpejam. Aku berniat menelponnya, tapi jengkel juga. Jadi, kupilih memutar musik dengan perantara earphone. Jangan peduli, jangan peduli! Namun, cahaya putih yang menyorot dari jendela kamar membuatku ketakutan. Aku langsung melepas earphone berniat lari. Ketika menoleh, wajah Mas Aiden yang terpampang di jendela. Aku berlatih tersenyum lagi kemudian menuju jendela. “Kenapa nggak lewat pintu depan, Mas?” tanyaku setelah membuka jendela. “Takut ganggu orang tua kamu.” Mas Aiden ambil ancang-ancang untuk naik ke jendela, lalu masuk kamar. Aku segera mengunci jendela dan menutup gorden. “Kamu kenapa belum tidur?” “Nungguin Mas.” Aku tersenyum tipis. Lalu menuju tempat tidur untuk berbaring. Serius, mengingat Mas Aiden bersama si tua itu tanpa pengawasan aku, itu rasanya nyesek banget. Aku bahkan tidak tahu mereka jalan-jalan ke taman mana. Gandengan tangan bagaimana. Kalimat kasing-sayang mereka bagaimana. Dan aku terlalu cemburu walau hanya membayangkan itu. Selimut aku tarik sampai menutupi seluruh tubuh. Tempat tidurku bergerak. Saat aku mengintip, Mas Aiden sudah berbaring miring menghadap aku. “Mas mau pulang?” tanyaku lirih. Walau dalam kesal begini, aku tetap tidak bisa membiarkan dia tidak nyaman sedikitpun. “Kenapa?” “Kasurnya sempit, cuman muat satu orang. Mas nggak bakalan nyenyak tidurnya.” Aku langsung bangun, bergeser ke samping agar Mas Aiden memiliki ruang lebih banyak. “Tidak perlu. Ini cukup kok buat berdua.” Aku tahu, itu bohong. Mas Aiden yang biasanya tidur di kasur king size, tentu tidak akan bisa tidur di ranjang 100 × 200 senti ini. “Aku tidur di bawah aja kalau gitu.” Aku hendak turun, tapi Mas Aiden menarik ujung blouse-ku. “Tidak perlu, Ayya. Kamu tetap di sini. Saya baik-baik saja.” Tangannya beralih menarik pundakku agar berada dalam pelukannya. Dengan tambahan kakinya di atas kakiku, aku benar-benar terkunci sekarang. “Jangan terlalu menomorsatukan saya, Ayya. Saya tidak tahu harus membalas kebaikan kamu dengan apa,” bisik Mas Aiden. Kenapa harus dibalas? Aku ingin menanyakan itu, tetapi suara tersendat dan berubah dalam bentuk Saliva yang kemudian aku teguk. Dari sinilah, aku benar-benar sadar sesadar-sadarnya. Mas Aiden benar-benar menganggapku sebagai orang asing. Semua kebaikan dan perhatian yang dia lakukan hanya untuk mengimbangi perbuatanku untuknya. Satu tetes air mataku lolos begitu saja. Rasanya sekarang ini benar-benar .... anjim banget!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN