•• Happy reading ••
Andara sedang berada di balkon apartementnya untuk mengangkat jemuran pakaian miliknya yang sudah menjadi kerupuk karena terlalu lama terpapar sinar matahari. Dia terlalu asik menonton tv bersama Vante, hingga melupakan bahwa pakaiannya sudah terlalu lama di luar. Walau Vante tidak bisa melihat, tapi dengan mendengar dialog ceritanya, maka Vante akan paham maksud dari jalan cerita dari film tersebut.
"Kelupaan, asik nonton film india tuh kan huhu…," rengeknya sambil membawa jemuran tadi masuk ke dalam apartemennya dan meletakkan di atas karpet untuk segera dilipat. Di saat itu, matanya terfokus pada Vante yang tengah tertidur lelap dengan mulut yang sedikit terbuka.
Andara tersenyum memperhatikannya, sangat menggemaskan jika Vante dalam keadaan tidur seperti itu. Andara pun mengambil remot tv dan mengecilkan volume suara tv agar tidak mengganggu tidur suaminya.
Saat tengah melipat pakaian sambil menikmati tontonan film yang muncul di laya tv, tepat saat itu suaminya mengigau dengan keringat yang bercucur deras di area dahi dan mulutnya yang terus berbicara agar tidak ditinggalkan oleh istrinya. Melihat hal itu, Andara mendekat dan mencoba menenangkan suaminya yang kelewat gelisah di dalam tidurnya.
"Mas Vante." Andara menepuk-nepuk pelan pipi suaminya agar cepat tersadar dari mimpi buruk itu. Tidak biasanya Vante bermimpi buruk di siang hari seperti ini.
"J-jangan pergi! Jangan pergi! I-indira! A-aku… a-aku. Tolong, t-tolong," racaunya terus dengan kesusahan, dalam mimpinya sepertinya ia ditinggalkan oleh Indira.
"Mas! Mas Vante! Mas!" Andara terus berusaha membangunkan Vante dari tidurnya. Walau bagaimanapun, Andara mengerti bahwa mimpi itu pasti sangat menakutkan untuk suaminya lalui.
Tap!
Vante membuka kedua matanya tepat di saat Andara memberhentikan gerakannya. Laki-laki itu terlihat ngos-ngosan dan sedikit sulit mengatur nafasnya yang terasa sesak. Tapi, dilihat dari ekspresinya dia terlihat gelisah dan merasa istrinya telah kabur dari kehidupannya sekarang.
"M-mas.…"
"I-indira…," ucap Vante dengan suara yang kecil, ia langsung duduk dan memeluk istrinya dengan erat. Ada perasaan lega dan nafas yang teratur saat tubuhnya mampu mendekap tubuh istrinya. Perasaan yang begitu nyaman saat tahu istrinya masih ada di dekatnya.
"Mas mimpi buruk?" Andara membalas pelukan hangat suaminya itu. Lalu, memberikan usapan pada punggung Vante agar menjadi rileks kembali.
Vante mengangguk dan sedikit sesenggukan karena mimpinya yang begitu mengerikan terus bermunculan di pikirannya. "Jangan pergi…."
"Aku ga pergi, Mas. Aku disini, okay?" Andara melonggarkan pelukan mereka berdua dan menatap wajah suaminya yang penuh ekspresi terisrat, entahlah… ada sesuatu yang tidak Andara ketahui sepertinya.
Dari pada memusingkannya, dia memilih menghapusi jejak air mata suaminya yang masih penuh menguasai permukaan wajahnya. "Mas, kaya anak kecil, aku suka…."
"Benarkah?" Vante kembali memajukan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di d**a sang istri. "Kaya anak kecil karena apa-apa selalu dibantuin kamu?" tanyanya penasaran. Tentu, bukan itu maksud dari Andara.
"Bukan gitu loh…." Andara memainkan rambut Vante dengan cara disisir dengan jari-jarinya. "Nangisnya kaya anak kecil, jadi gemes. Manjanya juga kalo lagi kaya gini…."
Vante terkekeh mendengarnya, dia tidak menjawab dan beralih fokus menghirup aroma tubuh istrinya yang harum bagai jeruk. Ah, Vante baru tahu jika istrinya mengganti sabun mandi semenjak menikah, padahal dia ingat semasa pacaran dulu, aroma Andara adalah aroma sroberi. Salah satu alasan Vante dulu menyukai Indira karena gadis itu juga sama sepertinya, menyukai stroberi.
"Sabunmu, aku baru tahu," ucap Vante tiba-tiba, ia ingin tahu kenapa Indira mengganti sabunnya.
"Sabunku, ada apa?"
"Kenapa menggantinya dengan jeruk?"
Andara nampak berpikir sebentar, lalu ia menggigit bibirnya dan mengutuk dirinya sendiri yang melupakan salah satu kebiasaan Indira. Dimana, semua yang berhubungan dengan aroma tubuhnya ialah stroberi, berbanding terbalik dengan Andara yang menyukai semua pengharum tubuh yang beraroma jeruk. Ah, sepertinya Andara akan mengalah lagi dan mengganti semua produk kecantikannya dengan aroma jeruk.
"I-itu…. Aku hanya ingin mencoba sabun varia jeruk. Beberapa hari ini aku penasaran pada varian jeruk…."
Vante tampak mengangguk-ngangguk memahami maksud istrinya.
"Kenapa? Mas tidak suka? Nanti, aku akan ganti lagi dengan aroma stroberi," tukas Andara agar Vante tidak curiga dengannya.
"Bukan begitu, aku hanya bertanya. Tidak apa jika kamu menyukai aroma jeruk, tidak masalah, sayang…." Vante mengangkat kepalanya dan mencoba mencium pipi Andara. Tapi, ujung-ujungnya mereka malah berciuman satu sama lain hehe.
Saat sedang asik berciuman, Andara memberhentikannya sepihak, membuat mata Vante bergerak-gerak karena penuh tanda tanya. Ada apa? Kan, Vante masih ingin merasakannya.
"K-kenapa?" tanya laki-laki itu dengan raut wajah sedikit kecewa. Tidak biasanya, istrinya menolak seperti ini.
Andara tertawa mendengarnya dan memberikan kecupan singkat di bibir suaminya. "Aku sedang melipat pakaian tadi, belum selesai. Nanti lagi, ya," bujuknya agar Vante tidak lagi cemberut. Lucu, bibirnya mengerucut seperti mainannya direnggut oleh orang lain.
"Yaaahhh," sahutnya dengan nada kecewa.
"Cup cup cup…." Andara memeluk Vante dan memberikan ciuman terakhir di leher laki-laki tiu. "Nanti, istrimu menyelesaikan ini dulu ya."
Berakhir, Andara yang fokus lagi pada pekerjaannya melipat pakaian. Tanpa sadar, dia mungkin telah membuka lebar hatinya untuk sosok Vante. Tapi, dia lupa satu hal, bahwa Vante tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya, dia hanya tahu jika rasa cintanya semakin besar untuk sosok Indira.
Setelah pekerjaannya selesai, ia kembali bersantai dengan Vante, lebih tepatnya melanjutkan aktivitas mesranya yang tertunda karena si beruang gemoynya akan merajuk jika tidak dituruti kembali. Begitulah, aktivitas Andara yang mengurus Vante tanpa lelah, berharap jika suatu saat itu tiba, Vante akan mengerti kenapa Andara berkorban sedalam ini.
Suatu saat, jika hari itu tiba, hari dimana semua kebohongan ini terkuak, maka Andara akan ikhlas. Hatinya akan siap menerima konsekuensi dari perbuatannya dan akan pergi dari kehidupan pernikahan ini jika Vante menginginkan itu. Walau hanya dia yang mencintai dalam hubungan ini, itu tak apa. Andara senang karena bisa membantu Vante untuk bangkit dari rasa terpuruknya akibat kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawa laki-laki itu.
Sejatinya, pengorbanan itu nyata adanya, jelas peraaaanya dan tulus hatinya. Tidak peduli seberapa banyak pengorbanan Andara nanti, bukankah hanya hasil yang akan dinilai nanti? Bukankah hanya kesalahan Andara yang akan dipertanyakan nanti?
Semoga Vante mengerti dan memahami bahwa Andara ada bukan karena merebut tahta yang seharusnya milik Andara. Andara ada karena garis takdir yang ada memang sepatutnya begitu. Andara ada karena dia tidak ingin mengecewakan penantian Vante yang ingin membina keluarga kecil bersama pasangannya kelak. Nyatanya, Indira tidak sepaham itu untuk mengerti keinginan Vante, gaya hidupnya berbanding terbalik dengan Vante sejujurnya.
***
"Maaf ya, Mas ngerepoti kamu terus. Apa-apa jadi kamu yang serba urusin. Nyusahin ya ternyata nikah sama Mas?"
Andara menarik pedal gas dan mulai kembali mengemudi mobil bmw-nya dengan hati-hati. Sejak dari tadi, Vante selalu mengatakan kata maaf dan mengucapkan rasa bersalahnya tiada henti. Jujur, Andara sedikit kesal mendengarnya. "Udah?"
Vante meneguk salivanya dengan susah payah, hari ini mood istrinya sedang tidak bagus. "Euhm? Lagi merah?" tanyanya dengan ragu, soalnya Vante hafal jika nada bicara Indira kelewat dingin, tandanya wanita itu sedang datang bulan.
"Heuh…." Andara membuang nafasnya dengan helaan panjang. Ternyata, Vante tidak mengerti konteks pembicaraannya apa. Benar, jika dirinya sedang datang bulan, tapi sekarang tengah membahas perkataan Vante yang selalu mengucapkan rasa bersalah dan meminta maaf berulang kali.
"Udah ngomongnya, Vante Adinan?" Jelas, nada bicara istri dari Vante ini sangat dingin dan menakutkan.
"Jangan marah…," lirih Vante dengan memainkan jari-jarinya untuk menggambar di kaca pintu mobil yang ada di sebelahnya. "Nanti, jika aku b-bisa meli-"
"Vante!" potong Andara cepat agar Vante berhenti melanjutkan ucapan konyol itu. Bukan itu maksud Andara, dia bukan kesal karena alasan itu.
"Indira…."
"Aku kesal bukan karena kamu yang minta anter kaya gini, Vante. Aku kesal dan marah ketika kamu ngomong rasa bersalahmu ribuan kali dan tanpa henti ngucapin kata maaf." Andara menepikan mobilnya dan berhenti sebentar. Tangannya meremas kemudi setirnya untuk melampiaskan emosinya sejak tadi. "Memang tidak salah jika kamu memiliki rasa bersalah dan ingin meminta maaf. Tapi, tolong jangan berlebihan, Vante Adinan," tukas Andara dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.
"Sayang…."
"Aku itu istri kamu, aku ga pernah direpotin sama kamu. Kamu minta anter aku senang, kamu minta jemput aku tambah senang. Jadi…" Andara menggantungkan kalimatnya dan melirik ke arah Vante sebentar. "Jadi, jangan pernah anggep aku kesel sama kamu. Jangan pernah bilang kaya gitu lagi, oke?"
"O-oke…." Vante tampak menundukkan pandangannya ke bawah. Ia sedih karena dimarahi oleh Andara, walaupun sebenarnya Andara memberi nasehat yang baik. Padahal, dia ingin Andara mengerti bahwa dirinya benar-benar tidak ingin merepotkan siapapun.
Tanpa menggubris lagi, Andara melajukan mobilnya dan fokus pada jalanan. Sehingga, hanya tercipta keheningan di antara keduanya. Vante yang memilih diam karena takut dan Andara yang tidak mood untuk berbicara lagi.
Setelah hampir 12 menit perjalanan, Andara memarkirkan mobilnya di area sebuah kafe besar yang merupakan milik Vante. Kafe itu diurus oleh beberapa teman Vante semenjak laki-laki itu sibuk bekerja di sebuah perusahaan sebagai manager. Namun, hari ini resminya Vante mengundurkan diri dari pekerjaannya dan berfokus pada kafe yang dikelolanya bersama para sahabatnya.
Andara mengeluarkan handphone-nya dan mencoba menghubungi salah satu teman Vante, yaitu Dhika.
"Mas Dhika," sapa Andara saat sambungan telepon terhubung dengan si penerima. "Aku udah diluar, Mas Vante nungguin disini. Cepet, ya, hehe…," ucapnya pada Dhika yang membalas dengan mengatakan iya sebagai persetujuan.
"Galak," celetuk Vante saat Andara mematikan sambungan teleponnya bersama Dhika. Dia mengatakan Andara galak karena wanita itu sama sekali tidak menegurnya lagi atau bahkan melepaskan seat belt untuknya.
"Apa?" tanya Andara dengan ketus pada suaminya. Selanjutnya, dia dengan suka rela melepaskan seat belt milik Vante.
"Galak dan pemarah!" ledek Vante lagi dengan suara khasnya yang sedang merajuk, membuat Andara menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah suaminya itu.
"Aku tidak galak, hey," bela Andara. Dia mencoba menarik lengan Vante agar kepala laki-laki itu menoleh ke arahnya walau sedikit.
"Galak!" Lagi, Vante terus mengatakan Indiranya galak.
Set!
Pintu mobil Vante terbuka, pelakunya ialah Dhika yang baru keluar dari kafe. Sontak, Vante terkejut karenanya.
"Nanti aku jemput lagi, muah." Andara mencium pipi kanan Vante dengan berani, walau disana ada Dhika yang melihatnya.
"Ya," respon Vante, dirinya membalas pernyataan Andara dengan dingin juga, gantian katanya. Melihat hal itu, Dhika mengernyitkan dahinya atas sikap Vante. Tidak biasanya Vante berperilaku merajuk pada seorang wanita termasuk Indira. Iya, maksudnya Dhika tahu jika istrinya Vante itu adalah Andara.
Namun, posisinya Vante hanya tahu istrinya adalah Indira. Nah, bukankah Vante selalu mengalah jika berdebat dengan pujaannya, kenapa hal ini terlihat berbeda? Vante tahu siapa istrinya sebenarnya?
Mari, melupakan itu sejenak.
Akhirnya, Andara melajukan mobilnya ke arah selatan dan pergi mengunjungi apartemennya yang sudah lama tidak berpenghuni. Disana, pekerjaanya sebagai seorang penulis n****+ tidak terkontrol dengan baik.
Sebab, semenjak ia menikah dengan Vante, ia harus selalu sembunyi-bunyi pergi ke apartemennya ini karena yang Vante tahu Indira bukanlah seorang penulis.
***
"Kau aneh sekali hari ini, Te. Tidak biasa…," lontar Dhika yang menuntun Vante untuk duduk di sofa dalam ruangan mereka yang sering dijadikan untuk tempat berkumpul.
"Ada apa?" Itu, suara Naresh yang ikut ke dalam percakapan mereka. Di sudut ruangan terdapat Arshad yang fokus pada pekerjaannya sendiri. Memilih untuk diam dan mendengarkan saja, itu lebih baik.
"Itu, Vante ngambek sama Andara," jawab Dhika dengan gamblang. Dia melupakan sesuatu sepertinya.
Uhk!
Naresh terbatuk seketika, lalu memelototkan kedua bola matanya pada Dhika. Mengkode pria itu untuk segera meralat ucapannya barusan.
"A-ah, maksudku, Vante ngambek sama kakaknya Andara, si Indira. Tumben ga sih? Kaya anak kecil tadi kuliat," potong Dhika cepat untuk memperbaiki suasana yang terjadi.
"Andara? Kenapa kau mengatakan Andara?" Pertanyaan itu keluar secara reflek dari mulut Vante.
"Itu hanya salah bicara," timpal Naresh untuk memperbaiki keadaan. Dia takut, jika Vante semakin curiga setelah ini. Tapi, Vante langsung mengangguk-ngangguk paham. Naresh kembali berbicara. "Lalu, ceritakan pada kami kenapa kau merajuk pada istrimu? Tidak seperti biasanya kata Dhika? Ada apa?"
"I-itu. Aku merasa aneh. Kalian tahu aku bukan tipe orang yang suka bersikap seperti itu pada wanita. Semenjak menikah, aku merasa Indira banyak berubah dan lebih sering bercanda. A-aku seperti menikahi wanita lain dan…." Vante memberhentikan ucapannya, membuat ketiga sahabatnya saling bergantian bertatapan karena penasaran, termasuk Arshad.
Arshad berinisiatif bertanya lebih dulu. "Dan apa, Vante?
"Aku seperti bebas tanpa perlu tertekan. Maksudku, aku seperti leluasa untuk menyampaikan pendapatku padanya. Aku merasa apa adanya tanpa perlu terlihat perfect. Padahal semasa pacaran, aku selalu khawatir pada kehidupanku setelah menikah dengannya. Apa aku akan selalu berusaha bersikap sempurna dan menjadi nomor satu di antara pria lain?"
"Sekarang, apa yang kau rasakan?"
"Bahagia karena bisa apa adanya di depan istriku…. T-tapi aku merasa itu bukan seperti sifat Indira yang sesungguhnya? Atau memang Indira telah berubah banyak?"
Naresh, Dhika dan Arshad saling melempar senyum, mereka tahu dengan benar, bahwa Vante memang sangat cocok mendapatkan istri seperti Andara.
Setelahnya, Vante menanyakan kembali pertanyaan yang membuat sahabatnya sulit berkutik.
"Aku tidak salah menikahi orang, kan? Itu, Indira Jeo, kan?"
•• To be continue ••