•• Happy reading ••
"Kau luar biasa, waw." Rania itu menepuk pundak salah satu teman yang ada di sampingnya.
"A-aku…. Aku hanya wanita bodoh dan mau diperalat," sungut Andara dengan hati yang sudah kelewat lelah. Objek pandangannya tertuju pada cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya. Harusnya, cincin itu terpasang elok di jari manis Indira, pasti akan cocok karena ukuran yang pas.
Rania tampak menimang-nimang balasan perkataan yang akan ia lontarkan pada sahabatnya itu. "Bukan bodoh..," tuturnya meyakinkan Andara. "Hanya saja, kau terlalu baik..," sambungnya lagi dengan bijaksana. Kedua tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Andara dengan lembut.
Sudah dua minggu berlalu sejak hari upacara pernikahan Andara dan Vante digelar. Sekarang, sahabat-sahabat Andara pulang ke tanah air untuk bertemu dengan dirinya. Mereka sedikit mengambil cuti lebih lama agar bisa menemani Andara yang mulai kesepian dan hampa karena tidak memiliki sandaran kuat sebagai tempat berkeluh kesah.
"Aku tidak berpikir panjang, Ran. Aku tiba-tiba saja mengiyakan karena aku kasihan pada Mas Vante," lontar Andara dengan melafalkan ribuan kata maaf di dalam hati untuk suaminya. Maaf karena telah menerima pernikahan hanya karena kasihan pada laki-laki tersebut.
"Bukankah kau menyukai laki-laki itu sejak dulu?" Kini, Arum yang menyeletuk tiba-tiba sambil membawa tiga cangkir kopi ke arah meja yang disinggahi Andara dan Rania. Benar, mereka sedang melakukan pertemuan di sebuah kedai kopi langganan mereka.
"Apa katamu?" Andara menaikkan satu alisnya karena penasaran. Perkataan Arum terlalu cepat dan sulit didengar dengan baik oleh telinga Andara.
Arum mendecih sebagai respon. Wanita itu meletakkan minuman yang ia bawa ke hadapan dua sahabatnya. Lalu, memilih duduk bersebrangan dari Andara dan juga Rania. "Bukankah kau menyukai Vante Adinan sejak lama, Andara Jeo?" tanyanya lagi dengan mempertegas objek yang sedang dibahas.
"Aish!" Andara menyenggol kaki Arum dengan ujung kakinya yang hanya berbalut sandal tipis santai ala anak muda.
Arum dan Rania hampir meledakkan tawanya karena respon Andara yang terkesan membenarkan pertanyaan yang Arum ajukan barusan.
"Tuh kan," ledek Arum sembari menggoda Andara dengan menaik turunkan kedua alisnya bersamaan.
"Mulutmu besar sekali, Arum!" ujar Andara yang semakin sebal dengan godaan dari Arum. "Itu cerita lama, jauh sebelum Mas Vante sama Kak Indira pacaran. Sekarang, beneran murni aku ga ada perasaan sama Mas Vante." Tangannya bergerak mengambil pesanan yang dibawakan Arum tadi dan meminum dengan ganas bak manusia yang tidak minum berhari-hari. Dari rona wajahnya, Rania dan Arum tahu betul, bahwa sahabatnya itu tengah malu dan salah tingkah. Bukankah sangat enak menjahili Andara seperti ini?
"Ya, terus? Sekarang sama saja, kan? Kau bisa mencintai Vante lagi tanpa perlu mengalah pada Indira." Rania menyuarakan pendapatnya dengan logis, memang dia pandai membaca situasi. Dia juga setuju jika Andara harus berjuang merebut hati Vante seutuhnya.
"Mas Vante hanya menyukai kakakku. Lagian, ini pura-pura, kan?" Mata Andara jelas terlihat tidak fokus, bola hitam itu bergerak-gerak mencari objek yang tepat untuk dilabuhkan. Berbeda dengan suasana hatinya yang jauh berbanding terbalik dari ucapannya barusan.
"Mau sampai kapan? Suatu saat juga akan terbongkar, kan?" Arum menatap Andara dengan serius, mencoba memberitahu bagaimana dampak dari semua kebohongan ini kedepannya.
"Aku tidak menyukai Mas Vante. Berhenti mengatakan padaku hal-hal seperti itu."
"Andara!" Rania menyentuh pergelangan tangan Andara. "Kau harus memikirkan kebahagiaanmu juga. Jangan hanya karena kasihan kau mengorbankan hidupmu seperti ini. Jika hari itu tiba, maka Vante harus tahu bahwa kaulah yang ada di sisi dia selama ini," tukasnya dengan nada yang begitu tinggi, membuat Andara hampir meledakkan tangisannya. Benar, kenapa Andara harus mengorbankan kebahagiaannya demi orang lain? Bukankah mencintai diri sendiri itu yang lebih penting?
Arum mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya berulang kali. "Ini pernikahan Andara, sakral. Bukan arena bermain yang bisa kau tinggalkan ketika sudah lelah dengan isi permainannya."
Lagi, Andara terdiam dibuat oleh perkataan kedua sahabatnya ini, pundaknya menurun dengan lemas tanpa bisa ditahan dengan sebuah tombak.
"A-aku…."
"Kenapa?" tanya Rania saat Andara terlihat semakin gugup mengatakan sesuatu untuk disampaikan.
"Katakan saja," timpal Arum.
"Aku tahu perbuatan ini salah. T-tapi, tapi Ibu Hanaya sangat tertekan dan terluka atas sikap kakakku yang egois. A-aku tidak suka melihat Ibu Hanaya menangis, apalagi saat tahu Mas Vante frustasi karena t-tidak bisa bertemu Kak Indira…."
Kedua wanita yang mendengar keluhan Andara itu tampak saling menatap dan menghembuskan napasnya bersamaan.
"Kalau begini, y-ya gimana, ya…." celetuk Arum yang sepertinya mengibarkan bendera pasrah.
"Terus bagaimana sekarang?" Kini, Rania yang frustasi memikirkan nasib sahabatnya ini kedepannya. Dia itu tahu, Andara adalah tipe yang akan terus mengalah pada apapun. Jujur, sifat Andara yang seperti ini, sedikit membuat Rania geram padanya.
"Aku akan terus berpura-pura menjadi Kak Indira," jawab Andara dengan yakin tanpa keraguan.
"Terus, jika dia sudah bisa melihat lagi?" Arum menumpukan dagunya diatas meja, menatap lekat sahabatnya dari tempat yang sedikit rendah.
"Aku akan jujur dan menerima semuanya."
"Jika dia tidak terima dan malah membencimu?" tanya Arum lagi.
"Cerai. Aku tidak apa-apa."
Lalu, Arum kembali ke posisi semula dan menyandarkan punggungnya di daun kursi. Kedua tangannya terlipat di d**a dan masih ingin memberikan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut pada sahabatnya itu.
"Jika dia ternyata menerimamu dan mencintaimu, apakah kau masih akan denial kalau kau tidak suka pada Vante Adinan?"
Andara reflek mengangkat kepalanya dan menatap Arum yang tengah memperhatikannya juga. Pertanyaan itu…. Andai saja benar terjadi jika Vante akan menerimanya di saat itu tiba.
Sebelum menjawabnya, Andara menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Dia harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Arum. "I-itu…"
"Katakan saja," bujuk Rania. Dia juga ingin tahu bagaimana perasaan temannya itu terhadap Vante yang merupakan seniornya saat berkuliah dulu.
"T-tentu, aku akan menerimanya juga. Tidak masalah, Mas Vante sangat baik padaku s-sejak dulu," jawab Andara pelan, bahkan suaranya hampir tidak terdengar di telinga Rania dan Arum. Buru-buru wanita itu, menyesap lagi kopinya dengan terburu-buru.
"Ekhm!" Arum berdehem untuk menutupi senyumannya hampir meledak. Jelas, Andara sangat mudah dipancing seperti saat ini. Tentu, perasaan itu masih tersisa untuk Vante, walau sedikit.
"Memangnya kau sudah melakukan hubungan suami istri dengan Vante?"
Tras.
Andara hampir menyemburkan air kopi yang ada di dalam mulutnya pada Arum, pertanyaan m***m itu terlontar begitu saja oleh Rania dengan gamblang.
Tentu, pikiran Andara langsung tertuju pada kejadian e****s satu minggu yang lalu. Hubungan yang jika dipikirkan lagi akan sukses mewarnai pipi Andara dengan warna merona karena begitu malu memikirkan kejadian waktu itu.
"Sayang?"
"Euhm," jawab Andara dengan memperhatikan arah kaki Vante melangkah mencari keberadaan dirinya yang sedang berdiri di depan lemari. Andara sedang berganti pakaian dan mengenakan baju rumahan, lebih tepatnya daster. Dia baru pulang dari urusan kerjanya yang menyangkut dengan buku n****+. Vante tidak tahu karena memang menjadi penulis bukanlah pekerjaan Indira.
"Sayang," panggil Vante lagi. Tangannya berusaha meraba-raba benda di sekitarnya saat berjalan. Ia sudah tidak tahan untuk memeluk istrinya karena sudah rindu akibat sejak tadi pagi tidak bertemu.
"Mas, pelan-pelan. Di depan Mas ada keranjang kotor, awas kesandung."
Dug!
Benar saja, kaki Vante menabrak keranjang kotor milik mereka berdua, alhasil keranjang itu memiring jatuh dengan sempurna.
"Awh!"
"Tuh kan," sungut Andara dan berjalan mendekati Vante untuk melihat keadaan kaki suaminya. "S-sakit? Mau adek tiupin, Mas?" tanyanya dengan raut wajah khawatir pada suaminya. Itu juga salah dia, meletakkan keranjang pakaian kotor di tengah jalan.
"Mas gapapa kok hehe. Kok bisa ada keranjang kotor di tengah-tengah kamar. Adek lagi apa?" Senyuman Vante merekah, dia tidak marah, mana mungkin.
"Adek lagi ganti baju, Mas. Makanya adek bawa keranjang kotornya. Sekalian mau dibawa keluar buat ditaruh di mesin cuci." Andara berjongkok dan memungut pakaian-pakaian kotor itu lagi untuk diletakkan dalam keranjang seperti semula.
"Ah, begitu." Vante ikut berjongkok dan membantu istrinya tersebut. "Kamu banyak kerjaan? Seharian full kayanya disana." Apakah Vante merasa jealous, sekarang?
"Lagi banyak deadline job. Gimana tadi aku tinggal? Ga susah, kan?"
Vante tersenyum lembut ke arah Andara. "Agak kesusahan tanpa Indira hehe. Lain kali aku akan istriku ini pergi bekerja. Kemarilah…." Vante membuka lengannya lebar-lebar agar istrinya bisa bebas memeluk dengan erat. Ya, Vante tahu istrinya kelelahan dan memerlukan waktu istirahat yang cukup.
Andara pun mengangguk dan menghamburkan tubuhnya memeluk Vante. "Kangen suami ini, hehe….." ucapnya dengan suara yang begitu lembut, membuat Vante terlena karena suara itu sangat sopan mengalir dalam gendang telinganya.
"Muah. Muah. Muah." Vante memberikan banyak ciuman di kepala Andara, lalu berpindah pada dahi wanita itu. "Muah. Aroma minyak telonnya sangat harum."
Andara terkekeh kecil. "Iya dong."
Vante melepaskan pelukannya dan menangkup wajah istrinya. Walau tidak dapat melihat, jelas ia tahu wanita di depannya ini pasti sangat cantik dan menggemaskan. Vante jadi tidak sabar menunggu hari itu tiba, dimana matanya bisa melihat dengan sempurna isi dunia lagi. Ah, harapan itu…. Memang sebuah hal yang sangat diharapkan agar segera datang ke kehidupan Vante.
"Suamiku tampan sekali…," gumam Andara. Tangan kanannya terangkat ke atas dan menyentuh rahang wajah milik Vante. Lalu berpindah mengusap bibir tebal basah milik suaminya. Ada getaran berbeda dan degup jantung yang berpacu dengan cepat.
"Indira…."
"Euhm," jawab Andara. Dia tidak berhenti menatap wajah suaminya yang kelewat tampan dan mempesona.
"Aku…." Vante mendekatkan wajahnya pada Andara. "Aku mencintaimu, Indira," bisiknya dan mencium sekilas bibir istrinya dengan tepat.
Mereka berdua pun berdiri dan masih dalam keadaan memeluk satu sama lain. Mereka juga menyatukan perasaan yang menggebu-gebu itu lewat ciuman dalam yang begitu lama. Hingga, tiba sampai perasaan itu berubah menjadi panas dan b*******h.
Mereka terus berciuman dan kadang saling tersenyum dalam aktivitas itu. Tangan Vante sudah liar dan menyusup masuk ke dalam baju Andara dengan mudah. Lalu, menyentuh kulit punggung Andara untuk diusap pelan.
Hingga, kaki mereka berdua beriringan berjalan ke arah ranjang. Vante membawa Andara untuk berbaring dan laki-laki itu berusaha naik ke atas tubuh Andara. Kedua tangannya bertumpu di masing-masing sisi kiri dan kanan kepala wanita.
Cup!
"Euhm." Andara sedikit meremas bahu suaminya saat eluhan kecil tersebut tanpa sadar terucap melalui mulutnya.
"Eungh," lolos begitu saja dan semakin membuat Vante gesit. Tangannya menjelajah ke area pusar Andara dan kembali ke belakang punggung wanita itu.
Stap.
Pengait bra Andara terlepas akibat ulah Vante. Tercipta senyuman kecil dari sela-sela penyatuan bibir mereka tersebut.
Tiba-tiba Andara menahan kepala Vante dan melepaskan tautan ciuman mereka. Vante sedikit tersentak akibat perlakuan istrinya barusan. Apa ini? Apa Andara tidak mau melakukan hubungan suami istri dengannya? Tapi, kenapa?
"M-mas, mau sekarang?" Pertanyaan yang sangat gugup itu sudah menggambarkan bagaimana memerahnya wajah Andara saat menanyakan hal tersebut pada suaminya.
"B-boleh?" bisik Vante di dekat daun telinga Andara. Alhasil, getaran yang menimpa permukaan daun telinganya terasa sangat geli dan membuat sesuatu dibawah sana sedikit memberontak.
Andara tersenyum tipis. "Boleh, tentu saja."
Vante tersenyum bahagia dan kembali menjatuhkan kepalanya untuk menyatukan kembali bibirnya dengan bibir milik Andara. Selanjutnya laki-laki itu sukses menanggalkan baju Andara dan dibuang ke sembarang arah.
Sore itu, menjadi saksi bisu, dimana cinta yang baru sudah mulai dibentuk. Walau Vante hanya mengetahui bahwa itu sosok Indira. Namun, di hati bagian terdalam telah merasa bahwa hari ini ada cinta lain yang tidak terdefinisi, seperti sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Mereka terus terbuai dalam permainan yang e****s. Pengalaman ini tentu menjadi yang pertama untuk keduanya. Namun, Vante dapat mengatasi dengan baik, terlebih membuat Andara merasa nyaman dan menikmati dengan tenang.
Sore itu, benar-benar tercipta lenguhan panjang yang begitu kentara mendominasi kamar utama mereka. Begitu penyatuan itu berakhir, hanya terdengar suara nafas mereka yang menggebu-gebu.
Vante menaikkan sedikit kepalanya, lalu mengecup sekilas bibir tipis milik istrinya. Dalam napas yang naik turun terlalu cepat, ada raut wajah bahagia yang tergambar dari wajahnya. Ekspresi dan senyumannya yang manis untuk Andara, membuat Andara semakin merasa aman di dekat Vante.
"M-mas…," lirih Andara. Kedua tangannya bergerak menghapus peluh keringat laki-laki itu dengan jari-jarinya. Menyisir ke belakang rambut Vante dan terakhir mengusap pipi pria itu. Dia senang karena Vante bahagia melakukan hubungan itu.
"Terima kasih, aku bahagia," katanya dengan suara beratnya yang terlalu rendah. Dia mengakui kebahagiaannya atas hubungan ini.
"Tentu. Aku juga bahagia, Mas." Senyum Andara merekah lebar berkat Vante.
"T-tapi…. Aku sedikit penasaran. Ini pertama kalinya untukku dan aku telah mengoyak sendiri mahkotamu yang berharga. Bukankah kau bilang waktu itu, kau s-sudah pernah melakukannya sebelum bersamaku?"
Sial. Andara mengumpat dalam hati atas pertanyaan tak terduga yang keluar dari mulut Vante. Bahkan dia tidak tahu mengenai Indira yang sudah pernah melakukan hubungan seperti ini sebelum menikah.
Sial. Indira Jeo telah membawa beban besar untuk Andara. Bagaimana Andara akan mengatasi pertanyaan suaminya ini?
Cinta yang baru tercipta karena mereka sendiri yang mengubahnya.
•• To be continue ••