Bayi

1132 Kata
•• Happy reading •• Bukan tentang siapa statusnya, tapi tentang bagaimana dia yang tetap berada di sampingmu hingga saat ini. "Apa!" Vante menegangkan urat lehernya saat mendengar perkataan Andara yang telah dicium oleh Jaren. Bisa-bisanya Jaren menyentuh milik Vante, padahal jauh sebelum menikah, Jaren sudah diperingatkan untuk menjaga batasan terhadap kedekatannya dengan Indira. Vante? Jaren memang menuruti permintaanmu dan menjaga batasan terhadap Indira. Tapi, ini berbeda karena kau tidak tahu yang sebenarnya. Atau mungkin, di masa depan memang pernyataan itu kau layangkan untuk menjaga Andaramu? Andara mengangguk-ngangguk dengan cairan yang terus turun dari hidungnya, belum lagi perutnya yang mual dan perasaan tubuhnya yang panas karena merasa akan demam. "b******n, k*****t busuk itu! Aku akan menemuinya sekarang. Antarkan aku, Indira! Mentang-mentang aku tidak bisa melihat, laki-laki sialan itu seenaknya menyentuhmu! Sudah kuperingatkan berapa kali padanya untuk menjaga batasan! Jika seperti ini, aku tidak akan mengijinkanmu untuk berteman dengannya lagi!" Vante sudah bersiap melepaskan seatbeltnya yang terpasang rapi. Namun, Andara menahannya. "Jangan, Mas. Aku tidak mau lagi bertemu dengannya. P-pulang saja, k-ku mohon…." pinta Andara lagi memohon pada Vante. "Tidak! Tidak bisa, aku akan mendatanginya dahulu. Sudah kutebak, dia itu menyukaimu dari dulu." Vante berusaha memindahkan tubuh Andara dari atas pahanya. Namun, Andara bersikukuh untuk menetap dan tidak boleh Vante pergi menemui Jaren. "Ku mohon j-jangan…. Mas aku mual, kepalaku sedikit berat dan tidak enak badan rasanya. A-ayo pulang." "Kepalamu pusing, sayang?" Vante menyentuh kepala Andara, raut wajahnya terlihat begitu cemas. Andara mengangguk diiringi seulas senyum karena melihat ekspresi Vante yang begitu perhatian. Andai saja, dahulu Vante melihat ke arahnya sedikit saja, pasti ada peluang untuk Andara menjadi istri Vante lebih dulu daripada Indira. "S-sedikit, Mas. Pulang, ya? Aku tidak ingin bertemu dengan Mas Jaren lagi. Ya, ya?" Vante menghela nafas pasrah, sepertinya mengalah tidak masalah. Lain kali, Vante akan meminta bantuan Dhika untuk mengantarkannya bertemu Jaren. "Ayo pulang," balas Jaren pada akhirnya. "Okay." Andara berpindah duduk seperti semula, dia menghidupkan mesin mobil dan mengemudikan bmw-nya menuju unit apartemennya. Dia mencoba menepis bayang-bayang peristiwa tadi yang melibatkan Jaren. Jadi, apa selama ini Jaren menyukainya? Bukan indira? Tapi, kenapa? Entahlah, Andara tidak ingin ambil pusing kembali. Semakin dipikirkan malah membuatnya semakin membenci sosok Jaren. Andara memilih fokus pada kemudi setirnya, sesekali ia melirik ke arah suaminya. Terlihat, suaminya seperti melamun, laki-laki itu tidak berbicara sedikitpun dan tampak memainkan sisi jari telunjuknya untuk digosok pada bagian bibir bawah. "M-mas?" Tidak ada sahutan, Vante sepertinya tidak mendengar karena pikirannya sedang menerawang jauh. "Mas," ucap Andara lagi. Tetap saja, Vante tidak menggubris panggilan istrinya. "Hummh," gumam Andara dan membiarkan Vante terus melamun hingga tiba di kediaman mereka. *** "Indira?" "Ehm," sahut Andara dari balik dapur berukuran sedang, dia tengah merebus daun teh untuk diminum bersama Vante setelah ini. Vante meraba-raba arah jalan dengan tongkat yang dipakai, dia berjalan ke sumber suara Andara. "Katanya pusing, tidak enak badan, kok di dapur?" Andara menuangkan teh yang direbus itu ke dalam dua gelas keramik couple yang diberikan Arum sebagai hadiah pernikahan. Walau hadiah sederhana berupa gelas, namun harganya sangat mahal dan juga limited edition. "Cuma pusing sedikit, istrimu ini sedang buat teh, Mas. Udah mandinya?" "Udah. Mau makan apa malam ini? Nanti kita pesan bersama-sama," ajak Vante. "Ayam goreng ya, Mas. Aku mau itu, hehe," pinta Andara, lalu berbalik untuk membersihkan sisa-sisa daun teh yang sedikit berserakan di bar meja dapurnya. "Uhm, okay." Vante yang sudah tau posisi istrinya dimana, nekat memeluk Andara dari belakang. Belakangan, ia terlalu candu dengan aroma tubuh istrinya yang beraroma jeruk itu. Jujur, dulu ia sangat menyukai aroma stroberi dan dia menyukai gadis dengan aroma tubuh yang seperti itu, makanya dia menyukai Indira. Tapi, setelah menikah ini ternyata aroma jeruk tidak kalah enak dari si stroberi. "Apa?" tanya Andara. Dia tahu, Vante pasti ingin bermesraan dengannya. Sudah terdeteksi, bahkan hembusan nafasnya seperti terburu-buru menahan sesuatu. "Gemes sih…." "Nanti, ya. Adek pengen nonton drama korea sambil menyesap teh hangat, kan mau pesan makanan." "Janji? Malam ini?" Vante menaikkan jari kelingkingnya dan Andara membalas tentunya. "Adek janji," ujar Andara. Lalu, menuntun Vante untuk duduk di sofa besar mereka. Mereka sama-sama menikmati hangatnya teh yang mengalir ke tenggorokan mereka. Tontonan drama korea yang mengalir begitu saja, membuat hati Andara bahagia. Walau, Vante tidak dapat melihat tontonan itu, hatinya pun juga merasa senang karena istrinya yang sejak tadi bahagia dan tertawa lepas. Bolehkah hal seperti ini akan tetap ada di masa depan nanti? Mereka pasangan yang sangat hangat dan manis untuk dipuji semua orang. "Apa yang dilakukan wanita itu? Dia mengambil anaknya kembali?" Andara menyenderkan kepalanya di d**a bidang milik Vante. "Tentu saja, itu bayinya. Lagi pula pernikahan mereka tidak sungguhan, mungkin suaminya tidak terlalu peduli dengan bayinya," jawab Andara, mereka tengah membicarakan drama yang sedang mereka tonton, lebih tepatnya Andara yang menonton. "Itulah, sesuatu yang dilandasi kebohongan akan berdampak buruk," celetuk Vante, tidak ada maksud apa-apa, dia murni berkomentar atas drama korea tersebut. Deg! Hati Andara seperti dilukai oleh goresan pisau, benar-benar perih. Dia menyetujui ucapan Vante, itu terjadi sekarang di pernikahan mereka. "Tapi, sejauh aku mendengarnya, laki-laki itu menyukai istrinya, pasti dia juga menyayangi bayinya. Aku harap mereka tetap bertahan," sambung Vante lagi dengan pembahasan yang sama. "Kenapa Mas bisa berbicara begitu? Laki-laki itu memiliki perempuan yang ia cintai. Wanita itu tidak salah sebenarnya dan dia juga harus bahagia walau cuma bersama bayinya." "Takdir, itu takdir Tuhan, Indira…," jawab Vante yang entah kenapa malah membuat Andara terasa lega. Apa ada harapan? Atau itu hanya persepsi Vante saja karena laki-laki itu belum merasakan kejadian yang seperti itu? "Bagaimana jika Mas yang ada di posisi itu?" Dengan hati-hati Andara menaikkan pandangannya pada Vante. Terlihat laki-laki itu menaikkan satu alisnya untuk mencerna pertanyaan dari istrinya. "Maksudmu?" "Euhm… maksudku, bagaimana jika takdir Tuhan itu terjadi pada Mas. Mana yang akan Mas pilih? Mempertahankan cintamu yang lama atau mempertahankan sosok yang ada disampingmu bersama buah hatimu?" Vante tersenyum tipis dan merangkul Andara lebih erat. "Tergantung. Kalau sudah memiliki buah hati bukannya aku sudah jatuh cinta pada pasanganku tanpa sadar? Aku suka bayi, dan itu artinya aku menginginkan bayi itu hadir karena aku mencintai pasanganku." "Ah, begitu. Bayi, ya…." "Bagaimana denganmu?" Vante membalikkan pertanyaan itu pada Andara. Andara meneguk salivanya sebelum menjawab pertanyaan yang sama dari Vante. "Kalau aku, aku tinggalkan saja dan membawa bayiku pergi." "Kenapa?" "Dengan begitu aku bisa memutuskan dengan sempurna. Jika pasanganku mencariku itu artinya aku akan menerima takdir Tuhan. Jika pasanganku membiarkan aku pergi dengan bayiku, maka aku tidak akan memaksa takdir Tuhan itu tetap berlanjut." Vante mengangguk-ngangguk paham dengan maksud jawaban Andara. Kini, ia sedikit memiringkan tubuhnya dan berhadapan dengan Andara. Vante sepertinya menyadari sesuatu. "Haruskah kita mempercepat memiliki bayi kita sendiri sekarang?" Kadang ada yang tidak perlu kita ketahui walau objek itu terlihat indah untuk dilewatkan. *** •• To be continue ••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN