Mencari tahu sendiri

1081 Kata
•• Happy reading •• Cinta punya cara tersendiri untuk saling memikat. "Beneran pulangnya ga mau adek jemput? Sekalian loh nanti, Mas." "Enggak." Vante menggelengkan kepalanya dan menolak tawaran dari Andara yang mengajaknya untuk pulang bersama nanti. "Mas nanti diantar Dhika aja, kamu hati-hati, ya. Kalau Jaren mengganggu lagi, katakan pada suamimu ini." "Iya. Sini…." Andara menarik lengan Vante agar laki-laki itu mendekat ke arahnya. Andara memberikan pelukan hangat sebelum ia keluar dari kediaman Adinan. Benar, dia mengantarkan Vante pulang ke rumah, laki-laki itu sedang ada urusan dengan ibunya. "Cup! Cup! Cup!" Vante memberikan kecupan kecil di dahi istrinya berulang kali. "Semoga cepat beres kerjanya, biar bisa langsung resign dan punya dedek bayi." "Ishh!" Andara memukul d**a suaminya karena geram. "Bahas dedek bayi lagi? Kan udah perjanjian!" protesnya dengan nada yang menggemaskan. Sejak perdebatan malam kemarin yang membahas drama tentang pernikahan, Vante tiba-tiba ingin membahas perihal kapan mereka akan memiliki bayi. Namun, Andara meminta untuk menunda sampai Vante selesai dengan urusan pendonoran mata. Di saat itu terjadi, Andara berjanji akan siap memiliki anak bersama Vante. Keputusan Vante? Tentu tidak bisa menolak permintaan istrinya. Lagipula, operasi matanya juga beberapa bulan lagi, itu artinya tidak terlalu lama untuk menantikannya. Vante akan menunggu sampai hari itu tiba, saat-saat dimana bayi kecil itu akan datang menghiasi kebahagiaan dalam rumah tangganya. "Okay-okay, dedek bayinya ditahan dulu." "Dah! Adek pergi dulu, ya." Andara mengaitkan tali tasnya di pundak, sebelum benar-benar pergi, wanita itu menuntun Vante masuk ke dalam kamar laki-laki itu. "Makan siangnya jangan lupa loh, nanti adek telpon ibu buat ngingetin Mas." "Kamu juga, ya." Setelahnya, Andara mampir ke dapur untuk berpamitan pada Hanaya. Ibu mertuanya itu sedang menyusun buah-buahan yang tadi dibawa Andara dari rumah. Hanaya melihat menantunya yang berjalan ke arahnya. "Loh, menantu Ibu sudah mau pergi? Ibu pikir masih ingin menunggu disini bersama Vante." Hanaya memberhentikan kegiatannya menyusun buah-buahan itu. Andara hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan ibu mertuanya. "Andara masih banyak pekerjaan, Bu. Andara resign…," lirihnya pelan karena kediaman Adinan sangat sepi, terlalu nyaring jika berbicara dengan nada suara yang besar. "Loh, resign? Kenapa?" Raut wajah Hanaya terlihat khawatir saat mengetahui menantunya akan berhenti bekerja di perusahaan penerbit buku itu. "Gara-gara Vante, ya?" Hanaya tampak ragu mengatakannya, bukankah dia merasa bersalah? Lagi-lagi merepotkan wanita tulus ini demi putra semata wayangnya. "Ga sepenuhnya karena Mas Vante kok, Bu," jawab Andara apa adanya. Dia berjalan beriringan bersama Hanaya menuju pintu utama kediaman Adinan. Hanaya bahkan menyentuh punggung menantunya dan diusap lembut. "Maafin Ibu, ya. Ibu dan ayah terlalu egois pada Andara," tutur Hanaya dengan rasa bersalah yang begitu besar. Andara menggeleng sedikit. "Andara malah seneng bisa rawat Mas Vante. Mas Vante juga baik dan paling ngertiin Andara banget kalo lagi ada masalah. Jadi, Andara merasa lega kalau ada temen curhat kaya Mas Vante. "Terima kasih, ya, sayang. Ibu seneng punya menantu kaya Andara." Hanaya menaikkan tangannya untuk mengusap bahu Andara dengan lembut. "Mau terus-terus sama Vante, Nak?" "Ah, itu…" "Ndak mau, ya?" Hanaya terkekeh kecil atas pertanyaannya yang tentu konyol? Mana mungkin Andara mau? "Mau." Andara menatap Hanaya dengan mata yang berbinar-binar. "Andara mau, Bu. Itu kalau Tuhan mengizinkan…. Andara pasti mau." Ah, Hanaya salah mengira, kenapa manis sekali menantunya ini? Seperti anak kucing dengan mata membola dan berbinar-binar? "Pasti, Ibu selalu mendoakan Andara dan Vante akan berjodoh selalu," kilah Hanaya, ucapannya sangat serius dan selalu meminta pada Tuhan agar suatu saat putranya benar-benar jatuh cinta pada Andara. Bukan mencintai wanita itu karena identitas Indira. *** "Ibu." "Iya, ada apa? Katanya kau ingin mengobrol bersama Ibu, ada apa?" Hanaya meletakkan potongan buah sebagai cemilan Vante siang ini. Setelah Andara pergi tadi, Vante keluar kamar lagi dan memilih menonton tv di ruang keluarga. "Ayah mana, Bu?" Sejak tadi, Vante tidak mendapati kehadiran ayahnya yang ada di rumah. Tidak mungkin tidur, kan? "Ayah ada rapat di kantor kelurahan. Ada beberapa masalah yang harus diselesaikan disana," jawab Hanaya. Wanita paruh baya itu memilih duduk di dekat anaknya. "Bu, aku menikahi Indira, kan?" Deg! Jantung Hanaya terasa berhenti berdetak, tiba-tiba sekali Vante bertanya seperti itu? Apa terlalu kentara jika istrinya itu bukan Indira? Apakah harus jujur? "Apa maksudmu?" tanya Hanaya kembali, nada bicaranya sangat datar, terkesan santai. Iya, dia harus menutupi kembali. Sebab? Jika ketahuan sekarang, ada kemungkinan Vante akan meninggalkan Andara dan Hanaya tidak ingin itu terjadi. Ia ingin Vante merasakan bahwa istrinya yang sekarang jauh-jauh lebih baik dari Indira Jeo. "Vante merasa itu bukan Indira. Sifat dan kebiasaannya jauh-jauh berbeda dari Indira yang Vante kenal, Bu," ucap laki-laki itu lagi, mengutarakan isi hatinya yang agak menjanggal belakangan ini. Hanaya tanpa sadar menggigit bibir bawahnya, lidahnya ingin menyebut bahwa istrinya adalah Andara. "Semenjak kecelakaan itu, banyak yang terjadi dan berubah, Nak…." Hanaya menyentuh lutut putranya dengan pelan, menepuknya pelan hingga laki-laki itu cukup termenung. "Apa yang terjadi, Bu?" "Dia menjadi lebih pendiam dan terpuruk. Perilakunya berubah berbanding terbalik karena dia takut kehilanganmu gara-gara kecelakaan itu," jawab Hanaya dengan berbohong pada putranya. "Begitu ya, Bu…." Bukannya reaksi kaget atau menimpalkan pertanyaan lagi, raut wajah laki-laki itu seperti kecewa. Tapi, kenapa? Hanaya sempat terenyuh dengan ekspresi anaknya yang terlihat kecewa. "Kenapa anak Ibu terlihat kecewa? Apa yang kamu harapkan, sayang? Bukannya ini yang kau inginkan, Indira melembut?" "Ibu tahu dimana Andara?" Tidak menjawab pertanyaan ibunya, Vante memilih langsung menanyakan keberadaan Andara secara spontan. Uhk. Hanaya sedikit terbatuk mendengarnya, kenapa putranya ini tiba-tiba menanyakan Andara? Ingin sekali berkata jika Andara barusan pergi setelah mengantar dirinya, haha. "Kenapa jadi menanyakan Andara? Tidak biasa, Vante. Dia adik iparmu." "B-bukan begitu Bu," sanggah Vante dengan gugup dan kalang kabut. "V-vant-" "Dia sibuk bekerja dengan Jaren, bukan?" "Ah, laki-laki tidak berpendidikan itu? Baru saja kemarin aku mengantarkan Indira untuk resign dari perusahaannya, tapi entah kenapa laki-laki itu ada disana, harusnya dia sibuk dengan pekerjaannya, malah mendatangi istriku," oceh Vante dengan nada kesalnya. Dia tidak tahu yang sebenarnya terjadi, karena yang resign itu adalah Andara bukan Indira, jadi waktu Vante ikut, dia hanya tau kalau Indira pergi ke kantornya. Hanaya tersenyum simpul, ia kasihan pada anaknya yang tidak tahu apa-apa tentang semua ini, tapi dirinya lebih prihatin pada pengorbanan Andara yang begitu besar. "Dia menyukai Andara, makanya dia datang…." "Tidak mungkin!" tolak Vante dengan reflek. Matanya membola sempurna atas perkataan ibunya barusan. Tentu, Hanaya juga kaget atas putranya itu. Cinta itu datangnya dari perasaan yang paling kecil menuju ke definisi yang lebih luas. Maka dari itu, sangat sulit diartikan jika kata hatimu masih denial. •• To be continue ••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN