“Ah iya …. Mas Daniel …,” sapa Nara menundukkan kepalanya sambil tersenyum manis, sungguh senyumannya begitu sangat meneduhkan dan membuat hati Daniel bergetar hebat. “Selamat datang di toko Nara, Mas. Apa kabar?”
“Aku … aku baik,” jawab Daniel sedikit gugup, Saras melihat dengan jelas sekali perubahan dari putranya itu, merasa aneh tapi juga tersenyum geli karena melihatnya seakan gugup saat bicara dengan Nara.
Nara kembali mengalihkan pandangannya pada Saras. “Jadi, apa yang Bunda mau cari di sini?” tanya Nara penuh pengertian.
“Bunda mau ada arisan, Sayang. Dan, butuh kue juga jajaran ringan. Apa kamu ada buat stock yang baru?” jawab Saras, masih dengan senyuman manis di wajahnya.
“Ada dong, Bunda. Kebetulan memang kami hari ini produksi beberapa makanan ringan dengan model baru dan banyak sekali.” Nara begitu sangat antusias sekali memberitahu pada wanita paruh baya itu. “Oh iya, kami juga baru saja membuat kue coklat dan juga kue lapis yang sangat lezat, Bunda.” Nara kembali menjelaskan sambil menunjukkan beberapa kue yang di pajang.
“Nah … ini ada tester. Silahkan Bunda Saras dan Mas Daniel, mencobanya.”
Nara menyodorkan nampan berisi makanan-makanan yang menjadi produk baru dari tokonya. Saras dengan senang hati mencobanya, tapi Daniel justru fokus memandang wajah wanita itu, sampai tak menyadari sama sekali, kalau wanita itu sudah menawarkannya tiga kali pada pria itu.
“Niel! Itu Nara sudah menawarkannya padamu sebanyak tiga kali padamu! Kenapa malah diam saja? Ambil! Kamu ini kenapa sih? Malu-maluin saja!” sungut Bunda mendorong pelan bahu putranya yang hanya diam dan gelagapan itu.
“Bunda tahu, Nara itu cantik! Tapi kamu tidak usah macam-macam, ya,” ancam Bunda membuat wajah Nara memerah karena dipuji cantik oleh wanita paruh baya itu.
“Bun, apaan sih?” bisik Niel wajahnya memerah menahan malu.
“Kamu yang apa-apaan! Dikasih tester malah terus memandangi wajah Nara begitu lekat, memalukan!”
Niel menatap Nara dengan pandangan mata tak enak hati, sementara wanita muda itu hanya tersenyum manis saat melihat perdebatan antara ibu dan anak itu.
“Nara, maaf, ya ….”
“Tidak apa-apa, Mas Daniel.”
Hati Daniel berdesir saat wanita cantik di hadapannya itu memanggilnya dengan sebutan Mas. Hal yang sederhana sebenarnya, tapi ia tak pernah mendengar hal tersebut dari sang istri. Tapi ini … wanita lain, dengan suara yang lembut dan mendayu-dayu, memanggilnya dengan sebutan Mas. Dan hal itu, berhasil membuat hatinya merasa sangat porak-poranda, debaran jantungnya pun begitu kencang sama sekali tidak seperti biasanya.
Sementara itu, bundanya sibuk menanyakan beberapa kue untuk dibeli karena memang acara arisannya diadakan malam ini. Jadi, harus segera membeli makanannya agar bisa menyajikan tamu dengan baik. Selama percakapan itu berlangsung, Daniel terus mencoba untuk tetap di setiap gelisah saat memandang wajah ayunya. Pria itu dapat merasakan dengan jelas ada sebuah ketertarikan yang mendalam terhadap owner toko kue itu.
Daniel sendiri merasa tidak bisa menahan diri untuk tak memperhatikan senyuman manisnya dan juga cara bicaranya wanita itu. Dalam hatinya, ia benar-benar merasa terpesona akan hal itu. Tak menyangka, bundanya memiliki teman yang memiliki putri secantik dan sesopan Nada.
“Nara … Bunda bingung sekali, Nak. Semua kue di sini enak, jadi bingung mau pilih yang mana.”
“Begini saja, ada tidak kue yang kamu rekomendasikan untuk arisan, Nak?”
“Untuk arisan ya, Bunda. Sepertinya, kalau untuk arisan … aku menyarankan kue lapis dan kue coklat ini. Aku jamin, mereka pasti akan sangat disukai oleh banyak orang,” jawab Nara sambil tersenyum lebar.
Setelah mendengarkan rekomendasi dari Nara, wanita paruh baya itu pun segera memilih kue-kue yang diinginkan olehnya. Meninggalkan Daniel yang sejak tadi rupanya mengekor di belakang mereka berdua, gadis cantik itu pun menoleh dan menatap pria muda itu dengan lekat sambil tersenyum manis.
“Mas Niel ….” Daniel terkejut karena dipanggil tiba-tiba dan membuatnya merasa tegang. Tak seperti biasanya, pria itu merasakan getaran hati yang tidak normal. Berpandangan seperti ini dengan gadis itu, membuatnya merasa sangat nyaman tapi juga berdebar.
“I-iya?”
“Mas Daniel, mau kue yang mana? Biar Nara ambilkan.”
“Aku … aku mau kue yang manis seperti kamu ….”
“Daniel!”
“Eh?”
Bunda menatapnya dengan tatapan tajam, seakan memperingatkan untuk tak melakukan hal yang salah. Tapi, pria itu justru menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Jangan macam-macam, Daniel! Fokus! Kamu ini, kenapa sih? Kok sejak tadi diajak ngobrol sama Nara malah begitu,” tukas Bunda mendelik tajam ke arahnya.
“Ma-maaf, Bunda. Aku tak bermaksud apa-apa ….”
“Nara … aku … aku suka kue yang coklat itu.” Daniel menunjuk pas kue coklat, tetapi suaranya justru terdengar sangat ragu sekali.
Nara tersenyum manis dan langsung mengambil kue coklat yang diinginkan oleh pria itu. Sementara itu, Saras hanya menggelengkan kepalanya saja saat melihat tingkah putranya yang terlihat konyol itu. Entah, apa yang sebenarnya sedang terjadi pada pria itu, kenapa juga bisa-bisanya bersikap memalukan seperti itu.
“Apa mungkin … Daniel menyukai, Nara?” batin Saras saat melihat kedekatan mereka yang terlihat biasa saja, tapi ia bisa melihat sikap putranya yang begitu sangat merasa tertarik pada Nara.
“Tidak. Jangan sampai … Nara jatuh ke tangan pria seperti anakku itu. Daniel sama sekali tidak bisa tegas dengan segala macam halnya. Aku takut, jika nantinya terjadi sesuatu pada Nara, apabila Mira mengetahui tentang gadis itu.”
“Tapi … jika memang aku disuruh memilih … diantara Nara atau Mira …. Mungkin aku akan lebih memilih Nara.”
“Aku tahu betul, bagaimana perangai gadis itu. Dia adalah anak yang baik. Jika dibandingkan dengan Mira, sudah pasti bagaikan langit dan bumi. Mereka berbeda sangat jauh sekali.”
“Dan … jika Nara yang menjadi menantuku … mungkin aku akan selalu merasakan kebahagiaan yang luar biasa nantinya.”
“Putraku juga pasti akan merasakan kebahagiaan yang tak bisa dirasakan saat bersama Mira. Terlebih, mereka mungkin … sudah memiliki anak. Tidak seperti sekarang ini, istrinya selalu saja menolak jika sudah membicarakan tentang keturunan.”
“Ya Allah … pikiran macam apa aku ini,” batinnya sambil menggelengkan kepala. “Seharusnya, aku tidak berpikir seperti itu ….”
Tapi, bukankah sangat wajar jika wanita paruh baya itu menginginkan yang terbaik dan juga kebahagiaan untuk putranya? Sejak awal, ia menerima baik Mira, berusaha untuk menyakinkan dirinya kalau wanita muda itu baik dan bisa membahagiakan putranya. Namun ternyata, itu semua adalah sebuah harapan tanpa ada kebahagiaan di dalamnya. Saras mulai membayangkan bagaimana indahnya jika Daniel dan Nara saling jatuh cinta satu sama lainnya, seperti di dalam kisah-kisah romantis yang sering dibaca olehnya. Membayangkan saja berhasil membuatnya bahagia.
Setelah selesai memilah-milah kue, mereka pun segera membayarnya dan beranjak keluar dari toko.
“Terima kasih Bunda dan Mas Niel, sudah datang berkunjung.”
“Sama-sama, Sayang. Bunda pulang dulu, ya.”
“Iya, Bunda. Hati-hati dijalan ya. Jangan lupa datang lagi.”
“Tentu saja, Sayang.”
Mereka saling berpamitan dan mengecup pipi kiri dan kanan bergantian.”
Di luar toko, suasana sore yang terasa sangat hangat, membuat hati mereka berdua terasa menjadi lebih ringan. Namun, di dalam hati Daniel, tiba-tiba ada rasa yang tak biasa hadir begitu saja di dalam hatinya. Ia merasa ada keraguan dan juga kebingungan yang bercampur menjadi satu. Satu sisi merasa tertarik dengan Nara tetapi di sisi lainnya, ia merasa tidak ingin mengecewakan istrinya, Mira.
“Bun, terima kasih ya … karena sudah mengajak aku jalan-jalan ke sini, setidaknya pikiranku lebih jernih,” kata Daniel mencoba untuk mengalihkan semua pikirannya dari Nara.
“Iya, Nak. Bunda juga senang sekali, akhirnya bisa menghabiskan waktu bersama dengan putra bunda yang super sibuk ini,” jawab Saras dengan senyuman manis.
“Aku kan sibuk bekerja, Bun.”
“Tidak. Kamu bukan sibuk bekerja, Nak. Tapi … kamu sibuk menghindari Bunda karena khawatir akan menanyakan sesuatu yang paling enggan kamu jawab, mengenai keturunan. Iya kan?”