“Daniel … kita berdua sampai saat ini ternyata memiliki dua impian yang sangat jauh berbeda. Tetapi, kau tak perlu khawatir, karena kita masih bisa mencari jalan keluarnya tanpa harus saling menyakiti satu sama lainnya.”
“Dan keputusan ini … adalah keputusan yang kita buat bersama. Jika kamu merasa itu yang terbaik untukmu, maka aku akan selalu mendukungmu, Sayang.”
“Aku … aku merasa tidak tahu harus bagaimana lagi, Mira. Semua ini … begitu sangat membingungkan bahkan tak pernah sedikitpun terpikirkan olehku.”
“Aku tahu, kamu memang begitu sangat mencintaiku dan takut menyakiti hatiku, bukan?” Daniel menganggukkan kepalanya. “Tapi, hal ini memang harus kita bicarakan dengan jujur satu sama lainnya, agar tidak ada kesalahpahaman. Dan, tak lagi memaksakan sesuatu yang tidak kita inginkan sama sekali, Daniel.”
“Tapi … aku benar-benar merasa begitu sangat takut kehilanganmu, Mira ….”
“Kamu tidak akan pernah kehilangan aku, Daniel. Aku … akan selalu ada untukmu, meskipun dalam keadaan yang berbeda nantinya.”
“Aku … merasa terbejak di dalam sebuah lingkaran yang sama sekali tidak diinginkan. Satu sisi aku ingin sekali memiliki seorang anak dan sisi lainnya aku tidak pernah ingin menyakiti hatimu.”,
“Mungkin, kita bisa mencari wanita yang baik, yang mau dns bisa menjadi Isti kedua untukmu dan juga memahami situasi kita ini.”
“Kau benar-benar berpikir bahwa semua ini adalah solusi yang terbaik?”
“Aku percaya semua ini bisa menjadi jalan keluar yang terbaik. Kita akan tetap saling mendukung satu sama lainnya, meskipun memang dengan pikiran yang berbeda.”
“Aku … aku hanya ingin memastikan bahwa apapun yang terjadi nantinya, aku tidak akan pernah kehilangan cinta kita.”
“Cinta yang kita miliki, tidak akan pernah hilang, Sayang. Karena, semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup kita dan ya mau tidak mau, kita harus berani untuk menjalaninya.”
Suasana menjadi hening seketika, mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Daniel merasakan sesak di dalam dadanya, “Tapi … apa yang akan orang lain katakan?”
“Biarkan saja mereka sibuk membicarakan banyak hal tentang kita.” Mira menjawabnya mantap. “Yang paling terpenting adalah kita berdua merasakan kebahagiaan. Dan, kita tidak hidup untuk menyenangkan orang lain, karena kita hidup untuk diri kita sendiri.”
“Aku tidak ingin menjadi suami yang terlihat egois, Mira ….”
“Sayang … ini bukan tentang egois atau tidak, tapi ini tentang memahami kebutuhan kita satu sama lainnya sebagai seorang pasangan. Selama kita bisa menemukan sebuah solusi yang paling baik dan juga menguntungkan, kenapa tidak diambil kesempatan baik itu? Selain itu juga, kita masih bisa memiliki keluarga dan anak, iya kan? Dan kita akan tetap bersama.”
“Daniel, kita harus memikirkan semua ini dengan serius. Aku tak mau terus didesak untuk memiliki seorang anak, dan juga tak ingin kau merasakan beban berat ketika di tuntut harus memiliki anak oleh ayah dan bunda. Maka dari itu, jika memang kau benar-benar memutuskan untuk menikah lagi, kita berdua harus memikirkan bagaimana caranya menjalani hubungan ini, tanpa menyakiti dstu sama lainnya,”
“Dan, lebih baik … kau pikirkan terlebih dahulu semua kesempatan yang aku berikan ini.”
“Kuharap, kau tidak akan pernah menyesal karena memberikan kesempatan seperti ini padaku, Mira. Karena, jika suatu saat nanti aku sudah mulai jatuh hati padanya, maka sikapmu pasti akan berubah padamu.”
Daniel bangkit, merampas pakaiannya yang berantakan dan keluar dari dalam kamar meninggalkan Mira yang menatap punggungnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Pria itu lebih memilih untuk tidur di kamar sebelah dan tenggelam dengan segala macam rasa yang membingungkan hatinya.
*
Sore hari, langit berwarna jingga keemasan dan menandakan bahwa hari sudah mulai akan menjelang malam. Saraswati, meminta Daniel untuk datang ke rumah dan mengantarkannya ke toko kue langganan mereka. Pria itu begitu sangat mencintaimu bundanya dan tidak akan pernah bisa menolak permintaan sederhana dari biasanya itu. Dengan senyuman di wajahnya, ia segera menyelesaikan segala macam pekerjaan di kantor agar bisa pulang lebih cepat. Padahal, jika memang ingin pergi meninggalkan kantor pun tak masalah, karena perusahaan miliknya sendiri.
Setelah dirasa beberapa dokumen penting selesai di cek ulang dan juga ditandatangani. Daniel segera membereskan meja kerjanya dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke rumah orang tuanya. Sesampainya di rumah itu, ia pun langsung disambut hangat oleh kedua orang tuanya, suasananya berubah menjadi lebih hangat dan juga penuh kasih menyelimuti mereka.
“Daniel, sudah lama sekali kita tidak bertemu, Nak. Bagaimana kabarmu?” tanya Ayah Danu sambil memeluknya dengan erat.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Iya maaf, aku sedang sibuk karena akan ada pameran berlian dalam beberapa waktu belakangan ini, Ayah. Jadi benar-benar mempersiapkan semuanya dengan baik,” jawab Daniel sambil tersenyum manis, merasakan kehangatan dari pelukan yang diberikan oleh Ayahnya itu.
“Istrimu apa kabar? Bahkan … wanita itu tak pernah datang ke sini, setelah kejadian dimana kalian bertengkar hebat karena seorang anak.”
“Mira … baik-baik saja, Ayah. Masih sibuk juga dengan pekerjaannya. Iya Ayah, nanti kalau waktunya sudah agak luang, kita akan datang bersama-sama ke sini.” Daniel merasa sedikit tidak enak hati, karena Ayahnya itu masih mengingat kejadian malam itu, benar-benar sungguh memalukan sekali. Istrinya dengan suara yang lantang, mengatakan bahwa tidak ingin memiliki seorang anak, hal itu cukup mengecewakan mereka semua.
Sebelum Ayahnya menjawab, Daniel sudah lebih bertanya terlebih dahulu. “Bundaku, apa kabar?”
“Alhamdulillah, Bunda baik-baik saja, Nak. Senang sekali karena kamu akhirnya bisa pulang dan mau mengantarkan, Bunda.” Mereka saling berpelukan dengan erat.
Mereka berbasa-basi sebentar, menanyakan kabar satu sama lainnya dan sedikit membahas hal-hal kecil. Suasana ceria itu tiba-tiba berubah ketika Ayah Danu meminta maaf karena harus merepotkan Daniel untuk mengantarkan Bundanya ke toko kue langganan mereka.
“Maaf ya, Nak. Jadi kamu yang harus mengantarkan Bunda. Karena sebentar lagi Ayah harus pergi, ada pertemuan dengan klien penting. Jadi, tak bisa menemani bundamu.”
“Tidak masalah, Ayah. Aku merasa senang karena bisa mengantarkan Bunda, itu artinya aku masih sangat dibutuhkan oleh kalian. Iya kan?” Daniel tersenyum tulus.
Mereka segera berangkat menuju ke toko kue, di dalam perjalanan, keheningan melanda di dalam mobil, haya suara mesin mobil dan radio yang terdengar mengisi kekosongan. Tiba-tiba, bundanya memecah keheningan.
“Daniel, apa Mira sudah hamil?” tanya Saras dengan nada yang penuh harapan.
Daniel membeku sejenak, pertanyaan itu sudah yang kesekian kalinya dilontarkan oleh bundanya, dan setiap kali pertanyaan itu dilontarkan membuatnya merasa sangat berat sekali untuk menjawabnya. “Belum, Bun,” jawabnya lemah sambil menggelengkan kepalanya.
Saras menghela nafas panjang, kembali bertanya pada putranya. “Apakah sampai saat ini … Mira masih menolak untuk memiliki seorang anak?”
Daniel mengangguk pasrah dan mereka berdua sama-sama menghembuskan nafas kasar. Suasana di dalam mobil yang sebelumnya sempat menghangat, kini kembali mendadak terasa berat dan penuh beban. Pria itu bisa merasakan dengan jelas, kekecewaan mendalam dari nada suara ibunya yang begitu sangat ingin memiliki seorang cucu. Ia merasa sama sekali tidak berguna, karena sampai pada saat ini, belum bisa memberikan kebahagiaan untuk kedua orang tuanya.
“Maaf, Bun,” kata Daniel dengan suara pelan, berharap bisa sedikit saja mengurangi beban pikiran di hati bundanya. Ia tahu betul, bunda dan ayahnya begitu sangat menginginkan cucu, jika masalahnya tinggal menunggu waktu, mungkin itu tak akan pernah menjadi masalah. Tapi, di sini masalahnya adalah Mira yang enggan untuk hamil dan memberikan keturunan pada keluarga Mananta.
Wanita itu hanya diam, tenggelam dalam kekecewaan yang tak bisa. Daniel sendiri bisa merasakan hatinya begitu sangat tertekan sekali saat melihat bundanya yang penuh dengan harapan, tetapi tidak bisa memenuhi harapan tersebut.
“Jika semua ini karena waktu dari Allah, Bunda tak akan mungkin terus bertanya, karena tak pernah ada yang tahu takdir Allah seperti apa saja bagaimana, tapi … ini semua karena memang istrimu yang enggan untuk memiliki seorang anak dan keturunan.”
“Bagaimana bisa, ada seorang wanita yang enggan mengandung dan melahirkan. Padahal, di luar sana begitu banyak sekali yang mengharapkannya. Ya, istrimu memang berbeda.”
“Bahkan … Mira memintaku untuk menikah lagi karena tak mau terus-menerus dipaksa hamil.”
“Kalau begitu, lakukanlah! Dia akan merasakan kehilangan segalanya, nanti. Bukan hanya kamu, tapi hatimu juga.”
“Tapi, Bun ….”
Sayangnya, pembahasan mereka tak berlanjut karena sudah sampai di toko kue langganan mereka. Daniel mengikuti bundanya yang berjalan dengan penuh semangat. Mengekor di belakang, merasakan kesunyian yang masih menyelimuti suasana hati mereka sampai saat ini.
Toko kue itu adalah tempat yang selalu mereka kunjungi, tapi baru kali ini pria itu ikut turun demi untuk menemani bundanya yang sedang kesal padanya. Tempatnya ternyata cukup besar dan dihiasi dengan aroma kue-kue yang menggugah selera juga warna-warni kue yang terlihat begitu sangat menggiurkan.
Dan, istimewanya adalah hari ini mereka berdua dilayani langsung oleh pemilik toko, yang ternyata dia adalah anak dari sahabat Saras dan Danu. Laksminara, nama yang indah untuk sosok yang begitu sangat cantik sekali. Baru pertama kali melihat saja, Daniel begitu sangat terpesona dengan kecantikan dan suara lembut wanita itu. Senyuman Nara seakan memiliki daya tarik tersendiri yang membuatnya melamun sendiri.
“Selamat datang, Bunda. Apa kabar? Datang sendiri?” tanya Nara dengan lembut, sorot matanya berbinar saat melihat sahabat bundanya itu ada di depannya.
“Alhamdulillah, kabar baik, Sayang. Nara sendiri bagaimana kabarnya? Bunda ini datang bersama pengawal.”
Daniel melotot sempurna saat bundanya memperkenalkan dirinya sebagai pengawal.
“Alhamdulillah, Nara juga baik, Bunda. Oh … pengawal ….” Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bunda, kok pengawal sih!”
“Loh memang iya kan? Pengawal pribadi, alias anak bunda, Nara. Ini Daniel.”
Nara terkekeh dan semakin membuat Daniel terpesona, diam membeku karena melihat tawanya yang begitu terlihat renyah.
“Mas Daniel ….”