“Aku tidak berharap lebih akan hal apapun itu, Nara. Jadi, ya kalau memang dia tidak bisa berubah, aku tidak akan pernah memaksa. Karena, perubahan itu ada karena diri sendiri, jika dari diri sendirinya saja enggan untuk berubah, maka perubahan itu tidak akan pernah terjadi.”
Nara menganggukkan kepalanya lalu menghela nafas panjang. “Iya, Mas. Tapi, ya sudahlah. Mungkin … Mbak Mira memang masih ingin menikmati hidup–”
“Kalau memang masih ingin menikmati kehidupannya yang seperti ini, kenapa dia memilih untuk menikah? Padahal, berada di posisi saat ini saja, itu atas bantuan dariku. Tapi, dia tak pernah mau mengakui hal itu.”
“Mas, ini aku ada cheesecake mangga. Kau mau?” Nara berusaha untuk mengalihkan pembicaraan mereka, karena tak ingin jika pembicaraan itu terlalu dalam dan akhirnya, menyakiti pria itu.
“Mangga? Kau bahkan … masih ingat buah kesukaanku?”
“Tentu saja, bukankah dulu kita sering makan mangga bersama di bawah pohon rindang di pekarangan rumahku?”
Daniel terkekeh, mengingat momen-momen indah yang sederhana itu. Dulu, mereka memang sering main bersama, bahkan melakukan banyak hal bersama. Tapi, karena Ayah Danu memiliki sebuah perjalanan bisnis ke luar kota, pria muda itu terpaksa ikut bersama dengan kedua orang tuanya. Dan, meninggalkan Nara serta semua kenangan indah mereka.
“Ya, aku ingat!” seru Daniel, menerima cheesecake mangga dari tangan Nara, mereka kembali menuju ke arah sudut ruangan dan menikmatinya bersama-sama.
“Dulu, aku selalu begitu sangat merindukan momen-momen ini, Mas. Tapi, bukan makan cheesecake mangga melainkan makan buah mangganya.” Nara tertawa, tawanya terdengar begitu sangat renyah sekali. Benar-benar enak untuk dipandang.
Sejak tadi, Daniel terus memandangi gadis itu, rasanya benar-benar seperti mengenang masa kecil mereka. Hatinya merasa menghangat dan bahagia saat bisa duduk bersama berdua seperti ini dengannya.
“Mas.”
“Ya?”
“Apakah semua kue di sini selalu enak? Sampai-sampai kau sering datang kemari?”
“Tentu saja, Nara. Kue-kue di sini, memang selalu enak. Sama seperti buatan Bundamu, aku masih ingat juga … dulu saat kita sedang bersama, bunda selalu membuatkan banyak makanan untuk kita. Iya kan?”
Nara tersenyum namun matanya berubah menjadi sendu. “Bunda memang sangat luar biasa, Mas. Selalu memberikan yang terbaik untukku dan aku selalu bahagia bersama dengannya. Tapi ….”
“Nara … maaf. Aku … aku tidak bermaksud ….”
“Tidak apa-apa, Mas. Semuanya sudah berlalu, aku hanya sedikit merasa sedih saja jika mengingat Ayah dan Bunda. Tidak masalah, kok.”
“Nara, kamu masih bisa menganggap Bunda Saras dan Ayah Danu, sebagai Ayah dan Bundamu.”
“Mereka memang orang tuaku juga kan, Mas? Tapi … apakah mereka tidak keberatan, jika aku menganggap mereka itu orang tuaku?”
“Jelas saja, tidak. Mereka akan begitu sangat bahagia sekali, karena memiliki anak perempuan.”
Nara tersenyum lebar, “Terima kasih, Mas Daniel.”
Nara tiba-tiba memeluk tubuh kekar pria itu, membuatnya kembali merasa menegang. Perlakuan yang secara tiba-tiba diberikan oleh gadis itu membuatnya tak bisa bergerak sama sekali, Daniel dapat merasakan detak jantungnya yang berdegup cepat. Tiba-tiba sekilas bayangan tentang masa depan bersama dengan gadis itu hadir di dalam pikirannya.
Entah mengapa, pria itu merasakan bahwa ada kebahagiaan di masa depan, jika mereka hidup bersama. Namun, tiba-tiba pikirannya kembali ditarik pada sebuah rasa untuk istrinya. Saat ini, Daniel merasa benar-benar terjebak di antara dua wanita yang begitu sangat berbeda jauh, bahkan mereka memiliki tempat tersendiri yang berbeda di dalam hatinya.
*
Setelah dari toko kue, Daniel sengaja membeli banyak kue-kue kesukaan bunda dan ayahnya, karena ia tahu betul jika kembali sore hari ke rumah, maka Mira tidak akan ada di rumah. Maka dari itu, pria muda itu pun lebih memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya dulu, bertemu dengan Bunda dan Ayah dapat membuat hatinya merasa lega.
Selama perjalanan menuju ke rumah orang tuanya, pikiran pria itu dipenuhi dengan segala macam hal. Ia merasa harus bisa mengambil sebuah keputusan dari semua ini, lebih cepat sebelum semuanya terlambat. Mulai berpikir, apakah benar-benar akan terus bisa memperjuangkan hubungannya dengan Mira yang sampai saat ini justru tak ada kejelasan pasti. Atau mungkin, mulai menjelajahi segala macam kemungkinan baru bersama dengan Nara?
Tapi … jika memulai semuanya bersama dengan Nara, apakah gadis itu akan mau menjadi wanita kedua di dalam rumah tangganya? Apakah gadis itu akan terima jika dijadikan istri kedua? Apakah gadis itu ….
“Hah … segala macam pikiran berkecamuk di slama otakku ini! Aku benar-benar merasa sangat tidak tahu harus melakukan apa lagi ….”
“Nara … semua tentangmu … kenapa tiba-tiba begitu sangat memenuhi pikiranku?”
Sesampainya di rumah Ayah dan Bundanya, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Berusaha untuk memberikan senyuman terbaik dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Meski sebenarnya, hatinya benar-benar sangat berkecamuk. Daniel hanya tak ingin menunjukkan kegelisahan di dalam hatinya.
“Sayang, kamu datang,” sapa Bunda menghampiri puterannya yang tersenyum manis.
“Iya, Bun. Mau ikut makan malam di sini, boleh kan?”
“Tentu saja, Nak. Kamu sendirian?” tanya Bunda menatap kosong ke belakang Daniel yang datang hanya seorang saja.
“Bunda mengharapkan siapa? Mira? Dia sibuk!”
“Hm … ya sudah, tidak apa-apa, Nak. Ayo masuk!”
“Aku ke kamar dulu ya, Bun. Mau bebersih sama sholat Maghrib dulu.”
“Iya, Sayang. Bunda dan Ayah tunggu di meja makan, ya.”
Daniel menganggukkan kepalanya. “Oh iya, Bun. Ini,” ucapnya menyerahkan kotak yang berisi kue-kue kesukaan Bunda.
“Kue? Dari toko Nara?”
“Iya, Bun. Tapi, Daniel mampir ke sana, untuk membeli beberapa makanan kesukaan, Bunda.”
“Terima kasih ya, Nak.”
“Sama-sama, Bun.”
“Oh iya, Naranya tadi ada?”
“Ada, Bun. Tokonya ramai sekali, makanya aku jam segini baru sampai di sini.”
“Iya, Nak. Alhamdulillah, toko Nara selalu ramai. Ya sudah saja, sembayang dulu.”
Daniel menganggukkan kepala, berlalu pergi dari hadapan bunda menuju ke kamarnya sendiri. Bunda menatap putrinya dengan tatapan menyelidik, ingin curiga, tapi khawatir jika putranya itu tak terima dengan kecurigaannya. Jadi, ya sudahlah.
Bunda berlalu menuju ke ruang makan, di sana ada suaminya yang sudah menunggu. Wanita paruh baya itu membuka kotak kue dan menyusun rapi di atas meja.
“Loh, kapan bunda beli semuanya ini?” tanya suaminya merasa heran.
“Daniel yang membawanya, Ayah.”
“Daniel? Tumben ….”
“Itulah … Bunda pun heran. Biasanya, dia paling malas untuk mampir-mampir, bukan? Tapi ini ….”
“Mungkin sekalian jalan, Bunda.”
“Mana mungkin, Ayah. Toko Nara itu beda arah sama rumah kita.”
“Oh iya juga, ya.”
“Bunda jadi curiga, kalau Daniel ….”
“Bun, jangan terlalu berburuk sangka.”
“Tidak, kalaupun apa yang diduga oleh Bunda ini benar adanya, maka Bunda akan merasa begitu sangat senang dan bahagia sekali, Ayah.”
“Jangan bilang kalau Bunda ….”