“Dira, Sayang. Bunda boleh masuk, Nak?”
“Iya, Bun.”
Wulan masuk ke dalam kamar Putrinya membawa beberapa cemilan dan satu gelas jus. “Lagi apa?”
“Baca buku, Bun.”
“Pas banget Bunda bawa cemilan buat teman membaca.”
“Terima kasih, Bun.” Indira menerima jus wortel kesukaannya. “Selalu enak,” ucapnya setelah meminum hampir separuh gelas jus buatan Bundanya.
“Gimana perasaanmu hari ini, Nak?”
“Sangat baik, Bun. Sejak kemarin Dira sudah tidak minum obat.”
“Benarkah?” Wulan terkejut saat Putrinya mengatakan tidak minum obat dari Dokter. “Bagaimana rasanya jika tidak minum obat? Bukankah Dokter masih menyarankan kamu tetap minum obat hingga bulan depan?”
Indira menggenggam kedua tangan Bundanya. “Rasa takut yang menghantui Dira tidak akan hilang jika hanya bergantung pada obat Dokter. Sepertinya Dira telat menyadari jika kekurangan yang Dira miliki harusnya sebagai pendorong untuk melakukan hal-hal baik di lingkungan sekitar. Bukannya menjadikan lemah dan terpuruk seperti ini."
“Bisa jelaskan sama Bunda hal baik yang akan kamu lakukan, Nak?”
“Banyak sekali anak-anak kurang beruntung bernaung dibawah yayasan milik, Bunda. Selain butuh pendidikan mereka juga butuh kasih sayang. Dira siap memberikan kedua hal yang mereka butuhkan. Boleh ‘kan, Bun?”
“Tentu saja boleh, Sayang.” Wulan memeluk Putrinya sangat erat. “Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mau berjuang sampai sejauh ini. Meski harus bolak-balik ke rumah sakit selama satu tahun kamu tidak pernah menyerah. Putri cantiknya Bunda hebat!”
“Harusnya Dira yang berterima kasih. Aku sudah membuat malu keluarga tapi Bunda dan Ayah tetap menerimaku dengan baik. Dira sangat beruntung memiliki orang tua terbaik yang ada di dunia ini!”
Keduanya saling mengeratkan pelukan sambil menangis bahagia. Perjuangan Dira untuk sembuh dari trauma dan kesabaran Wulan dalam mendampingi anaknya bangkit dari keterpurukan kini membuahkan hasil yang manis.
“Apa Dira sudah tidak merasa cemas lagi setiap malam?”
“Tidak, Bunda. Sebenarnya sudah hampir satu bulan aku tidak mengalami mimpi buruk namun belum berani cerita karena masih minum obat.”
“Semalam tidak minum obat ‘kan?”
Indira menggelengkan kepala. “Dira sudah hampir dua minggu tidak minum obat tidur, Bun.”
“Masyaallah, Nak. Alhamdulillah kamu sudah benar-benar sembuh.” Wulan tidak bisa membendung rasa bahagianya hingga menangis histeris. Dia sudah mendapatkan Putrinya seutuhnya. “Bunda bahagia sekali!”
Perjuangan Indira dalam melawan traumanya tidaklah mudah. Setiap hari dia harus minum obat dari Dokter karena sering menangis dan tidak bisa tidur dimalam hari.
Tidak hanya itu saja. Dira juga harus bolak-balik ke rumah sakit yang ada di singapura untuk menjalani konseling.
Bukan karena di Jakarta tidak ada Dokter bagus namun Dira sempat mendapatkan cibiran dari keluarga mantan suaminya. Mereka menyebabkan gosip jika Dira mengalami depresi hingga nyaris gila karena tidak bisa memiliki anak.
Kedua orang tuanya memutuskan membawanya menetap di singapura selama enam bulan agar mendapatkan perawatan intensif.
Setelah kondisinya sudah mulai membaik. Ayah Dira kembali lebih dulu ke Jakarta untuk memastikan jika berita bohong yang dibuat oleh mantan mertuanya sudah tidak menjadi perbincangan panas.
Sehebat itu kedua orang tua Indira dalam melindungi Putrinya. Apapun mereka lakukan demi kesembuhan anak semata wayangnya.
“Apa kita harus ke Singapura lagi untuk memastikannya?”
“Tidak perlu, Bund. Selama ini Dokter Adrian rutin menanyakan kondisi Dira lewat pesan.”
“Terus apa yang dikatakan oleh Dokter?”
“Dira sudah berhasil sembuh dari trauma.” Indira melepaskan pelukannya lalu berdiri didepan Bundanya. “Berat badan Dira sudah kembali seperti semula. Keadaan kulit juga terlihat sangat sehat. Wajah semakin cantik karena kedua pipi chubby nan merona. Dira sudah bisa menerima takdir dan akan mulai mencintai diri sendiri,” jelasnya memeluk tubuhnya sendiri dengan memejamkan kedua matanya.
Wulan ikut memejamkan mata dalam hatinya sangat bersyukur Putrinya benar-benar sudah sembuh seperti sedia kala.
***
“Jadi kamu mau pindah ke Bali?”
“Iya, betul sekali.”
“Mau ngapain kamu di sana?”
“Menikmati hidup yang selama ini aku sia-siakan.”
“Mau tinggal dimana?”
“Ayah sudah membeli sebuah Villa untuk aku tinggal. Beliau tidak mengijinkan aku menyewa penginapan.”
Naura berbaring diatas ranjang sahabatnya dengan wajah ditekuk. “Kamu suka sekali tinggalin aku!”
“Kamu bisa susul aku kapanpun, Ra. Aku sekarang sudah available banyak waktu kosong untukmu.”
“Tidak akan semudah itu kabur dari kantor, Dira. Tau sendiri Papa sedang ganas-ganasnya.”
“Makanya buruan kawin biar nggak di kasih omelan terus.”
“Aku tidak mau bernasib tragis sepertimu. Menikah bukannya bahagia malah dijadikan babu berakhir di buang begitu saja.”
“Jangan samakan nasibku denganmu, Naura. Bisa saja kamu akan bahagia setelah menikah? Kenapa nggak di terima saja lamaran dari Bapak Pilot?”
Naura melotot galak ke arah sahabatnya. “Kamu sudah gila nyuruh aku menikah dengan Pria ca*bul itu?! Teganya kamu, Dir.”
Indira terbahak saat sahabatnya mengatakan Pria yang mengejarnya sejak SMA adalah Pria ca*bul. “Memangnya kamu tahu dari mana jika dia ca*bul?”
“Kamu nggak tahu video viral nya dengan seorang Pramugari saat berada di Belanda?”
“Tidak tahu. Video apa yang kamu maksud?”
“Ya, begitulah! Masak harus aku jelaskan sih,” omel Naura dengan melempar tubuhnya sendiri ke atas ranjang. “Dia itu tidak benar-benar suka dengan aku.”
Ponsel milik Indira sejak tadi berdering menampilkan nomor yang tidak dikenal.
“Kenapa tidak diangkat?” tanya Naura.
“Malas jawab.”
“Angkat saja siapa tahu penting.”
“Harusnya tidak ada yang tahu nomor baruku.”
“Justru itu, pasti orang penting yang menghubungimu. Siapa tahu Ayah Fathir yang kasih nomor kamu ke orang itu.”
Indira memutuskan mengangkat telepon yang membuat ponselnya berdering sejak tadi atas saran sahabatnya.
“Halo.”
“Halo, Indira. Kenapa kamu tidak angkat teleponku sejak kemarin?!”
“Maaf ini dengan siapa ya?”
“Aku Ihsan.”
“Ihsan siapa?”
“Ihsan Dirgantara. Kamu lupa?”
“Owh, Pak Ihsan. Maaf, saya sempat tidak mengingat anda.”
“Hmm, apa kamu besok ada waktu?”
“Tidak ada, Pak.”
“Lalu kapan ada waktu untuk bertemu denganku?”
“Hanya malam ini. Besok saya akan pindah ke Bali.”
“Pindah?”
“Iya, Pak. Jika Bapak ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan dengan saya datang saja ke rumah.”
“Malam ini aku tidak bisa karena sudah ada janji dengan Putriku.”
Setelah mendapatkan telepon dari orang yang pernah diselamatkan nyawanya. Indira langsung teringat dengan seorang gadis manis bernama Titania.
“Kenapa senyum-senyum begitu?” Naura merasa ada yang aneh dari sikap sahabatnya. “Kamu baik-baik saja, Dir?”
“Iya, aku baik.”
“Telepon dari siapa?”
“Pak Ihsan.”
Naura langsung melompat turun dari ranjang. “Ihsan Dirgantara si pengacara terkenal itu?”
“Benar sekali.” Indira melanjutkan memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. “Biasa saja wajahnya enggak usah penuh hasrat begitu.”
“Sialan kamu, Dir! Kamu pikir aku Wanita penuh nafs*u?!” Naura mendekati sahabatnya untuk menanyakan alasan Ihsan menelepon. “Mau apa Duda tampan itu menghubungimu?”
“Dia ingin bertemu tapi aku bilang nggak bisa.”
“Apah?!” teriak Naura hingga membuat telinga Indira berdengung kencang. “Kamu tolak ajakan seorang Ihsan Dirgantara? Kamu sudah gila?!”
“Bukan aku yang gila tapi kamu. Lagian kenapa kalau aku tolak ajakannya? Besok aku harus berangkat ke Bali tidak akan ada waktu pergi kemana-mana.”
Naura memegang kedua pundak sahabatnya. “Indira, kamu berangkat ke Bali itu ambil penerbangan malam. Ada banyak waktu luang sejak pagi hingga sore untuk bertemu Ihsan.”
“Besok aku mau temani Bunda beli peralatan untuk anak-anak yayasan, Ra. Kamu tahu sendiri ‘kan jika Bunda belanja sebelum mall tutup tidak akan mau pulang.”
“Memangnya mau apa sih ajak kamu ketemuan?”
Indira mengangkat bahunya. “Enggak, tahu. Dia hanya tanya kapan aku punya waktu luang.”
Ting ...
Ada satu pesan masuk pada ponsel Indira yang membuat Naura berteriak heboh.
082xxxxxxxxx
“Jam sepuluh aku akan mampir ke rumahmu. Jangan tidur dulu!”