Lovely Niar

1130 Kata
"Niar!" Panggil seseorang dari kerumunan mahasiswa yang tengah melihat hasil pengumuman peraih seleksi beasiswa di mading kampus. "Ada nggak, Sis?" Sambil masih menutup matanya dengan tangan, Niar seolah antara ingin dan tidak mendengar apa yang hendak dikatakan oleh sahabatnya. "Emmm ... sabar ya .... Nama kamu nggak ada," ujar Siska setelah berdiri di hadapan Niar sambil meremas pelan kedua lengan gadis itu untuk menguatkan hati sahabatnya. Spontan Niar menurunkan tangan dari kedua netranya dan mengembuskan napas berat. Tubuhnya seakan mendadak lemas kehilangan tenaga. Suasana ramai di depan mading kampus fakultas Ekonomi sebuah Universitas Negeri di kota Malang kala itu semakin menambah kepeningan kepalanya. Kecewa berat, ia pun memilih langsung beranjak dari sana dan pergi ke aula. Duduk di pojok bangku depan koperasi siswa sambil memikirkan betapa tak beruntungnya ia. Beberapa kali sudah dicobanya mengikuti tes beasiswa kuliah yang diadakan di kampus, tetapi selalu saja belum berhasil. Padahal, ia sungguh membutuhkan tambahan biaya. Kedua orangtuanya sedang berhalangan mengirimkan uang bulanan sehingga ia harus berpikir kerasa agar kuliahnya tetap lancar tanpa terhambat oleh urusan administrasi yang belum dapat terbayar. "Sabar aja, Ni. Nanti kamu coba lagi kalau ada pengumuman seleksi lain," ucap Siska mencoba menghibur hati sahabatnya. "Udah lah, Sis. Capek juga terus-terusan melamar beasiswa tapi enggak ada yang tembus. Kayaknya aku emang harus lebih giat nyari kerjaan part-time aja, deh." Niar berkata sambil merenungi nasibnya. Siska merasa iba dengan sahabatnya yang tampak sedang sangat frustasi karena belum juga dapat membayar uang kuliah untuk semester ini. "He-emb deh. Kalau gitu aku bantuin ntar cari-cari kerja part-timenya. Yang penting kamu harus tetep kuliah, nggak boleh berhenti." Siska bertekad membantu Niar dengan segala cara. Niar hanya mengangguk pasrah. Diambilnya sebotol air mineral dari dalam saku samping tas punggungnya kemudian menenggak habis dengan hanya sekali teguk saja. Yunaniar Nurindra Dewi. Seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang tengah duduk di bangku kuliah semester tiga jurusan Ekonomi Mikro sebuah universitas negeri di Malang. Gadis semampai dengan rambut hitam panjang nan lurus dari lahir itu memiliki wajah yang lumayan cantik dengan hidung mancung, kulit putih dan bibir tipis serta mata sipit yang akan tampak seperti terpejam ketika ia tengah tertawa. Tubuhnya yang begitu kurus karena memang dari garis keturunannya ia terlahir dari keluarga dengan berat badan minimalis, membuatnya dapat bergerak lincah dengan tingkahnya yang acuh dan cuek khas pria. Dandanannya juga hampir mirip dengan pria. Kemeja kotak-kotak yang dipakai tanpa dikancingkan menutupi kaos polos berleher oval yang ia kenakan. Ia juga sangat hobi memakai topi dan memasukkan kunciran kuda rambutnya ke dalam celah belakang topi. Lebih nyaman dan rileks, katanya. Berbeda dengan Siska--sahabat terdekatnya sejak masuk kuliah--yang selalu berdandan modis dan memadu padankan tas, sepatu dengan baju yang dikenakan, Niar justru selalu memakai sepatu kets dan tas punggung yang sama. Siska memang berasal dari keluarga yang lumayan berada. Ia bisa saja membantu Niar keluar dari masalah keuangannya seandainya Niar mau menerima bantuan yang ia tawarkan. Hanya saja, gadis keras kepala itu sama sekali tak mau merepotkan orang lain. Ia lebih memilih berjuang dengan kekuatannya sendiri walau apa pun yang terjadi. Karena itu, Siska diam-diam mencarikan sebuah lowongan pekerjaan part time yang cocok dengan jam kuliah mereka agar Niar tak sampai terganggu kuliahnya serta sekaligus dapat membayar uang kuliah tepat waktu. Beberapa hari kemudian, ia menemukan sebuah lowongan yang rasanya cocok dengan Niar. Dengan tergesa ia menelepon temannya itu untuk mengabarkan, "Eh, Niar. Aku ada kabar nih. Tahu , kan, toko bunga besar yang di ujung jalan Wahidin--yang dekat lampu merah?" "Fairy Florist?" tanya Niar menebak arah pembicaraan Siska. "Nah, iya itu!" seru Siska dari seberang telepon. "Kemarin pas aku lewat, ada baca pamfletnya ditempel di dinding depan. Buka lowongan, gitu," "Wah, beneran? Aku jarang lewat situ sih, emang." "Iya, bener. Coba aja kamu ke sana. Siapa tahu cocok. Ada beberapa lowongan kayaknya. Aku tadi cuma merhatiin sekilas pas di jalan, nggak baca tuntas soalnya keburu lampunya udah ijo." "Oke, oke. Kalau florist kan biasanya nggak nyita waktu banget, ya?" "Iya, kayaknya sistem shift juga jadi bisa minta atur jadwal biar sesuai sama jam kuliah kamu,"  "Duh, semoga aja cocok sama aku. Makasih, ya, Sis. Kamu emang beneran bff-ku. Udah dulu ya, aku mau langsung ke sana, nih, mumpung lagi free." Niar berkata cepat sambil gegas masuk ke dalam kamar kosnya yang berukuran 5x6 meter dengan kamar mandi di dalam. Dalam kamar itu terdapat satu ranjang berukuran single dan dua buah lemari plastik model kabinet yang masing-masing berisi pakaian dan buku kuliahnya. Ada pula dua buah meja persegi panjang serbaguna yang diletakkan masing-masing di satu sisi ruangan. Yang satu berisi Magic Com dan peralatan makan. Meja kedua kosong, ia menyebutnya meja serbaguna karena ia bisa memakainya untuk setrika, makan, atau pun belajar. Segera ia mengganti kaos santainya dengan kemeja yang pantas dan juga bercelana jeans. Berdiri di depan cermin, ia tak memerlukan banyak waktu untuk berdandan, cukup dengan memoleskan bedak tipis-tipis dan juga lipbalm serta memakai parfum spray maka ia sudah siap berangkat. Diraihnya tas selempang di gantungan yang ada di balik pintu, memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya, kemudian membawa map berisi cv yang telah ia siapkan di lemari buku. "Ya Tuhan, semoga kali ini berhasil," harapnya sebelum melesat ke luar kamar dan mengunci pintunya. Melenggang keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Amel dan Esti yang rupanya tengah kebagian piket membersihkan indekos mereka. Ia menyapa dengan menowel kedua pipi teman-teman kosnya itu dengan jahil. Merebut sapu yang dibawa Esti lalu membawanya lari ke ruang depan, membuat si empunya sapu meneriaki dengan gemas. Ya, Niar memang terkadang sejahil itu. Ia tertawa-tawa mendengar Esti mengomelinya dari jauh. Indekos dengan sekitar dua belas kamar itu seperti rumah tinggal biasa di mana ada ruang keluarga, ruang tamu, dapur dan juga kamar mandi luar. Memang dulunya ini adalah rumah tinggal Bu Waskito yang kemudian--setelah suaminya meninggal--dibangun banyak kamar tambahan untuk disewakan. Sementara Bu Waskito sendiri tinggal di rumah salah seorang anaknya di daerah Batu, Malang. Ia sudah berjalan ke luar pagar indekosnya. Indekos milik Bu Waskito--seorang janda pensiunan polisi yang sudah berusia lanjut dan hanya datang ke sana untuk memeriksa setiap awal bulan bertepatan dengan tanggal p********n sewa. Dan betapa terkejutnya Niar saat di luar pagar ia melihat mobil milik Bu Waskito tengah berbelok masuk di gang. "Astaga! Sudah tanggal sepuluh, ya? Gawat, aku belum ada uang bayar kos," ujar Niar sambil spontan menyelinapkan tubuh kurusnya di rerimbunan tanaman perdu yang memang tumbuh tinggi di sekeliling pagar rumah. Debaran jantungnya bertalu kencang dan tangan serta kakinya mendadak terasa kebas karena cemas takut-takut kalau sang ibu kos melihat keberadaannya. Bu Waskito orangnya baik dan ramah, tetapi ia bisa mendadak jadi super jutek dan galak bila ada salah satu penyewa kamar yang telat membayar uang bulanan. Aduuuh, jangan sampai ketemu Bu Waskito dulu deh hari ini, doa Niar dalam hati seraya membenamkan dirinya lebih dalam ke rimbunan perdu yang menghalangi pandangan. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN