Gombalan Menggelikan

1301 Kata
"Samudra." Boram mengerjapkan mata, bertanya dengan tampang cengok. "Hah?” Boram yang semula memperhatikan mata hitam itu lekat perlahan menurunkan pandangan ke sudut bibir yang tertarik membentuk senyuman manis membuatnya salah fokus bergeser beberapa inci ke bibir tipis yang bergerak mengucapkan nama yang sejak tadi dia ulang. "Nama gue Samudra, Mbak." "Oh." Masih dalam dekapan cowok itu, Boram mengangguk. Entah dia keenakan dipeluk atau lupa dengan posisi mereka. Boram memeluk tasnya di depan d**a dengan telapak tangan kanannya menyetuh d**a cowok itu tepat di area jantung. "Bibir gue jangan dilihatin terus seperti itu, Mbak. Bahaya." Boram kelabakan dan langsung melepaskan diri dengan salah tingkah. "Sori," ucapnya pelan. Cowok itu terkekeh pelan, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, memperhatikan setiap gerakan Boram yang merapikan baju serta rambutnya. Boram tersenyum tulus, "Makasih banyak ya,Dek." Samudra mendelik, nampak tidak terima dengan panggilan itu. "Samudra,Mbak. Bukan dek." "Itu panggilan yang normal karena kamu lebih muda dari saya. Terlebih kamu masih anak SMA." Samudra menggeleng cepat, "Nggak! Gue nggak terima di anggap adek. Gila aja, macho gini masa dikira dedek gemes." Boram bengong. Samudra membungkuk untuk mengambil alih sepatu heels di tangannya seraya bergumam, "Jadi ya mbak, gue nggak suka dipanggil begitu. Nama gue Samudra Arkana. Titik. Tapi kalau mbak punya panggilan sayang yang lain, nggak apa-apa asal jangan dek," Ucapnya arogan saat kembali menegakkan punggung menatap intens Boram yang hanya bisa terdiam. Samudra mendekat sejengkal, menyeringai tengil. Tanpa melepaskan tatapan mereka, Samudra perlahan turun membuat Boram otomatis ikut menurunkan pandangan sampai dia bersimpuh di depan kakinya, mengambil telapak tangan Boram dan meletakkannya di pundaknya. Boram mengerjapkan mata, Samudra tersenyum. Boram memperhatikan Samudra yang menundukkan kepala mulai membuka ikatan kedua sepatu miliknya dan melepasnya perlahan hingga Boram harus berpegangan pada pundak itu mencoba menyeimbangkan diri sampai kedua sepatu heels hitamnya terpasang sempurna di kakinya tanpa bersentuhan dengan tanah sedikitpun. Agak lebih romantis dari saat memasangnya tadi yang terburu-buru. Samudra berdiri, Boram sudah salah tingkah dengan wajah bersemu merah. Cowok itu memakai lagi sepatunya dan menoleh ke arah sekolah yang sepi karena sudah jam pelajaran sekolah. "Mbak masuk saja duluan. Gue harus balik ke pasukan gue lagi." Samudra berjalan mendekati pintu coklat itu. "Ehh, kamu mau ke mana?" Langkah Samudra terhenti di depan pintu dan menoleh, "Tawuran lagi dong,Mbak. Nanggung. Atau mba lebih suka gue temani jalan-jalan di dalam?” "Eh, bukan gitu. Astaga, kamu nih. Tawuran itu kan bahaya." Samudra terkekeh geli, "Cie perhatian cie. Makasih ya Tuhan ada yang merhatiin Samudra." Boram mendengkus, "Ngarep banget kamu. Aku kan cuma mengingatkan." "Iya iya mbak jangan cemberut gitu dong. Dadah mbak cantik. Sampai ketemu lagi nanti." Samudra melambaikan tangan dan mengedip sekali membuat Boram langsung mendelik melihatnya. "Eh Samudra—" Boram kembali memanggil dan Samudra kembali berbalik. “Apa Mbak?" "Makasih ya." Samudra tersenyum lebar, mata hitamnya nampak bercahaya membuat silau. Boram hanya bisa terpaku. "Sama-sama mbak—" Samudra cengengesan dan berucap pelan, "ku." Setelah mengatakan itu Samudra langsung keluar dan menutup pintunya dengan gerakan cepat. Boram nampak berpikir sebentar mengingat apa yang terakhir tadi dikatakan Samudra namun dia menyerah bingung dan bergerak mendekati pintu karena penasaran. Di bukanya sedikit dan melihat Samudra berlari mendekati lima cowok yang ternyata menunggu tidak jauh dari dinding sekolahan seraya berteriak. "Sini lo semua lawan gue!!” tantangnya. Boram ternganga dan terdiam saat menyaksikan Samudra berkelahi dengan kelima cowok itu. Hormon remaja benar-benar berbahaya. Mereka berani mengambil resiko meskipun tahu kalau berkelahi itu menawarkan hal yang tidak main-main hanya agar di cap jagoan. Nyawa. Boram jadi ingat Kang Mas Kelana. Boram menghela napas dan berbalik pergi menuju ke ruang kepala sekolah meski otaknya sedang memikirkan bocah tukang tawuran tadi. *** Boram yang sedang mempelajari semua yang ditinggalkan Ibu Sisca kaget saat mendengar bunyi bel panjang yang menandakan sekolah hari itu telah usai. Boram menghela napas, menyapa dan berkenalan dengan beberapa guru yang masuk ke dalam ruangan lalu merapikan meja setelah memilih beberapa buku yang akan dia bawa pulang unuk di pelajari di rumah. Besok adalah hari pertamanya mengajar. Setelah pamit ke para guru, Boram berjalan melintasi koridor sekolah yang sepi saat sudut matanya menangkap sosok cowok yang duduk membelakanginya nampak sedang melakukan sesuatu. Boram mengedarkan pandangan sesaat sebelum akhirnya mendekat ke cowok itu untuk melihat apa yang sedang di lakukannya. Dari belakang punggung yang diawal tadi terlihat tegak angkuh saat ini membungkuk lemah dengan tangan yang sibuk dengan obat merah dan kapas. Boram menepuk pelan pundaknya membuat cowok itu tersentak kaget saat melihatnya berdiri di sampingnya. "Makanya jangan sok jagoan. Sekarang berdiri dan ikut Ibu." "Mau kemana, Mbak?" Boram berdecak. "Nama saya Boram. Mulai besok saya guru matematika kamu. Jadi, biasakan untuk memanggil saya ibu. Sekarang berdiri atau saya tinggal pulang. Cepetan—" Boram mengerjapkan matanya saat Samudra langsung berdiri tegak tepat di depannya. Boram mundur seraya meletakan kedua tangannya di d**a, kaget. " Jangan bergerak tiba-tiba seperti itu." "Maaf,Mbak. Gue terlalu bersemangat.” Samudra cengengesan. “Tapi gue lebih nyaman panggil mbak aja kalau di luar kelas.” Boram berdecak, mau mengomeli tapi saat melihat wajahnya yang lebam, seragamnya kotor, tangannya memar dan di belakang punggungnya ada bercak darah yang mulai mengering, Boram jadi tidak tega dan malah menatapnya dengan pandangan sedih. Senyuman di wajah Samudra lenyap digantikan wajah datar. "Jangan menatap kasihan seperti itu mbak. Gue nggak butuh dikasihani." Boram tersadar, cepat-cepat dia ubah ekspresi wajahnya menjadi dengusan geli, "Siapa yang lagi ngasihani kamu, mukamu makin jelek kalau banyak memarnya gitu. Ikut ibu sekarang juga!" Samudra tersenyum lebar, Boram berbalik pergi, mempercepat langkah kakinya menjauh. Boram masih memiliki hutang budi dan dia tidak tega membiarkan Samudra seperti tadi. Boram mengabaikan tatapan intens yang seakan mempu menembus wajahnya itu. Tangannya bergerak lincah dengan kapas dan obat merah di sekitar sudut bibir, sudut mata dan dahi yang terluka. Sejak masuk ke dalam UKS, Boram mengabaikan semua pertanyaan Samudra. Setelah beberapa menit, cowok itu akhirnya duduk diam di salah satu ranjang menunggu dengan sabar Boram mengobati lukanya. Kalau Boram bergerak, manik mata hitam itu mengekorinya. Bibirnya luka tapi masih mampu menyunggingkan senyuman di sana. "Aku melakukan ini sebagai bentuk kepedulian guru terhadap muridnya. Juga sebagai bentuk balas budi karena tadi pagi kamu sudah nolongin." Samudra hanya diam dengan senyuman yang semakin lebar. Setelah selesai dengan area wajah, Boram duduk di sebelah Samudra di atas ranjang. Cowok itu otomatis duduk menghadapnya. "Coba lihat tanganmu." "Bagian yang ini biarkan saja." Boram menggeleng. "Ibu mau lihat seberapa parah." "Nggak parah." Boram mendelik, menarik paksa kedua tangan itu dan melihat ruas tangan dan telapaknya memar merah. Samudra menarik tangannya, Boram menghela napas dan akhirnya membiarkannya saja. "Coba berbalik, biar aku lihat punggungmu." "Memangnya ada apa di punggung gue?" Boram berdiri dan menggeleng, "Kamu ini bagaimana sih, yang punya badan kan kamu, kenapa malah balik nanya. Tadi pagi aku sempat lihat ada noda darah di sana. Apa kamu nggak ingat kalau sempat kena lemparan batu?" Samudra terkekeh, "Oh iya lupa. Sakitnya sudah hilang kok mbak, nggak apa-apa." "Ibu mau lihat." Samudra menggeser tubuhnya menyerong dan membuka beberapa kancing baju seragamnya, "Mbak suka main buka-bukaan juga ya?" "Kamu ini jangan ngomong sembarangan!" Samudra terkekeh dengan tangan yang sibuk melepaskan seragam sebelah kanannya dan membukanya memperlihatkan luka memar dan guratan yang tadi pagi mengeluarkan darah. Sekarang, luka itu sudah mulai mengering. Boram membersihkannya dan mengolesinya dengan obat merah. Berusaha mati-matian untuk tidak menatap keseluruhan punggung itu. "Bagaimana kamu bisa lupa punya luka seperti ini? Pasti perih kalau kena keringat." "Gue terlalu fokus dengan hal lain mbak, jadinya lupa." "Fokus tawuran?" Kepala Samudra menoleh sedikit ke arahnya dengan seringaian khas remaja nakaĺ, "Fokus nyelamatin mbak." Boram berdecak, setelah memberikan penutup luka, Boram berdiri dan mengemasi peralatan P3K ke tempatnya semula. "Makasih ya,Mbak." "Sama-sama." "Mbak mau pulang kan? Bareng aja yuk." "Nggak usah. Ibu pulang sendiri." "Sebentar ya mbak, gue ambil tas dulu." "Eeh—." Terlambat. Cowok itu sudah keluar dari UKS meninggalkan Boram terbengong sendirian. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN