Terjebak Tawuran
"KELUAR KALIAN PECUNDANG SMA DARMAWANGSA!"
Seruan itu sontak membuat Boram reflek menghentikan langkah, menatap lurus ke arah depan dengan was-was, di mana ada banyak anak-anak berseragam putih abu-abu berdiri bergerombol dengan benda-benda tajam di tangan. Boram bergegas minggir dan berdiri kaku di samping pot bunga tidak bisa kemana-mana. Sekolah tempatnya mengajar yang berada jauh di depan sudah di kelilingi anak-anak dari sekolah lain yang siap bertarung. Sepertinya terlalu beresiko jika dia bergerak maju, jadi dia memilih bersembunyi di balik pot bunga sampai keadaan dirasa cukup aman untuk segera melarikan diri.
“Ya Tuhan, tolong lindungin Boram,” bibirnya komat-kamit takut.
Kaget saat anak-anak dari sekolahnya yang entah muncul dari mana berjalan bergerombolan melewatinya lalu bentrok dengan sekolah lawan.
"JANGAN KASIH AMPUN. LAWAN MEREKA SEMUA!”
Seorang cowok berseragam yang memakai slayer menutupi separuh wajahnya berteriak di posisi paling belakang tepat di depan Boram seakan membalas panggilan dari lawannya . Lalu tanpa sengaja tatapan mereka bertemu membuat Boram makin menyembunyikan diri. Dilihatnya cowok itu diam memperhatikan lalu bergerak mendekat.
"Duh, mbak cantik kenapa lagi bisa ada di sini." Cowok itu langsung menarik lengannya.
"Eh...eh, jangan pegang-pegang ya."
"Mbak, mau di tolong nggak?"
Boram mengamati kedua mata tajam yang dihiasi alis tebal itu dengan seksama, "Kalau di tolong mau, tapi kalau di culik saya nggak mau."
"Kalau saya halalin?"
Boram mengerjapkan matanya, tawa cowok itu menggema. Boram sempat bengong mendengar candaan anak zaman now seperti yang ada di hadapannya ini.
"Saya janda loh."
Cowok itu langsung terdiam menatapnya seksama, tidak lama kemudian terkekeh dan mengangguk. Padahal bukan itu reaksi yang diinginkan Boram karena dia memang seorang janda.
"Mbak lucu ya. Mau ke mana?"
"Sekolah Darmawangsa," jawabnya seraya menunjuk ke arah gerbang.
Cowok itu tiba-tiba menarik Boram berlindung di balik badannya yang untuk ukuran anak sekolahan cukup kekar ditambah postur tubuhnya tinggi menjulang. Boram lupa kalau tidak jauh di belakangnya sedang terjadi tawuran.
Boram mengatupkan bibir saat mendengar suara keras di dekatnya.
"Sial!” umpatnya, menoleh ke belakang. “WOI, b******k!!!" teriaknya lantang ke adu bentrok yang terjadi. "Kevin, lo ambil alih sebentar. Gue balik ke sekolah dulu sebentar."
"Sip."
Seseorang menyahut dari belakang.
Boram mendelik seraya memeluk tasnya di d**a saat melihat batu besar tergeletak di dekat kakinya mengabaikan fakta kalau dia tengah di peluk lehernya dengan sebelah lengan cowok SMA itu sangking kagetnya. Lalu, lengan itu mengurai dan ganti menarik tangannya membawanya berlari ke arah berlawanan dengan gerbang sekolah masuk ke dalam gang yang berada tidak jauh dari sana yang sebelumnya Boram lewati.
"Ayo mbak, lari yang cepat. Mereka tadi sudah ngelihat gue dan pasti sebentar lagi kita dikejar."
"Memangnya kamu siapa?" Boram dengan sepatu heelsnya berusaha menyamakan langkah berlari cowok itu.
"Gue artis, Mbak," kekehnya.
Boram sempat menatap cowok itu aneh sebelum denyutan di kakinya terasa sampai ke kepala.
"Aduh, berhenti sebentar."
"Kenapa?"
Mereka berhenti berlari. Boram merunduk dan memijit tumitnya. Cowok itu berjongkok di samping kakinya memperhatikan.
"Saya jago lari tapi kalau pakai heels sakit."
"Lepas saja kalau gitu. Nanti mereka keburu datang. Atau mau gue gendong?" ucapnya seraya mengangkat pandangan.
Boram menggeleng kencang, berniat melepas heelsnya saat tangan cowok itu menahannya. "Kakinya nanti kotor, jalanan lagi becek."
"Terus?"
Cowok itu berdiri, melepas kedua sepatu convers putih miliknya lalu meletakkannya di depan kaki Boram.
"Pakai ini saja."
Boram mengerjapkan mata melihat cowok itu yang memilih bertelanjang kaki.
"Woi, itu Samudra. Cepat kejar!” Teriakan itu menggema jauh dari belakang.
"Tuh kan kita ketahuan.”
Cowok itu dengan sigap langsung memasangkan sepatunya ke kaki Boram yang cuma bisa bengong dan berpegangan di bahunya agar seimbang.
"Kalau kita tertangkap bisa bahaya. Kalau gue aja sih nggak apa-apa tapi kalau sampai mbak kenapa-kenapa, saya nggak mau."
Boram hanya bisa mengkerutkan alis, bingung.
"Nah beres. Yuk kita lari."
"Lari ke mana?"
Cowok itu berdiri, masih dengan tatapannya yang berkilat jahil seraya tertawa, "Lari menyongsong masa depan kita berdua,Mbak."
Boram bengong maksimal.
Cowok itu mengambil sepatu heelsnya, menentengnya di tangan kanan sedangkan tangan yang lain menggenggam tangan Boram dan menariknya berlari semakin menjauh ke dalam dengan lima orang cowok yang mengejar di belakang.
"Berhenti woi, Samudra!” Teriakan-teriakan menggema.
Boram merasa sedang berada dalam adegan FTV yang sering di tontonnya meski dia tidak menduga jika lawannya adalah anak SMA tukang tawuran.
Boram memperhatikan cowok di depannya yang berlari tanpa alas kaki di jalanan becek dan berbatu dan terkejut saat melihat bagian punggung cowok itu menampakkan warna darah yang tercetak di seragam sekolahnya.
"Nah, kita sudah sampai tapi harus di buka dari dalam."
Boram tidak sadar kalau mereka sudah sampai di depan pintu coklat yang di sekelilingnya terdapat tembok bata putih.
"Ini belakang sekolah?"
Kalau saja dia tahu dari tadi, Boram akan berlari ke sini untuk masuk ke sekolah bukannya bersembunyi seperti tadi yang beresiko ketahuan.
Cowok itu mundur ke belakang menjauh dari dinding menyerahkan sepatunya seraya menjawab, "Iyalah, Mbak. Memangnya mbak kira mau di bawa langsung ke KUA. Sabar ya, Mbak. Mungkin nanti."
Boram mendengus, "Ya nggak gitu juga. Memangnya siapa yang mau nikah sama kamu?"
"Banyak. Nanti saya kasih lihat wujudnya yang ngantri mau jadi pacar saya."
"Ihh, males."
Tidak lama terdengar suara berisik yang semakin mendekat. Cowok itu mengambil ancang-ancang, "Mbak, tolong minggir dulu."
"Kamu mau ngapain?"
"Mau membuat mbak terkesan."
Boram mengerjapkan mata saat cowok itu berlari ke depan dengan langkah lebar, loncat dan merayap di dinding yang memang tidak seberapa tinggi itu dengan tangkas sampai dia nangkring di atas sana dengan gagahnya.
"Keren nggak, Mbak?"
Boram tidak menjawab tapi gantinya langsung bertepuk tangan. Cowok itu terkekeh kemudian menghilang turun ke balik tembok yang lain.
Suara berisik itu semakin terdengar. Boram gigit jari seraya mendekat ke pintu coklat di depannya dan mengetukkan tangannya di sana.
"Duh, cepetan dong dibuka."
Apes banget di hari pertamanya bekerja malah terlibat beginian. Lama tidak dibuka Boram semakin ketar ketir. Boram jadi berpikir, apa mungkin dia ditinggalin sama cowok itu.
Boram panik. Lalu kelebatan kelima cowok itu nampak bersamaan dengan pintu yang akhirnya terbuka dan tarikan di lengannya membawanya masuk. Boram terjerembab ke dalam pelukan seseorang setelah pintu coklat itu kembali tertutup.
Boram mengerjapkan mata menatap sosok di hadapannya.
Boram terpesona.
Cowok itu sudah melepaskan slayer yang menutupi sebagian wajahnya tadi dan Boram bisa melihat jelas ketampanan yang tadi tersembunyi di baliknya.
"Welcome to my kingdom, Lady," Ucap cowok itu dengan senyuman lebar.
***