Batam, Februari 2007.
“Au ....” Rania mendengus. Lengannya terasa sedikit sakit karena seorang pria menabraknya.
“Ma–maaf kak, aku tidak sengaja, aku terburu-buru.” Seorang pria yang tadi menabraknya berlalu.
Rania Maharani, ibu muda berusia 25 tahun itu cukup kesal. Kardus berisi beberapa plastik pembungkus roti terjatuh dan membuat isinya berserakan di lantai. Rania yang sudah memiliki 2 orang putra bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik roti di kota Batam. Kedua putranya ia titipkan kepada orang tuanya di Pariaman, kampung halamannya.
"Ada apa Ra.” Friska—teman satu profesi Rania—datang membantu wanita itu membereskan plastik-plastik pembungkus roti yang berserakan.
“Aku tadi ditabrak sama seseorang. Terus dia pergi begitu saja setelah meminta maaf tanpa memberi bantuan,” omel Rania.
“Itu namanya musibah, hehehe. Sekarang aku datangkan jadi penyelamatmu,” seloroh Friska.
“Iya, makasih udah mau bantu aku.” Rania tersenyum hangat.
Rania kembali ke tempatnya bekerja. Tugasnya di pabrik roti itu adalah memasukkan roti-roti yang sudah matang kedalam plastik packingan. Gaji yang diterima Rania juga tidak terlalu besar. Sementara Adam suaminya bekerja serabutan. Hal itulah yang membuat Rania dan Adam memutuskan menitipkan anak-anak mereka kepada orang tua Rania.
Tititit ... titit ... tititit ...
Ponsel Rania berdering, ada pesan masuk dari ponsel jadul tipe nokia 3310 milik Rania.
“[Ra, nanti makan siang bareng abang ya. Abang mau ajak Rania makan di luar].” Pesan seorang rekan kerja Rania bagian kantor. Rania sedang menjalin hubungan dengan pria itu.
“[Siap bang].” Balas Rania.
Gito—kekasih Rania—bekerja di satu pabrik dengannya. Pria 29 tahun yang berstatus duda karena istrinya meninggal sesaat setelah melahirkan putrinya. Malang, bayi kecil itu juga ikut menyusul ibunya 3 jam kemudian.
Gito menaruh hati kepada Rania karena wanita itu memang sangat cantik. Memiliki postur tubuh kecil sehingga sekilas tampak seperti ABG. Wajahnya yang babyface juga mendukung penampilannya. Walau Gito tau jika Rania sudah bersuami, tapi Gito jatuh cinta kepada wanita itu. Rania juga sering mengeluhkan perlakuan suaminya, sehingga Gito semakin menaruh hati pada wanita itu.
“Siapa yang sms Ra, bang Gito ya?” tanya Dewi—rekan kerja sekaligus sahabat Rania.
“Iya, bang Gito ngajakin aku makan di luar.” Senyum merekah menghiasi wajah Rania.
“Ra, kamu nggak takut nanti ketahuan sama bang Adam?” Dewi menatap netra sahabatnya, lekat.
“Emangnya bang Adam peduli sama aku?” jawab Rania ketus.
“Ya, bukan gitu Ra. Aku cemas aja nanti jika bang Adam tau tentang hubunganmu dengan Gito, bisa gawat nanti.” Dewi cemas.
“Nanti aku pikirkan lagi. Sekarang aku lagi menikmati hubungan dengan duda ganteng itu. Lumayankan cint, uangnya banyak. Lagipula dia nggak ada bersikap aneh-aneh.”
“Kamu nggak serius sama bang Gito?”
“Ya, enggaklah sayang. Aku cuma kasihan sama dia. Diakan lagi kesepian, ya aku temanin. Asal jangan bertingkah di luar batas. Lagipula enak lo, uangnya banyak, hahaha.” Seloroh Rania sembari berlalu meninggalkan Dewi yang masih kebingungan dengan sikap sahabatnya.
Rania tampak cekatan memasukkan roti kedalam plastik bungkusannya. Selama bekerja di pabrik roti, Rania sering mendapat pujian dari atasannya.
Kriiing ...
Bunyi bel tanda istirahat kerja berbunyi. Rania dan teman-temannya segera meninggalkan ruangan pabrik untuk beristirahat. Di pabrik itu sudah disiapkan juga sebuah mushalla untuk buruh yang beragama Islam.
“Ra, kamu jadi makan siang bareng bang Gito?” Dewi sedang mengambil bekal di loker miliknya.
“hmm ... Oiya, bekalku kamu aja yang makan ya. Kalau nggak mau nasinya, sambalnya aja makan.” Rania tersenyum seraya memberikan kotak bekal miliknya kepada Dewi.
“Emang, sambal apa?” tanya Dewi menerima kotak bekal milik Rania.
“Telur goreng, hahaha. Memang sambal apa lagi yang bisa aku masak di tanggal-tanggal segini,” seloroh Rania seraya berlalu meninggalkan sahabatnya.
“Dasar, tanpa pamit pergi begitu saja,” gumam Dewi pelan meninggalkan loker menuju sudut pabrik untuk beristirahat dan menyantap makan siangnya.
“Hai Ra.” Gito sudah menunggu Rania di depan gerbang kantor Pabrik tersebut.
“Abang sudah lama?” tanya Rania.
“Enggak, baru keluar juga. Kita makan di mana?” Gito memberikan sebuah helm, Rania menerima dan memasangnya.
“Terserah saja, Rania ngikut.” Seulas senyum terpancar dari wajah Rania. Senyum berlesung pipit yang membuat Gito tergila-gila.
Motor besar itupun melesat di jalanan kota Batam menuju sebuah restoran yang tidak terlalu jauh dari pabrik roti tempat Rania bekerja. Rania membuka helmnya, mengibas rambut panjangnya. Gito begitu terpesona dengan kecantikan yang dimiliki Rania.
“Kenapa bang? Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Rania.
“Ah, tidak ... kau, terlihat sangat cantik.” Gito mengatakannya seraya berlalu. Rania tersenyum.
Gito bukan orang pertama yang memujinya seperti itu. Rania memang beruntung, tuhan memberikan kelebihan fisik untuknya. Namun sayang, Rania malah memanfaatkan kelebihan itu untuk hal yang tidak baik.
Rania mengikuti Gito dari belakang. Gito memilih tempat duduk yang berada di pojok ruangan, kebetulan masih ada satu bangku kosong di sana.
“Bagaimana kabar suamimu?” tanya Gito.
“Ya ... gitulah, masih menyebalkan dan membosankan,” keluh Rania seraya menyugar rambut panjangnya.
“Kenapa tidak bercerai saja?” tanya Gito sembari membaca daftar menu.
“Memangnya enak jadi janda?” Rania mengambil alih buku menu dan mulai membuat pesanannya.
“Pasti banyak kok yang mau sama kamu kalau kamu bercerai dari pria menyebalkan itu.”
“Oiya, siapa?” Rania menyeruput es teh manis pesanannya yang sudah datang.
“Kamu pikir siapa?” Gito menatap tajam netra Rania.
“Hahaha ... biasa sajalah bang. Aku lebih senang hubungan kita seperti ini. bukannya aku tidak mencintaimu, tapi aku belum bisa percaya begitu saja dengan lelaki. Nanti setelah aku bercerai, kau malah meninggalkanku.” Rania mengerecutkan bibirnya. Hal itu membuat Gito gemas dan mencubit hidung bangir Rania.
“Sebenarnya aku berharap lebih dengan hubungan kita. Tapi jka dirimu memang belum siap, bagiku tidak masalah. Begini saja aku sudah senang.” Gito memegang lembut jari-jemari Rania.
“Aku hanya belum berani berkomitmen lebih bang. Aku takut kau akan meninggalkanku ketika nanti aku lebih memilihmu dari pada Adam.” Rania menatap netra Gito. Tatapan yang sulit untuk diartikan.
Gito mencium punggung tangan Rania, “ Aku mencintaimu Ra ....”
“Lagipula bang Gitokan tau, aku sudah punya dua orang putra. Itu pasti akan menjadi beban nantinya.”
“Aku sudah bilang berkali-kali, kalau bagiku tidak masalah. Aku akan menjadi ayah yang baik untuk anakmu.” Lagi, Gito menciumi punggung tangan Rania.
Rania melepas genggaman Gito, “ untuk sementara biarlah begini dulu bang. Anggap aja kita TTM, teman tapi mesra.” Rania mengedipkan matanya ke arah Gito.
“Baiklah, mari kita makan dulu.” Gito mulai menyuap makanan yang sudah ia pesan.
“Hmm ...,” gumam Rania.
“Nanti pulang sama siapa? Aku antar ya,” tawar Gito.
“Boleh.” Rania tersenyum. Lagi, senyuman berlesung pipit itu membuat Gito terpesona.
Hampir satu jam mereka bercengkrama di restoran itu. Sebentar lagi bel masuk, Gito dan Rania bergegas berangkat lagi menuju pabrik roti tempat mereka bekerja. Rania tidak mau mengambil resiko jika dia telat sampai ke pabrik. Pengawas tempatnya bekerja cukup galak dan tidak ramah.
“Cepat bang, nanti kalau aku telat bisa di omelin sama bu Gina. Perempuan tambun itu kalau sudah marah, ngeselin banget.” Rania tampak khawatir.
“Iya, pegangan yang kuat. Kita tidak akan terlambat sampai pabrik.” Gito segera mengengkol motornya. Rania menggenggam erat pinggang Gito. Pria itu tampak menikmati pelukan yang diberikan Rania.
Tak lama mereka sudah sampai di pabrik.
“Ini bang helmya.” Rania menyerahkan helm kepada Gito.
“Iya, nanti sore abang antar pulang ya.”
“Sip ...,” jawab Rania seraya mengedipkan mata.
Sesaat setelah Rania masuk keruangan pabrik, bel masuk berbunyi. Rania menghela napas panjang. Wanita itu senang bisa selamat hari ini dari omelan atasannya.