“Hai Ra, jadikan pulang bareng,” Gito sudah menunggu Rania di gerbang utama pabrik roti. Rania mengangguk.
“Kamu nggak pulang bareng aku Ra?” Dewi menarik lengan Rania.
“Lain kali.” Rania segera berlalu meninggalkan Dewi yang masih terpaku di tempatnya berdiri.
Rania segera menyusul Gito. Mengambil helm yang di berikan Gito dan mengenakannya.
“Sudah siap Ra?” tanya Gito.
“Sudah.” Ke dua lengan Rania mulai mendekap tubuh Gito.
Dewi yang melihat kejadian itu merasa sangat geram. Bukan karena Rania mendekati Gito, akan tetapi karena Rania tega meninggalkannya sendirian dan membiarkan Dewi pulang sendirian.
Rania dan Gito sudah tiba di depan rumah Rania. Gito melihat sebuah sepeda motor lawas terparkir di depan rumah kontrakan sederhana milik Rania.
“Suamimu sudah pulang, Ra?” Kening Gito mengkerut.
“Kayaknya sudah,” jawab Rania santai.
“Ya sudah, aku pulang ya.” Rania menganggguk. Gito segera memutar arah sepeda motornya dan berlalu dari pandangan Rania.
Adam sudah berdiri di depan pintu rumah dengan berkacak pinggang. “Siapa pria tadi?” Adam ketus.
“Teman sesama kerja, memangnya kenapa bang?” Rania berlalu masuk ke dalam rumah.
“Kenapa tampak sangat akrab?” Adam menggenggam lengan Rania.
“Biasa saja bang, namanya juga teman. Lagi pula tumben kamu memedulikanku,” jawab Rania sinis.
“Apa yang kau katakan?” Adam melepas genggamannya.
“Kamu tanya saja pada dirimu sendiri, bang.” Wanita itu berlalu ke dalam kamarnya.
Ia segera merebahkan dirinya ke atas ranjang. Rania merasa sagat lelah setelah bekerja seharian sebagai buruh pabrik roti.
“Ra ....” Adam membalik tubuh mungil Rania.
“Ada apa bang?” Rania menatap netra suaminya.
“Aku sudah coba beli obat yang kamu sarankan waktu itu. Aku sudah meminumnya satu jam yang lalu. Boleh kita coba?” Adam mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya.
Rania langsung panas. Selama ini Rania memang tidak pernah puas dengan nafkah lahir maupun batin yang di berikan Adam. Terutama untuk nafkah batin, wanita 25 tahun itu tidak pernah merasakan klimaks yang nikmat.
Rania bahkan sudah menyiapkan sebuah dildo untuk melepaskan hasratnya ketika selesai berhubungan dengan Adam.
“Abang yakin?” Rania mendelik.
“Kita coba,” ucap Adam seraya memugar rambut panjang istrinya.
Rania memang sangat mudah tergoda. Seketika wanita itu mengecup bibir suaminya. Menikmati sentuhan-sentuhan yang diberikan Adam. Tak butuh waktu lama kedua insan itu polos tanpa busana.
Rania terus melumat bibir suaminya. Terlihat ia lebih agresif dari Adam. Adam merasa sudah di puncak. Tak lama mereka pun bersatu menikmati syurga yang mereka ciptakan sendiri.
Tak lebih dari 5 menit.” Aaahhh ....” Adam mencapai puncaknya. Terkulai lemas di atas tubuh Rania.
“Abang, udah?” tanya Rania dengan napas tertahan. Adam mengangguk.
“Tapi katanya sudah minum obat?” Rania kembali melanjutkan.
“Su–sudah, ta–tapi abang masih belum bisa menahan terlalu lama. Mungkin obatnya kurang paten,” jawab Adam seraya berpindah tempat ke sebelah Rania.
Wajah Rania kembali kecewa. Untuk ke sekian ratus kali atau mungkin sudah ribuan kali, ia tak pernah bisa di puaskan oleh Adam. Kembali ia mengambil dildo yang ia simpan di dalam laci lemari. Memainkan benda itu hingga ia mencapai klimaksnya sendiri.
“Ma–maafkan abang Ra,” ucap Adam melihat Rania menyeleaikan hasratnya seorang diri.
Rania hanya diam dan berlalu dari kamar itu menuju kamar mandi. Wanita itu membersihkan diri dan melanjutkan kembali senggamanya dengan benda kecil itu. Suara desahan Rania yang terdengar dari dalam kamar mandi sangat menyakitkan bagi Adam.
“Ra ....” Adam menggenggam lengan istrinya selepas Rania keluar dari kamar mandi.
“Nggak apa-apa, aku sudah terbiasa.” Rania berlalu begitu saja.
Selama menikah dengan Adam, Rania tidak pernah merasakan kebahagiaan. Pria itu sangat dingin dan terkesan cuek. Juga tidak pernah mampu memuaskan Rania di atas ranjang.
Lelah, perasaan yang selalu wanita itu rasakan. Namun Rania tidak berani mengambil keputusan tersulit dalam hidupnya, yaitu “bercerai”.
Tidak, Rania tidak berani meminta cerai dari Adam. Bagaimana pun dia sudah memiliki dua orang anak dari pria itu. Terlebih, Adam masih memiliki hubungan keluarga dengan Rania. Jadi jika mereka bercerai, maka tidak hanya hubungan Rania dan Adam yang akan rusak, tapi hubungan keluarga juga.
Selama ini Rania sudah mencoba terbuka dengan Adam. Mengatakan semua isi hatinya, tapi setiap saat jawaban Adam hanya “iya-iya” saja.
Adzan magrib berkumandang. Disaat jutaan umat muslim sedang bermunajat kepada Rabb-nya, Pria 32 tahun itu malah asyik dengan tontonannya. Menghisap rokok yang ada di tangannya.
Tak berbeda dengan Rania—istrinya. Wanita 25 tahun itu sibuk dengan ponselnya. Saling mengirim pesan kepada pria yang bukan suaminya. Tertawa, tersenyum bahkan cemberut membaca balasan pesan-pesan tersebut.
Rania keluar kamar hendak mengambil segelas air putih, “Mau kemana bang? Mau judi lagi?” Rania sinis melihat Adam yang sudah bersiap-siap ke luar rumah.
“Bosen di rumah,” celetuk Adam.
“Bang, kapan sih bang kamu berubah. Tiap aku minta uang katanya nggak ada terus. Tapi untuk judi kok ada?” Suara Rania sedikit meninggi.
“Aku nggak ikutan kok Ra, aku cuma pesan kopi habis itu ikut nontonin, itu saja.” Adam tidak bisa berkata keras, tapi ia adalah pria yang keras kepala.
“Bang, bulan lalu hampir semua gajiku kukirim ke kampung untuk biaya sekolah Yusuf dan kebutuhan sehari-hari Daniel. Kamu tidak pernah peka bang. Kamu tidak pernah memikirkan mereka berdua.” Rania mulai kesal dan membanting gelas yang ia pegang. Beruntung gelas yang di gunakan Rania terbuat dari plastik.
Adam cuek dan tetap berlalu meninggalkan Rania yang masih kesal dengan dirinya.
“Bang ... bang Adam ...,” teriak Rania, namun di acuhkan oleh pria itu. Dia tetap pergi menggunakan sepeda motor tua miliknya.
Rania kembali terhenyak. Ia tak kuasa menahan butiran bening yang keluar dari netranya. Betapa inginnya wanita itu segera mengakhiri pernikahannya dengan Adam. Tapi ia belum mampu untuk memutuskan masalah besar itu.
Rania berkali-kali menyeka wajah dan menyugar rambutnya. Menatap wajahnya di depan cermin berukuran sedang yang tergantung di dinding kamar. Wajah yang cantik tapi malang, pikir Rania.
Cukup lama menangis, membuat wanita itu mengantuk. Rania segera mengunci pintu rumah dan membaringkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Dia tidak ingin Adam marah-marah jika Rania terlalu lama membuka pintu.
-
-
-
-
-
Di sela jam istirahat pabrik roti.
“Ra, tumben bang Gito nggak pernah lagi ngajakin kamu makan siang bareng. Udah seminggu aku lihat.” Dewi membuka kotak bekalnya di depan Rania. Aroma rendang membuat mata Rania langsung tertuju kepada kotak bekal milik Dewi.
“Aku juga nggak tau Wi, mungkin dia udah punya pacar baru,” seloroh Rania tanpa ekspresi.
“Kamu nggak cemburu?” Dewi mulai menyuap nasi dengan sambal rendang miliknya.
“Untuk apa? Oiya, kamu nggak nawarin aku rendang? Dari tadi rendang itu memanggil-manggilku.” Rania terus menatap sebongkah sambal rendang dalam kotak bekal Dewi.
“Ohiya, maaf Ra. Aku lupa nawarin kamu. Kebetulan kemarin aku dapat kiriman Rendang dari kampung. Ini aku udah siapin utukmu.” Dewi menyodorkan sebungkus kecil sambal rendang untuk Rania.
“Alhamdulillah, ternyata kamu gak lupa ya sama sahabatmu yang cantik ini, hahaha.”
“Cantik dari hongkong,” ledek Dewi seraya memasukkan sebuah potongan kecil daging rendang ke dalam mulut Rania.
“Bukan dari Hongkong, tapi dari Pariaman, hahaha.” Tawa renyah Rania terdengar sangat jelas di ruangan itu.
“Hhmm ... oiya, bagaimana dengan bang Gito?” Dewi bertanya dengan mimik serius.
“Mati satu tumbuh seribu.”
“Maksudnya?” Kening Dewi mengkerut.
“Kita cari pacar baru, hahaha.”
“Dasar.” Dewi memukul lembut bahu temannya.
Rania memang teman yang cukup menyenangkan untuk Dewi. Terlebih wanita itu sendirian di rantau orang. Keberadaan Rania dalam hidupnya membuat wanita 23 tahun itu merasa aman dan nyaman berada di kota Batam.