Harun tercenung menatap rumah Rania yang masih terlihat sepi dengan pintu masih terkunci. Pria itu merlirik jam tangannya, sudah hampir jam sebelas malam.
“Ra, suami kamu belum pulang?” Akhirnya Harun tidak tahan untuk bertanya.
“Belum, biasanya pulang lewat tengah malam. Sudahlah, biarkan saja. Aku sudah lelah menegurnya, Adam tidak pernah mau berubah.” Rania melengos, ia bersiap hendak turun dari mobil.
“Ra, aku di sini sekitar empat hari. Besok boleh ketemu lagi?” Harun seperti candu dengan wanita itu. Pria itu merasa kasihan sekaligus nyaman.
“Kita lihat saja nanti. Aku turun dulu ya, tidak enak kalau nanti ada yang melihat.” Rania pun akhirnya turun dari mobil itu dan segera berlalu ke dalam rumahnya tanpa menoleh lagi ke arah Harun.
Harun menghela napas, kemudian mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan kompek perumahan tempat Rania tinggal.
Rania mengintip mobil merah itu dari balik tirai jendela kamarnya. Ia terus memperhatikan hingga mobil itu menghilang dari penglihatan.
Rania menghela napas sejenak, kemudian menghempaskan bokongnya di atas sofa ruang tamu yang begitu sederhana. Sofa yang sudah ada robekan di beberapa bagian.
Sudah dua puluh lima tahun wanita itu hidup di dunia, baru kali ini ia merasakan memiliki perasaan istimewa terhadap seroang pria. Jantungnya berdebar sangat kencang tatkala netranya dan netra hitam pekat itu beradu. Netra hitam pekat dengan bulu mata lentik dan alis yang begitu cantik memikat, membuat Rania terpesona.
Harun ... huft, sayangnya ia sudah punya istri. Tapi aku tidak mampu mengendalikan hati ini. Apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Rania bergumam dalam hatinya.
Semua yang ada pada diri Harun begitu memikat hatinya. Wajahnya, senyumnya, tubuhnya, suaranya, kelembutannya, bahkan perhatian yang berlebihan menurut Rania. Rania seperti orang gila, ia tersenyum sendiri seraya terus membayangkan sosok tampan bak aktor India favoritnya itu.
Di tengah imajinasinya yang terus bergejolak, tiba-tiba ia tersentak oleh deringan ponsel yang masih terletak manis dalam saku celana jeans yang ia kenakan.
Harun
Memanggil ...
Rania kembali berdebar. Ia senang sekaligus juga resah.
“Ha—halo, Bang.”
“Ra, kenapa suaranya gugup seperti itu? apa suamimu sudah pulang? Apa abang menganggu?”
“Eh, tidak ... Adam belum pulang dan abang juga tidak menganggu, ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, aku ... ah sudahlah, besok kamu jam berapa pulang bekerja?”
“Jam lima sore, memangnya kenapa?”
“Lusa?”
“Sama, jam lima juga, ada masalah?”
“Tidak, apakah lusa kamu bisa bolos? Aku masih ingin berjalan-jalan mengelilingi kota Batam, namun adikku tidak bisa menemani. Ia terlalu sibuk dengan jadwal kuliahnya.”
“Bolos? Maaf bang, gajiku memang tidak seberapa. Tapi jika aku bolos, maka aku akan kehilangan gajiku hari itu. Bagiku, uang segitu begitu berharga. Lumayan untuk bisa dikirim ke kampung untuk tambahan belanja anak-anak.” Rania menolak dan berusaha jujur apa adanya mengenai dirinya.
Bukannya naif, tapi Rania mengatakan semua itu jujur dari lubuk hatinya terdalam. Siapa yang tidak ingin bertamasya? Siapa yang tidak ingin menghabiskan hari dengan mengunjungi tempat-tempat pariwisata dan bercanda tawa? Tentu ia juga jenuh dengan hidupnya saat ini. Ia juga ingin menghabiskan hari dengan bersantai. Namun, himpitan ekonomi membuat wanita itu urung untuk menerima tawaran Harun.
“Maaf, abang benar-benar hanya butuh teman untuk menikmati kota ini. Pertama kalinya abang berkunjung ke kota ini, masa hanya mengurung diri di rumah saja? Tanpa menikmati setiap sudut keindahan kota?” Harun berusaha meyakinkan Rania.
“Tapi?” Rania masih berpikir.
“Ayolah?”
“Hhmm ... baiklah.” Akhirnya Rania luluh, ia tak kuasa menolak ajakan pria yang sudah membuat jiwanya bergetar.
“Lusa abang jemput jam delapan pagi. Abang jemput di mana?”
“Aku tunggu di depan swalayan saja.”
“Okay, sampai jumpa lusa. Selamat malam, Ra.”
“Malam ....”
Panggilan suara itu terputus. Rania masih dilema, uang lima puluh ribu cukup besar untuknya. Ia akan kehilangan uang sebesar itu esok lusa. Tapi Rania juga tak kuasa menolak ajakan Harun.
Rania lelah, ia pun membaringkan diri tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Ia kembali tertidur di atas sofa lusuh yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun.
-
-
-
Rania terjaga setelah mendengarkan suara ketukan pintu. Netranya menoleh ke arah jam dinding, jam itu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dengan malas dan sedikit kesal, ia bangkit dan berjalan ke arah pintu dan membuka gerendel yang terletak pada bagian atas dan bawah pintu.
Rania membuka pintu dan menatap suaminya yang baru pulang dengan tatapan penuh kesal.
“Ra, jangan melihat abang seperti itu, Ra.” Adam berusaha masuk namun Rania menghalangi.
“Untuk apa abang masih pulang? Mengapa tidak tidur di warung itu saja, ha ....” Rania begitu kesal.
“Ra, jangan bercanda. Abang ngantuk, abang lelah mau tidur.” Adam tetap berusaha menerobos.
“Udah habis berapa uang kamu buat judi, Bang?” Rania sedikit berteriak.
“Ra, ini sudah larut malam, jangan buat keributan, nanti tetangga bisa marah.” Adam masih bersikap lembut, seakan ia tidak berbuat kesalahan apa pun.
“Malam ini kamu tidur di luar.” Rania mendorong Adam dan dengan cepat kembali mengunci pintu.
“Ra ... abang mohon tolong buka pintu, Ra. Besok abang harus pergi bekerja.”
Rania tidak memedulikan suaminya. Ia terduduk lemah di atas sofa seraya memegang d**a. Ia sudah tidak sanggup menghadapi sikap suaminya. Tak terasa netranya mulai berkaca-kaca dan akhirnya air asin itu menetes membasahi pipinya.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya Rania tidak mendengarkan lagi suara Adam. Wanita itu mengintip lewat jendela, ia melihat suaminya tertidur di atas kursi kayu yang ada di teras rumah.
Itu yang pantas buat kamu, Bang. Kamu pikir aku ini apa yang seenaknya kamu tinggal sendirian di rumah setiap malam. Kamu biarkan aku pergi sendiri tanpa mau menemani. Kamu habiskan uangmu untuk judi, sementara aku mati-matian menghemat diri agar bisa mengirim uang ke kampung. Rania menggerutu dalam hatinya.
Wanita itu kemudian berlalu masuk ke dalam kamar. Ia kembali mencoba memejamkan mata, namun sulit. Semua kenangan manis bersama Harun kini menghantui pikirannya. Dirinya sudah terhipnotis oleh pesona seorang Harun.
-
-
-
-
-
Pukul 6.30 pagi, kediaman Rania.
Rania sudah rapi, wanita itu sudah bersiap hendak pergi ke pabrik tempat ia mengais rezeki. Setelah semua beres, wanita itu kemudian membuka pintu. Ia melihat Adam masih meringkuk terlelap di atas bangku kayu yang ada di teras rumahnya.
Ia menatap Adam sesaat, lalu membiarkan. Rania kembali menutup pintu tanpa memasang gembok pengunci. Wanita itu kemudian pergi meninggalkan suaminya yang masih terlelap dalam mimpi. Ia tidak peduli jika Adam terpaksa bolos bekerja hari ini.
Seperti biasa, begitu banyak mata yang menggoda wanita itu di sepanjang jalan menuju halte tempat ia akan menunggu angkutan kota. Rania sudah terbiasa, jadi hal itu bukanlah masalah besar untuknya.
Ia tetap melangkah tanpa mengacuhkan rayuan gombal dari beberapa pemuda. Hingga akhirnya, wanita itu tiba di halte. Ia terduduk sejenak karena lelah berjalan selama hampir lima belas menit.
Tak lama, angkutan kota langganannya berhenti tepat di depan Rania. Rania naik dan segera duduk di bangku belakang supir.
Ya, begitulah rutinitas Rania sehari-hari. Sangat jauh dari kesan mewah dan berkelas. Wanita yang sangat amat sederhana yang nantinya terjebak cinta terlarang dengan suami orang. Wanita cantik yang tidak mampu menjaga kecantikan dan kesucian dirinya. Wanita malang yang harus menanggung sendiri beban mental akibat memiliki seorang anak perempuan dari hubungan terlarang.
Rania Maharani, kisah nyata penuh romansa dan drama. Penuh lika liku dan problematika cinta. Akankah ia bertahan dengan segala polemik hidupnya?