“Eh tapi, kayaknya gue ngga sopan deh manggil kalian tanpa embel-embel,” ujarku lagi.
“Maksud lo?”
“Gue baru enam belas tahun,” jawabku.
“Hah? Serius?” tanya Dion.
“Iya. Ngga percaya ya?”
“Bukan ngga percaya, Zi. Ngga kelihatan, secara wajah lo penuh perban gitu kan.”
“Iya sih.”
“Berarti, lo masih kelas sepuluh ya?”
Aku menggeleng. “Sudah lulus SMA alhamdulillah.”
“Lo akselerasi?” tanya Dion lagi.
“Iya. SMP dan SMA.”
“Kok keren sih?” lirih Vienna. Kuperhatikan lagi raut wajah dan tatapannya. Sepertinya ia dan Dion memang orang-orang yang tulus.
“Itu yang bikin gue ngga boleh ngeluh kan, Vie? Gue buruk rupa, tapi otak gue boleh diadu.”
“Ngga ada orang buruk rupa, Zi.”
Aku membuka kunci layar ponselku yang tadi diberikan Mas Ara sebelum ia meninggalkanku. Folder galeri foto kuketuk, lalu foto terakhirku sebelum menjalani operasi. Gawaiku, kusodorkan ke Vienna.
Ia … kelu. Air matanya lalu menetes.
Dion mendengus. Kedua matanya nampak berkaca-kaca.
“Jadi, sakit lo tuh gimana, Zi?” tanya Dion. “Eh, boleh ngga sih gue nanya-nanya gini?”
“Ngga apa-apa. Ngga ada yang perlu ditutupin juga.”
“Betul!” tanggap Vienna.
Aku bernapas dalam, menutup mata sejenak, berkali-kali mengatakan pada diriku sendiri jika aku mencintai diriku apa adanya, jika aku hebat karena sudah berjuang sejauh ini, jika aku terlahir dengan keberkahan dan keistimewaan – bukannya dengan kutukan. Usai menguatkan hati, baru kemudian kubuka kembali kedua mataku.
“Mata lo bagus banget, Zi. Warna irisnya kayak madu,” ujar Vienna.
Genggamanku di tangannya spontan kueratkan.
Hingga enam belas tahun hidup, aku tak pernah memiliki satu orang pun sahabat. Bahkan teman pun baru kudapat di Gen Mingle – tempatku saat mencoba berorganisasi, yang akhirnya aku tau jika itu tak cocok buatku.
“Gue terlahir prematur. Ngga sampai 28-minggu. Jadi, waktu gue kecil … sampai sekarang sih, gue kayak bawa banyak kejutan di tubuh gue.” Aku membuka ceritaku. “Tapi, yang kelihatan banget arthrogryposis dan deformitas septum hidung. Rahang gue kaku, ngga bisa buka lebar, jadi ganggu makan, nafas juga kadang-kadang. Terus, deformitas septum hidung bikin hidung gue aslinya bengkok. Sebenarnya sih ngga masalah banget secara estetika. Tapi, karena sinusitis gue makin parah bahkan sampai bleeding yang sulit dikontrol, mau ngga mau harus dibenerin. Intinya, gue operasi bukan supaya gue cantik kok.”
Terdengar seperti pembelaan bukan? Tapi, begitulah adanya. Memang hanya rahang dan hidung saja yang dibenahi, tak ada bagian wajah lainnya. Aku tak sekaya itu sampai meminta rekonstruksi total, menjadi orang berparas baru.
“Zi, even lo operasi supaya lo cantik, emang kita punya hak apa nge-judge lo?” tanggap Dion. “Apalagi lo sakit. Di mana kalau rahang dan hidung lo ngga dibenerin, someday bisa aja itu berakibat fatal. Bener kan?”
Aku mengangguk. “Terus, pas gue SD kelas lima, gue didiagnosa hamartoma hipotalamus.”
“Apaan lagi itu, Zi?” tanya Dion kembali.
“Tumor non-kanker di hipotalamus. Nah posisinya tumor itu menyebabkan gangguan hormonal. So, bikin gue obesitas dan moon face.”
“Ya Allah, Zia,” lirih Vienna. Sementara Dion menepuk-nepuk lembut kakiku. “Kalau lo didiagnosa pas kelas lima SD, kenapa baru sekarang dioperasi?” tanya Vienna kemudian.
“Yang tadi gue bilang, Vie. Badan gue ini banyak kejutannya. Adaaa aja yang salah. Tau-tau sakit ini, tau-tau sakit itu. Mama bilang, gue baru bisa dikategorikan sehat pas SMP. Nah saat itu kan gue udah ngerti ya operasi itu apa. So, gue ngerasa takut dan belum siap.”
“Baru sekarang lo siap?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Gue sempat kejang. Dan Dokter di Bandung nyaranin pengangkatan tumor. Tapi, pas masih dirawat, gue mimisan parah yang tadi gue bilang. Parah banget sampai ngucur gitu dan sulit dihentikan. Di situ panggil dokter THT kan, beliau juga nyaranin rekonstruksi. Rembukanlah gue sama keluarga, dan kami milih ke sini.”
Keduanya terdiam, namun seulas senyuman tulus mereka berikan padaku. Aku tau, tak seharusnya aku membicarakan deritaku pada orang lain, terlebih yang baru kukenal. Namun, selama enam belas tahun bungkam dan hanya bisa menerima takdirku, untuk sekali saja rasanya aku ingin didengar dan dipahami.
“Jangan nangis, sayang,” ujar Vienna. Jemari lentiknya mengusap wajahku. Aku bahkan tak sadar sudah meneteskan air mata.
“Harusnya gue manggil kalian Aa dan Teteh ya?”
“Kamu Sunda?” balas Vienna.
“Half-blood, Teh.”
“Jangan panggil Teteh ah. Vienna aja. Santai sih, Zi. Manggil Dion juga just Dion,” tanggapnya kemudian. “Iya kan, beb?”
“Iya. Biar awet muda gue.”
“Kalian di sini lagi liburan?” tanyaku lagi.
“Rest period 24-jam, Zi,” jawab Dion. “Kita balik ke Soeta besok pagi.”
“Gitu ….”
“Nih,” ujar Vienna, menyodorkan ponselnya padaku. “Masukin nomor hape lo. Nanti kita ketemu di … lo tinggal di mana?”
“Bandung.”
“Waaah cocok! Gue juga. Dion juga.”
“Oh ya?”
Keduanya mengangguk kompak.
Satu pertemuan tak terduga, yang kurasa akan begitu berarti.
***
Bandung, kembali ke masa kini.
“Zi! Woy!”
Aku tersentak, padahal Dion tak sampai memekik.
Saat kesadaranku kembali, Dion dan Vienna kompak menggeleng.
“Kita sudah kelar makan, Zi. Lo dari tadi cuma nancepin garpu. Kalau itu ayam awalnya masih hidup, sekarang harus tahlilan kita,” lanjutnya. “Astaghfirullah, Zia.”
“Habis ini lo mau ke mana, bear? Mertua lo?” tanya Vienna.
“Ngga. Dan ngga tau mau ke mana.”
“Nelpon Mas Ara? Yuna?”
Yuna itu adikku.
Kepalaku menggeleng.
“Mas Ara tuh kayak dukun kalau ke gue. Takut keceplosan,” lirihku.
“Sama kita lo nyeplos aja, Zi,” tanggap Dion.
“Lo keberatan?”
“Ya ngga sama sekali. Cuma kan harusnya sama Ara lo juga ngga sungkan dong.”
“Nanti Mas Ara stress mikirin gue.”
“Gue dan Cintaku ini juga stress mikirin lo! Dari tadi lo cuma ngomong minta cerai, tapi apa masalahnya sampai gue minum tiga gelas ngga dibahas juga. Mau lo apa sih?” omel Dion. “Sabar, Yon! Sabar! Kortisol ngga baik dicuci-gudang!” monolognya kemudian.
Aku terkekeh. Begitu pula Vienna. “Sumpah sih, ngobrol sama kalian bikin mood gue cakepan lagi.”
“Mumpung Dion libur nih dua hari. Baru flight lagi Selasa pagi, jalan dari sini Senin malam. Kita main tiap hari?” tawar Vienna. “Rain ada libur ngga?”
“Nggalah, Vie. PPDS tahap satu begitu mana ada libur?”
“Jangan-jangan itu ya yang bikin pikiran lo ke mana-mana? Bear?”
“Bukan.”
“Zia … sayang, apa dengan lo ngga cerita, masalah lo bisa selesai? Mumpung ada Dion juga kan. Kalau memang perlu, Dion bisa bantu bicara sama Rain. Atau setidaknya, dia bisa nemuin Rain, siapa tau Dion bisa ngorek sudut pandang masalah dari sisi suami lo. Zia, baru delapan bulan lho kalian menikah. Lo bukan artis, dan Rain juga bukan konglomerat yang suka cari sensasi. Dan dari yang gue lihat, Rain sayang banget kok sama lo.”
Aku mendengus.
“Lo hamil, Zi?” tembak Dion.
“Ngga,” jawabku.
“Ngga beneran atau ngga tau?”
“Ngga beneran.”
Ya, tadi pagi aku sudah membuang lagi satu bungkus test pack dengan percuma.
“So, lo mau gimana sekarang? Mau cerai pun ngga sembarangan, Zia. Haduuuh, perasaan gue tuh … permintaan lo ini ngga bener, Zi.”
“Kalian ingat kan waktu gue cerita tentang Shanna?” tanyaku kemudian.
Vienna dan Dion kompak mengerutkan kening.
“Siapa Shanna?” gumam Dion.
Ngga aneh sih. Dion mah banyak lupanya. Lah kalau aku curhat saja, sepuluh menit kemudian dia pasti sibuk sendiri.
“Yang lo bilang first love-nya Rain bukan, bear?” tanya Vienna.
Aku mengangguk.
“First love-nya Rain?” tanya Dion.
“Ih kamu mah! Emang ngga ingat ceritanya Zia?”
Dion menjawab dengan gelengan.
“Peppy, Yon,” ujarku kemudian.
“Halah, maksud lo si Congkak?” sembur Dion.
“Iya.”
“Kenapa dia?” sinisnya lagi.
Aku menatap pasangan di hadapanku bergantian, menghempaskan napas sekali lagi.
“Dia … perawat di Purwadinata Hospital.”
“WHAT?” seru keduanya, kompak.