Seperti ucapan Malvis, pria itu menjemput Jessy di jam yang sudah dijanjikannya. Dan Jessy, wanita itu sudah siap dengan pakaian terbaik yang ia miliki. Jessy mengenakan pakaian rapi dan sopan, wajahnya ia rias dengan alat make up-nya yang seadanya. Rambutnya tertata rapi. Ia seperti seorang pelamar kerja yang hendak melakukan wawancara di sebuah perusahaan.
Wajah Jessy yang tegang membuat Malvis tergelitik ingin bicara. Jessy hanya akan bertemu pengacara, bukan malaikat maut atau sejenisnya.
"Santai, Jess. Kau tidak perlu setegang ini." Malvis akhirnya bicara.
Jessy menoleh ke arah Malvis yang sedang menyetir. "Apakah sangat terlihat?" tanyanya polos.
"Ya. Bahkan tertulis jelas di jidatmu."
Jessy memegangi jidatnya sekilas, kemudian mengatur napasnya agar ia bisa sedikit tenang. Jessy bukannya takut bertemu pengacara Earth, ia hanya belum siap menerima uang muka yang Earth janjikan. Takut-takut jikalau nanti ia pingsan karena melihat saldo tabungannya yang membengkak hebat.
Mobil Malvis berhenti di depan rumah berlantai dua bergaya modern. Rumah itu memiliki dinding kaca pada bagian depannya. Jessy melongo, akhir-akhir ini ia mengunjungi rumah-rumah mewah yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Ayo, Jess." Malvis turun dari mobilnya.
"Ah, ya." Jessy menyusul. Wanita itu masih takjub pada bangunan di depannya.
"Jess, pengacara Earth ada di dalam, bukan di luar sini." Malvis menggerakan kepalanya mengisyaratkan agar Jessy segera melangkah.
Jessy segera bergerak mengikuti Malvis. Pintu kaca bergeser, kakinya masuk ke dalam bangunan mewah itu.
Ruangan itu di d******i warna cokelat dan putih. Barang-barang mahal tertata rapi. Beberapa lukisan beraliran kubisme terpajang di dinding. Suasana di tempat itu sangat hening, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Sebelum akhirnya seorang wanita mendekati Malvis.
"Pengacara Aresh sudah menunggu di dalam." Andrea, asisten Pengacara Aresh tersenyum menawan pada Malvis. Ia menyambut kedatangan Malvis yang sudah ada di dalam agenda harian atasannya.
Tatapan Andrea berpindah pada Jessy, ia mengerutkan keningnya. Siapa wanita yang bisa berjalan berdampingan dengan Malvis? Meski Malvis bukan seorang pemilik perusahaan tapi Malvis menjadi salah satu bujangan populer di kota London. Tidak sembarang wanita bisa berjalan berdampingan dengan pria yang tidak mudah untuk diabaikan itu.
"Ada masalah dengan wanita di sampingku, Andrea?" Malvis bertanya dengan nada datar.
Andrea buru-buru menggelengkan kepalanya. "Ah, tidak, Pak Malvis. Maafkan saya."
"Jess, ayo." Malvis kembali melangkah lagi, ia melewati Andrea yang sejak dahulu sering memberi sinyal menggoda padanya. Malvis tidak tertarik bermain-main dengan wanita. Bisa dikatakan ia sama seperti Earth, hidupnya tidak berfokus pada wanita. Namun, jika Earth sudah memiliki Caroline, Malvis masih sendiri. Ia belum menemukan wanita yang bisa menggetarkan dadanya.
Jessy mengikuti langkah Malvis lagi. Kali ini ia masuk ke sebuah ruangan yang semua dindingnya adalah kaca. Di belakang meja dengan kayu berkualitas tinggi, seorang pria berkacamata perak duduk di sana.
"Malvis, kau sudah datang." Pria itu berdiri, ia menyambut Malvis yang merupakan sahabatnya. "Jadi ini wanita yang akan menikah dengan Earth?" tanya pria itu.
"Jess, perkenalkan ini Pengacara Aresh. Dia yang akan mengurus kontrakmu dengan Earth." Malvis memperkenalkan Aresh pada Jessy.
Aresh mengulurkan tangannya. "Aresh." Pria itu tersenyum. Lagi-lagi Jessy menemukan pria berwajah tampan dengan senyuman menawan.
"Jessy." Jessy membalas uluran tangan Aresh dengan sopan.
"Silahkan duduk." Aresh mempersilahkan tamunya untuk duduk di sofa.
Malvis duduk begitu juga dengan Jessy. Aresh melangkah kembali menuju ke meja kerjanya. Ia mengambil berkas yang telah ia buat sendiri kemudian membawanya ke Malvis dan Jessy.
"Ini adalah kontrak yang harus kau tanda tangani. Aku yakin kau sudah tahu poin-poin penting perjanjian pernikahan dengan Earth. Namun, kau bisa membacanya lagi sebelum menandatangani. Dan kau bisa mundur jika kau merasa tidak mampu." Aresh menyerahkan berkas itu pada Jessy.
Tidak mampu? Jessy merasa ia sangat mampu menjalankannya. Sementara Aresh sendiri, ia ragu Jessy bisa menjalankan poin-poin itu dengan baik. Seseorang tidak akan bisa melawan pesona Earth. Aresh berani bertaruh, Jessy jelas akan jatuh cinta pada Earth.
Jessy membaca sekali lagi poin-poin kontrak yang akan mengikatnya selama dua tahun. Tidak ada yang berubah, dan Jessy masih pada tekadnya. Ia akan melakukan pernikahan kontrak itu. Ia meraih pulpen di meja kemudian menanda tangani surat kontrak itu.
"Sudah selesai. Bisa aku dapatkan uangnya?" Jessy bertanya tanpa malu. Ia harus segera membayar biaya operasi ibunya. Persetan jika Malvis dan Aresh berpikir bahwa ia wanita matrealistis.
"Bisa, Jess. Segera," jawab Malvis.
"Terima kasih, Malvis."
"Sudah tugasku, Jess."
Malvis memberikan sebuah buku tabungan. "Ini milikmu. Di dalamnya ada 500.000 dollar."
Jessy meraih buku berharga itu. Ia hendak menangis sekarang. Akhirnya ia memiliki uang untuk membayar biaya operasi ibunya.
"Bisakah aku pergi sekarang?" Jessy bertanya lagi. Ia menatap Malvis dan Aresh bergantian.
"Aku akan mengantarmu, Jess."
"Tidak perlu, Malvis. Terima kasih."
"Baiklah. Kau boleh pergi sekarang. Ah, ya, pastikan ponselmu selalu aktif. Earth mungkin akan menghubungimu."
"Baik, Malvis," jawab Jessy. "Kalau begitu aku pergi sekarang, permisi."
"Hati-hati, Jess."
"Ya, Malvis." Jessy meninggalkan ruangan itu segera. Kini hanya tinggal Malvis dan Aresh berdua saja di dalam sana.
"Kau sangat ramah pada wanita itu, Malvis. Sangat terlihat bukan seperti kau biasanya." Aresh menyindir Malvis.
Malvis tersenyum kecil. "Aku menyukai kepribadiannya."
"Wanita yang rela melakukan pernikahan kontrak demi uang?" Aresh sedikit merendahkan Jessy. Ia pikir tak ada yang spesial dari Jessy, wanita itu sama saja dengan penggila uang lainnya.
"Dia melakukan pernikahan itu untuk membayar biaya operasi ibunya, Aresh. Jessy sangat mencintai ibunya. Ia tidak menyerah terhadap situasi yang membelenggunya. Dia wanita yang kuat." Malvis memberikan banyak pujian untuk Jessy. Sebelum menjadikan Jessy sebagai wanita bayaran Earth, ia telah lebih dahulu mencari informasi tentang Jessy.
Wanita itu tidak memiliki kehidupan malam. Waktunya hanya dihabiskan dengan bekerja dan menjaga ibunya di rumah sakit.
Malvis selalu menghargai orang-orang yang rela melakukan apapun demi orangtua karena Malvis tidak sempat melakukannya. Malvis kehilangan kedua orangtuanya ketika ia masih berumur 14 tahun. Ia tidak memiliki uang untuk menyelamatkan orangtuanya yang mengalami kecelakaan. Jika ia diberi kesempatan, ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan uang untuk biaya penanganan orangtuanya, tapi sayangnya ia tidak diberi waktu oleh Sang Pencipta.
Aresh kini merasa tidak enak hati. Ia salah berpikir tentang Jessy. Wajar saja wanita itu menandatangani kontrak tanpa ragu. Rupanya ada nyawa yang sedang coba untuk Jessy selamatkan.
♥♥♥♥♥
Jessy telah membayar biaya untuk operasi ibunya. Kini ia hanya tinggal menunggu jadwal operasi ibunya yang akan segera dilakukan dalam waktu dekat. Jessy tidak bisa menutupi raut bahagianya. Ia masuk ke dalam ruang rawat ibunya kemudian menyapa sang ibu dengan hangat.
"Selamat pagi, Bu." Jessy mengecup kening Kayonna.
"Pagi, Sayangku." Kayonna membalas sapaan putri kesayangannya. "Kau tidak bekerja, Jess?"
"Aku sedang libur, Bu." Jessy meraih tangan ibunya. Ia mengecup punggung tangan pucat itu. "Bu, aku sudah membayar biaya operasi ibu."
Kayonna tidak membalas ucapan Jessy. Ia mencerna ucapan putrinya baik-baik. Membayar biaya operasi? Bagaimana bisa putrinya membayar biaya operasi yang tidak sedikit itu.
"Dari mana kau mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu, Jess?" Kayonna tidak ingin putrinya melakukan sesuatu yang salah. Ia akan merasa sangat buruk jika putrinya sampai melakukan itu demi dirinya.
"Ibu tenang saja. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah untuk mendapatkan uang itu." Jessy menjawab dengan suara tenang. Ia tidak merampok, ia tidak menjual keperawanannya, ia hanya melakukan sebuah pernikahan kontrak selama 2 tahun. Dan Jessy pikir itu bukan sesuatu yang merugikan orang lain atau dirinya sendiri.
Kayonna menatap putrinya dalam, ia mencari setitik kebohongan di mata putrinya, tapi ia tidak menemukan itu yang artinya Jessy mengucapkan sebuah kebenaran. Kayonna bukan tidak mempercayai Jessy, ia hanya tidak ingin Jessy melakukan sebuah pengorbanan besar demi dirinya.
"Ibu akan berjuang untuk sembuh, Jess. Terima kasih karena tidak menyerah terhadap ibu." Kayonna mengelus punggung tangan Jessy. Bulir bening jatuh dari mata sayunya. Jessy telah berjuang dengan keras demi kesembuhannya, jadi ia tidak boleh mengecewakan putrinya. Ia juga harus berjuang selama operasi.
"Ibu adalah segalanya bagi Jessy. Dan Jessy tidak akan pernah menyerah terhadap apapun tentang Ibu. Jessy sangat menyayangi Ibu." Jessy menghapus air mata Kayonna. Ia mengelus pipi ibunya dengan penuh kasih sayang. Sebagai seorang putri, Jessy telah melakukan segalanya. Ia adalah anak yang berbakti, tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Ia selalu mendahulukan kebutuhan ibunya daripada kebutuhannya sendiri.
Jessy tak akan pernah menyia-nyiakan ibunya seperti Adrian yang sudah membuang ibunya. Ia akan selalu mendekap sang ibu. Mencintainya hingga ia tidak bernyawa lagi.
♥♥♥♥♥
Seharian Jessy menjaga ibunya. Ia keluar sebentar untuk bertemu dengan Anneth. Sahabatnya itu telah menghubunginya tadi siang karena terkejut atas pengunduran dirinya. Jessy sendiri tidak mengirimkan surat pengunduran diri, ia yakin ini pasti perintah dari Earth. Jessy berjanji akan menjelaskan segalanya pada Anneth.
Di sebuah restoran pinggir jalan Anneth sudah menunggu Jessy. Wanita itu tidak habis pikir, kenapa Jessy mengundurkan diri padahal Jessy membutuhkan banyak uang untuk pengobatan ibunya.
"Hi." Jessy menyapa Anneth. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Anneth. "Kau datang lebih cepat seperti biasanya." Jessy tersenyum pada Anneth.
"Katakan padaku kenapa kau berhenti, Jess? Kau membutuhkan uang, bukan?"
"Santai, Anneth. Aku akan menjelaskannya padamu. Kita makan saja dulu. Aku yang traktir."
Anneth menggelengkan kepalanya. Ia menuntut agar Jessy mengatakannya sekarang.
"Aku melakukan pernikahan kontrak."
"Apa?!" Suara Anneth terdengar nyaring.
"Anneth, pelankan suaramu." Jessy melihat ke sekeliling. Mereka kini jadi pusat perhatian.
"Kau gila, Jess." Anneth menanggapi emosional. Ia sangat tidak setuju dengan jalan yang diambil oleh sahabatnya.
"Aku tidak punya pilihan lain, Anneth. Ibuku harus diselamatkan. Dan ya, pernikahan kontrak yang akan aku jalani tidak semengerikan seperti yang kau pikirkan." Jessy mencoba menenangkan Anneth. Sebelum Anneth menyela, ia melanjutkan kembali ucapannya. Menjelaskan tentang pernikahan kontrak yang akan ia lakukan dengan Earth.
Anneth tidak tahu harus berkomentar apa. Terlebih ketika ia tahu bahwa pria yang akan menikahi Jessy adalah Earth Caldwell. Anneth sekarang mengasihani Jessy. Ia yakin Jessy akan sangat kesulitan. Tidak akan mudah menjadi istri seorang pebisinis dunia. Keluarga Caldwell mungkin akan menyerang Jessy. Anneth yakin kehidupan orang-orang kaya sangat rumit.
"Kau yakin tidak akan jatuh cinta pada Pak Earth?"
"Ya. Aku yakin."
Anneth tahu Jessy sudah mati rasa karena pengkhianatan kekasih Jessy tiga tahun lalu. Namun, menolak pesona seorang Earth pasti akan sulit Jessy lakukan. Saat ini mungkin Jessy bisa menjawab seyakin itu, tapi kedepannya Anneth ragu. Terlebih Jessy akan hidup bersama dengan Earth di satu atap. Mereka akan bertemu tiap hari. Anneth menjadi semakin ragu.
"Kau tidak perlu mencemaskanku, Anneth. Aku akan mengakhiri kontrak dengan baik. Selama ibuku bisa dioperasi, aku akan melakukan apapun."
"Ya, ya, aku tahu itu, Jess. Aku harap kau bisa melalui semuanya dengan mudah."
Jessy tersenyum sumringah. "Baiklah, sekarang mari kita minum dan makan sepuasnya. Aku benar-benar senang saat ini, Anneth."
"Aku juga ikut senang untukmu, Jess. Mari berpesta." Anneth mengangkat gelasnya yang sudah diisi bir.
Jessy mengangkat gelasnya kemudian mengadunya dengan gelas Anneth pelan. "Untuk kesembuhan Ibu."
"Untuk kesembuhan Ibu."
Keduanya kini menenggak minuman mereka. Setelah itu mereka melanjutkannya dengan memakan paha ayam pedas yang menjadi makanan kesukaan mereka sejak sekolah menengah atas.