"Ets! Elu jangan seneng dulu! Karena ini semua harus lu bayar dengan mahal, Nona Safira." Kai menyeringai penuh arti, hingga mampu membuat Safira bergidik dengan sorot mata itu.
"Ba-bayar? Kamu mau aku bayar kamu berapa?" Lenyap sudah harapan Safira, pemikiran mengenai Kai yang tidak punya hati pun makin menjadi-jadi. "Uangmu udah banyak, Kai. Kamu masih minta uang sama perempuan miskin ini? Apa gak salah? Kalo kamu mau, aku bisa kasih apa pun asal kamu jangan pernah kasih tau Mas Arkana soal kerjaan sampingan aku ini. Selain uang tentunya."
Kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Safira memelan seiring kepalanya yang menunduk. Uang? Untuk bayar utang saja Safira masih harus banting tulang siang malam. Apalagi jika Kai sungguh-sungguh memintanya untuk membayar uang tutup mulut. Uang dari mana, coba?
"Gue gak butuh duit lu, Fir."
Eh?
Fir? Barusan Kai manggil aku, Fir? batin Safira yang harus menahan kesal karena Kai tidak menghargainya sebagai calon istri dari kakaknya.
'Tenang Fira. Tenang.' Safira bermonolog dalam hati sambil memejamkan mata dan mengatur napas.
Kira-kira apa yang diinginkan Kai jika bukan uang?
Kai menegakkan tubuh, meluruskan tangan, kemudian memangkas jaraknya dengan Safira. Tinggi Safira yang hanya sebatas d**a, memudahkan pemuda penyuka warna hitam itu menjangkau keseluruhan penampilan calon kakak iparnya.
'Lumayan.' Serunya dalam hati sembari mengusap-usap dagu.
Kali pertama Kai sedekat ini dengan Safira semenjak pertunangan sang Abang dan perempuan ini diresmikan satu tahun yang lalu. Kai tidak pernah melihat Safira dengan jarak sedekat ini. Terlebih selama ini dia memilih tinggal sendiri di apartment dan tidak serumah dengan Arkana.
"Elu bisa bayar gue dengan cara lain, Fir," ucap Kai yang seketika membuat Safira mendongak, lalu tercengang.
Reflek, kaki Safira mundur satu langkah, menjaga jarak aman sekaligus demi kebaikan cara kerja jantungnya yang mulai tidak terkontrol. Bisa-bisanya darah Safira berdesir hanya dengan menatap sepasang manik Kai.
"A-apa? Cara lain apa?" Kerongkongan Safira mendadak kering, karena Kai tak berhenti menatapnya. Tatapannya seolah-olah ingin menerkam Safira hidup-hidup.
"Tubuh lu. Bayar pakek tubuh lu."
Detik itu juga Safira tidak ragu untuk melayangkan satu tamparan keras di pipi Kai. "B*rengsek kamu!" umpat Safira, dengan segala amarah yang ingin dia luapkan secara bersamaan. Telapak tangan bekas menampar pipi Kai memanas. "Kamu pikir aku cewek apaan, hah!"
Murka sudah. Safira mencengkeram erat jaket kulit warna hitam yang membalut tubuh Kai. Tak hanya marah dengan perkataan Kai, Safira juga merasa terluka karena terinjak-injak harga dirinya. Bola matanya sudah memanas dan mungkin sebentar lagi akan menangis.
"Gue cuma ngasih ide lain buat lu. Gak ada salahnya 'kan?" Kai menanggapi kemarahan Safira dengan santai. Tamparan yang baru saja dia dapatkan tak berpengaruh sama sekali. "Terserah. Gue juga gak maksa lu." Dia singkirkan tangan Safira dari jaketnya.
"Kamu emang berengs*k!" Rahang Safira mengetat, dengan tangan yang tertahan di udara karena Kai lebih dulu memegangnya. Niat ingin menampar Kai lagi seketika urung.
"Kalo lu kayak gini, gue gak segan-segan bakal ngasih tau Papi gue. Ngerti!" Kai menyentak tangan Safira dengan sangat kasar, serta sorot mata mengancam. "Impian lu nikah sama orang kaya bakalan ancur!"
"Kamu!" Telunjuk Safira mengacung di ujung hidung Kai. Napasnya memburu akibat kemarahan yang tidak sepenuhnya bisa disalurkan. Kai ini memang tidak bisa diremehkan, pikir Safira.
"Jadi kamu mau ambil kesempatan dalam kesempitan? Ck, gak gentleman!" Safira berdecih, menurunkan telunjuknya, kemudian bersedekap, tetapi Kai malah tertawa.
"Bukannya ada hal yang harus kita bayar mahal dalam kehidupan ini? Lu tentu tau itu, Fir! Apalagi bagi orang-orang kelas rendah kayak lu," cibir Kai mulai bersikap semena-mena. Perkataannya jelas menyinggung Safira.
Tawa miris lolos dari mulut Safira, serta satu titik cairan bening menetes di pipi perempuan yang mengenakan pakaian seksi tersebut. "Aku mungkin memang miskin, tapi aku gak serendah yang kamu pikirkan. Apa salah, aku kerja sampingan seperti ini? Enggak 'kan? Aku juga gak merugikan orang! Apalagi kamu!" Telunjuknya mendorong d**a Kai, tetapi itu tidak berpengaruh sedikitpun.
"Tapi lu udah nipu keluarga gue sekaligus Abang gue!"
tok! tok!
Suara ketukan di kaca jendela mobil memecah lamunan Safira pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Menoleh ke samping, dan tidak mendapati Kai di balik kemudi.
"Fir!" Kai mengetuk kaca jendela lagi, dan Safira sontak menoleh, lalu berdecak. "Turun!" titah Kai.
"Iya, bentar!" Safira menghela sesaat sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Kenapa kita ke sini? Jam kerjaku masih lima jam lagi," tanyanya, sambil membenarkan tali tas selempang yang dia bawa.
Kenapa Kai membawanya ke Bar tempatnya bekerja sambilan, pikir Safira.
"Gue ada urusan bentar sama orang," sahut Kai, tidak memedulikan raut cemberut Safira. "Ayo." Setelah menekan tombol otomatis pada kontak mobil di tangan, Kai melangkah lebih dulu, meninggalkan Safira yang bersungut-sungut di balik punggungnya.
"Ngeselin banget ini orang!" Mau tak mau Safira menyusul Kai masuk ke Bar itu.
***
bersambung...