3 tahun berlalu begitu cepat, tak terasa Azie kini sudah duduk di kelas 3 sekolah menengah pertama. Azie tumbuh menjadi seorang remaja yang tampan dengan kulit sawo matangnya lebih tepatnya sedikit lebih hitam dari teman-temannya. Sementara Saiqa di usianya yang baru sepuluh tahun sudah bisa tamat sekolah dasar dan kini duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Gadis kecil itu tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dengan kulit kuning langsat, berbanding terbalik dengan sang kakak dan Saiqa masuk ke sekolah yang sama lagi dengan kakaknya. Kondisi mereka masih tetap sama, tinggal sementara di rumah gubuk dari warga di desa itu. Azie juga masih berjualan es Mambo serta kerja serabutan untuk mendapatkan uang tambahan. Terkadang dia jadi kuli panggul di pasar ketika libur sekolah, terkadang jadi kuli bangunan juga. Sementara Saiqa saat ini disibukkan dengan waktu belajarnya.
Pagi ini remaja lelaki itu akan berangkat ke sekolah, tapi ia tak bersama sang adik karena Saiqa masuk di siang hari. Khusus kelas satu masuk siang hari karena sekolah mereka masih kekurangan ruang kelas.
"Hati-hati di jalan ya kak. Jangan sampai telat lagi ya pulangnya!" Pesan Saiqa.
"Ya tergantung gurunya dek. Kamu tenang aja nanti besok kakak akan belikan lagi sepatu untukmu ya. Agar kita tidak giliran lagi!" Ucap Azie seraya mengelus kepala sang adik dengan lembut.
"Memangnya kakak sudah ada uang?" tanya Saiqa dengan wajah polosnya.
"Alhamdulillah, nanti sore kakak terima upah dek!" Jawab Azie dengan senyum bahagia di wajahnya. Setiap hari Senin sore ia akan menerima upah dari ketua proyek tempat ia bekerja menjadi kuli bangunan. "Nanti sepulang kakak jualan, kakak akan belikan sepatu untukmu!" Lanjut Azie lagi yang membuat senyum di wajah Saiqa melebar.
"Terimakasih kak!" Ucap Saiqa seraya memeluk tubuh cungkring sang kakak.
"Ya sudah kakak berangkat dulu sana, nanti terlambat!" Saiqa melepaskan pelukannya.
"Hati-hati di jalan ya kak!" Pesan Saiqa.
"Kamu juga hati-hati di rumah ya." Azie pun meninggalkan sang adik yang tengah melambaikan tangan melepas kepergiannya. Anak lelaki itu pun mengayuh sepeda bekas yang diberikan oleh sahabatnya di sekolah, Biru. Tak hanya Azie, Saiqa pun mendapatkan sepeda bekas dari Zara, anak perempuan yang berhasil menjadi teman dekat Azie di sekolah. Walaupun Zara berada di kelas yang berbeda, gadis itu tetap mengunjungi Zie dan Biru ke kelasnya. Zara dan Biru merupakan dua anak yang beruntung karena mereka berasal dari orang tua yang berada, tapi mereka tidak malu bergaul dengan Zie yang bisa di bilang miskin itu. Azie memang miskin, tapi ia memiliki hati yang sangat kaya. Bahkan sikap dan prilakunya juga sangat terjaga.
Ke dua teman dekat Azie begitu baik terhadapnya dan juga sang adik, namun Azie tak ingin memiliki hutang Budi terlalu banyak sehingga ia selalu menolak bantuan kedua temannya. Azie hanya menerima pemberian sepeda dari keduanya saja, karena itu yang sangat dibutuhkan anak itu mengingat jarak antara sekolah dan rumahnya kini cukup jauh. Sementara ia belum mampu hanya sekedar untuk membeli satu sepeda bekas saja. Sepeda bekas dari Zara dan Biru pun masih terlihat sangat bagus. Kedua sepeda itu tak diterima Zie begitu saja, sebagai gantinya Zie membantu mengajar Zara dan Biru setiap mereka kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah untuk pelajaran bahasa Inggrisnya. Ya setidaknya Zie sangat pintar di pelajaran bahasa Inggris dan Matematika.
"Pagi Zie, tumben nggak bawa rombong es? Nggak jualan?" tanya Biru yang bertemu dengan Zie tepat di gerbang dalam sekolah, sekolah ini memiliki dua gerbang keamanan yaitu gerbang utama yang akan selalu terbuka dan gerbang kedua yang ada di bagian dalam sebagai pintu keluar-masuk murid menuju kelas mereka. Jadi tidak kalau ada yang terlambat maupun berniat bolos maka mereka harus bersiap-siap menerima hukuman. SMP tempat Zie bersekolah merupakan salah satu sekolah unggulan di kota itu. Dan beruntungnya Zie bisa masuk sana juga karena dapat beasiswa, sama seperti sang adik. Hanya saja yang membedakan Saiqa bisa masuk ke sekolah elit lainnya, tapi ia lebih suka mengikuti sang kakak.
"Nggak Bi, pagi ini libur dulu jualannya. Hari ini nggak ada jadwal razia sepatu lagi kan?" tanya Azie, keduanya kini berjalan bersama menuju ruang kelasnya yang ada di deretan pertama ketika memasuki gerbang kedua. SMPN 04 ini sangatlah luas, dan bangunan kelasnya juga sudah lumayan, hanya saja masih ada kelas satu yang masuk di siang hari karena jumlah muridnya terus bertambah tiap tahunnya.
"Sepertinya nggak ada Zie, kamu sih keras kepala sekali. Coba kamu terima saja sepatu dariku, jadi kamu nggak perlu pakai acara giliran make sama adikmu. Jadi mau razia juga nggak masalah kan!" Ucap Biru seraya merangkul bahu sahabatnya itu, karena banyaknya murid-murid yang mengenakan sepatu berbagai macam model dan merek, serta gaya berpakaian murid-muridnya yang banyak menyimpang membuat guru BK melakukan penertiban dan melakukan razia untuk semua kelas. Bagi murid yang tak mengenakan sepatu yang telah di tentukan sekolah akan mendapatkan sangsi berupa sepatu mereka di tahan dan harus nyeker sampai jam sekolah selesai barulah sepatu mereka diberikan kembali.
"Terimakasih banyak Bi, tapi aku tak mau merepotkan orang lain. Insyaallah nanti sore aku sudah dapet upah dan bisa beliin Saiqa sepatu." Ucap Zie tersenyum lebar.
"Ya ya, eh kamu mau nggak kerjanya di rumah aku saja. Cukup jadi guru les bahasa Inggris dan matematika, jadi kamu nggak perlu kerja di luar lagi. Kasian lho kulitmu jadi tambah kurus kering dan item dekil." Biru memberikan tawaran, tentu saja di bagian akhirnya hanya bercanda. Kini mereka sudah sampai di depan kelasnya, tempat duduk Zie dan Biru berada di deretan paling depan tepat di belakang pintu. Dulu Zie selalu memilih duduk di bangku paling belakang, tapi setelah sekelas dengan Biru, ia dipaksa untuk pindah ke depan. Biru juga merupakan murid pindahan ketika Zie duduk di bangku kelas dua.
"Eh jangan salah, item begini eksotis tau. Mari kita lihat ada apa lagi sekarang di dalam kolom meja ini!" Ucap Zie dengan percaya diri seraya memasukkan tangannya ke dalam kolom meja. Laki-laki kecil itu setiap hari biasa menerima surat bahkan hadiah-hadiah kecil dari para siswi di kelas maupun yang berbeda kelas dengannya. Dan benar saja, ada 4 amplop surat warna-warni, ada sebatang coklat Silver Queen, dan juga ada satu kotak permen coklat.
"Wow kamu memang sungguh menjadi pria idaman di sekolah." Puji Biru seraya mengacungkan dua jempolnya.
"Ini juga semua karena kamu. Sekarang coba lihat apa yang ada di kolom mejamu!" Titah Zie pada Biru, namun Biru tidak mengobok kolom meja dengan tangannya. Ia langsung membungkukkan badan dan menengok ke dalam sana.
Seperti biasa kolom meja Biru sudah penuh sesak dengan surat dan hadiah. Ya Biru memang sangat tampan, bagaimana tidak bapaknya adalah pebisnis asal negeri kincir angin. Sesuai dengan namanya, Biru memiliki manik mata biru yang sangat indah, kulit seputih s**u, dengan hidung mancung dan dagu lancipnya. Belum lagi bibir ranumnya yang menawan, bagian atasnya yang tipis dengan bibir bawahnya yang sedikit tebal dan berbelah tengah.
Seisi sekolah tentu sangat mengidolakan Biru, jika ia berjalan dengan Zie terlihat jelas bagai s**u dan kopi. Tak hanya murid kelas satu sampai kelas tiga yang mengidolakan Biru, namun para mahasiswi yang tengah PPL pun jatuh cinta pada Biru. Sementara Zie juga mendapatkan hadiah-hadiah itu karena kecipratan pesona dari sahabatnya.
"Bagaimana caranya agar mereka berhenti melakukan hal bodoh ini lagi!" Gerutu Biru seraya menegakkan badannya kembali.
"Bagaimana kalau kita pasang saja perangkap tikus di sana!" Ucap Zie memberikan ide cemerlangnya.
"Jangan bro, itu terlalu berlebihan. Kita bisa saja menyakiti mereka." Tolak Biru yang tak tega akan ada orang yang tersakiti nanti.
"Melow kamu bro." Seloroh Zie, dan keduanya pun tertawa.
Tentu saja di dalam kelas itu tidak hanya ada mereka berdua, ada beberapa siswi yang tengah asyik melihat pemandangan indah di pagi itu menjadi vitamin dan angin segar untuk penyemangat hari-hari mereka yang membosankan.