BAB 7

1251 Kata
Hampir saja Aura terjatuh jika tangan laki-laki yang beberapa kali ditemuinnya ini tidak menyanggah tubuhnya karena refleks. Jika tidak, bisa-bisa ia terjatuh karena tidak mampu menyeimbangkan dirinya.. "Udah bisa lewat," ucap laki-laki itu saat pintu menuju tempat duduk terbuka. Aura berjalan lebih dulu diikuti oleh pria tersebut. Tersisa dua tempat duduk berada di bagian belakang bus. Aura berhenti sejenak sebelum duduk menunggu laki-laki yang berbeda beberapa langkah dengannya. "Mau di pinggir?" tanya Aura menawarkan. "Kamu aja,” jawab laki-laki itu. Aura melangkahkan kakinya dan duduk di kursi yang berada tepat dipinggir, membiarkan laki-laki itu duduk di sampingnya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Ini uang gantinya," ucap Aura menyerahkan uang tersebut namun tidak diterima oleh laki-laki itu. "Gak usah, simpen aja." "Tolong terima, jangan buat aku ngerasa gak enak." "Udah, anggap aja buat kamu yang ngulur waktu berangkat bus. Kalo gak, aku bakal ketinggalan bus." "Tetap aja, kalau tadi kamu telat 'kan aku udah diusir." "Hm, kalo gitu boleh nanya kamu mau ke mana?" tanya laki-laki itu yang membuat Aura bingung. "Kerja," jawab Aura. "Cafe lagi?" "Iya." "Kalau gitu traktrir americano aja," sahut laki-laki itu yang disambut anggukan setuju dari Aura. Sudah menjadi kebiasaan untuk tidak berhutang atau menerima kebaikan dari orang lain secara cuma-cuma, Aura takut suatu saat ia berada diposisi yang membuatnya kesulitan membayar hutangnya. Makanya, kebiasaan baginya adalah membalas hutang atau kebaikan orang apapun itu. Kini, ramianya jalanan dan tingginya gedung menjadi pemandangan yang menarik bagi Aura untuk dilihat. Suasana diantara mereka tiba-tiba menjadi canggung. "Aura," panggil laki-laki disebelahnya yang tentu saja membuatnya langsung menoleh. "Namaku Agry," ucapnya. Aura ingat sekali wajah laki-laki yang kini ia tahu namanya Agry itu menatapnya dengan senyum yang terlihat tulus. Mungkin, pertemuan pertama mereka adalah kebetulan. Pertemuan kedua mereka juga ketidaksegajaan. Tapi, sejak mereka sudah bertemu lebih dari ketiga kalinya Aura sudah menganggap takdir mempertemukan mereka. "Aku Aura." "Sudah tahu. Lalu bagaimana dengan audisimu? Hari ini audisi terkahir, kan?" Wajah Aura tiba-tiba berubah, senyum di bibirnya mendadak muncul dengan lebar dan takbisa ia tahan. "Aku lolos," ucap Aura kecil seakan berbisik. "Wah, selamat ya..., kamu ikut audisi idol atau aktris?" "Aktris," balas Aura percaya diri. "Cocok," guman Agry yang dapat didengar oleh Aura. Namun, saat Aura menanyakan maksudnya Agry hanya menggeleng dan tersenyum membuat Aura tidak ingin bertanya lebih lanjut. "Oh iya, kamu kerja di Highlight Ent. juga kan? Tapi kayaknya sering banget ya kita ketemunya di luar. Kamu emang sering kerja di luar?" tanya Aura. Tidak ada kekhawatiran bagi Aura, menurutnya Agry adalah salah satu orang baik yang cukup membuatnya senang karena bisa mengenalnya. "Eh ... em ... Iya, ada tugas di luar. Nyari referensi," balas Agry sedikit terbatah. "Ayo turun," ucap Aura saat melihat cafe tempatnya berkerja dari kejauhan. "Kayaknya aku mampir nanti malam aja, soalnya ada yang mau aku kerjain." Aura mengangguk mengerti lalu berdiri bersiap untuk berjalan, "sampai nanti," ucap Aura. *** Aura mengganti pakaiannya saat Winda yang tiba-tiba memutuskan untu menutup cafe lebih cepat. Biasanya cafe akan tutup jam 11 malam tapi khusus untuk hari ini, Winda menutup cafe jam 7 malam. Aura cukup senang memiliki Winda sebagai teman, saat Aura mengabari Winda jika ia lolos audisi tahap terakhir Winda tiba-tiba mengajaknya untuk membuat pesta perayaan kecil di cafe. "Pake ini, Ra," ucap Winda memberikan sebuah flower crown kepada Aura. "Gak usah ih," balas Aura ia merasa Winda terlalu berlebihan. Bahkan, kini Winda mendandaninya. Padahal, biasanya Aura tidak terlalu sering memakai full make up. "Bentar lagi temenku ini bakal jadi artis, jadi harus dimanfaatin dulu." Aura tertawa mendengar ucapan Winda. Baginya Winda adalah salah satu orang yang berjasa dalam hidupnya karena telah membantunya selama ini apalagi telah membiarkan dirinya berkerja di cafe miliknya. Winda bukan hanya sahabat bagi Aura, tapi sudah seperti saudara. "Ayo keluar," ajak Winda saat selesai mendandani Aura. Tepuk tangan oleh beberapa staff memenuhi cafe saat Aura keluar, mereka semua mengucapkan selamat kepada Aura. Tentu saja, hari ini menjadi hari yang tidak terlupakan bagi Aura. "Duduk sini, ayo kita makan dulu. Dagingnya udah masak." Dean salah satu barista yang juga sahabat Aura menunjukkan tempat untuk Aura dan Winda duduk. Kini mereka menikmati makanan grill yang dimasak. Suara pintu terbuka secara tiba-tiba mengejutkan semua staff, wajah yang asing bagi staff membuat mereka bingung. "Maaf kita sedang tutup," ujar Dean. Aura yang mengenali sosok Agry tersenyum kecil, lalu berdiri dari duduknya. Meminta Dean untuk kembali ketempatnya. "Kayaknya gak bisa hari ini," ucap Aura. "Kenal, Ra?" tanya Winda yang seakan mengerti. Aura mengangguk menjawab ucapan Winda. "Ayo sini, makan bareng." "Eung gak usah, saya lain kali aja ke sini lagi." "Ajakin, Ra," sahut Winda lagi. Aura yang merasa tidak enak kepada Agry, menarik tangan Agry dan mengajaknya duduk dan makan bersama mereka. Aroma daging yang di grill menyeruak memenuhi ruangan, Aura merasa senang karena perhatian dari teman-temannya. Bahkan, Aura sedikit terkejut melihat Agry yang awalnya terlihat canggung mulai kelihatan akrab dan banyak berbicara. Mereka bahkan berkerja sama merapikan kekacauan yang mereka buat karena pesta sederhana mereka. Aura dan Winda bertugas mencuci piring dan peralatan makan yang tadi dipakai, sedangkan yang laki-laki bertugas membereskan ruangan dan merapikan kembali alat-alat masak yang digunakan. "Pacar kamu?" tanya Winda memecahkan keheningan diantara merrka berdua. "Hus, ngawur." "Terus siapa?" "Em ... bisa dibilang kenalan," saut Aura setelah beberapa saat berpikir. Aura bingung harus menyebut Agry sebagai teman atau bukan, tapi nyatanya dia belum seakrab dengan Agry untuk menyebutkan bahwa Agry adalah temannya. "Kamu suka?" "Suka apa nih?" ucap Dean yang tidak tahu muncul dari mana membuat Aura langsung mengalihkan pandangannya. "Siapa nih, yang suka? Suka apa sih?" Pundak Dean langsung dipukul oleh Winda, saat sadar kini semua orang menatap ke arah mereka. Suara Dean yang lantang dan tiba-tiba membuat mereka menjadi ikut penasaran. "Udah, kalo selesai balik sana." Winda mengakhiri keributan. Sedangkan Aura, dia berjalan lebih dulu setelah membasuh tangannya. Tugasnya sudah selesai lebih dulu, ia berjalan menuju sebuah bangku di mini bar meninggalkan Winda yang pekerjaanya juga hampir selesai. "Kalo udah belakang di cek dulu, habis ini kita pulang. Sampah buang dulu di belakang," perintah Winda yang langsung dituruti oleh staff yang memang dapur. "Ah ... akhirnya selesai," lanjut Winda berjalan mendekati Aura. "Kalian balik bareng 'kan?" tanya Winda sengaja. "Enggaklah, 'kan beda jalan." "Cewek gak boleh balik sendirian. Apalagi malam-malam, banyak banget kriminal. Agry nganterin kan?" tanya Winda lagi seskan memperjelas, membuat Aura menatap Luna dengan tatapan kesalnya. "Em ... iya," balas Agry singkat dan agak ragu karena Aura menatapnya berharap ia mengerti dan menolak. "Bagus, kalo gitu ayok pulang!!!" Mereka semua berpamitan lalu berjalan secara memisah, meninggalkan Aura yang sekarang berjalan berdampingan dengan Agry. "Gak usah dianter, rumah aku deket kok dari sini. Lagian, masih jam segini juga." "Gak apa-apa. Bener kata Winda, gak aman perempuan pulang sendiri." "Aku, sedikit tidak nyaman. Em, bukan sama kamu." Aura mendadahkan tangannya, mengungkapkan ketidakenakannya agar Agry tidak salah paham. "Aku gak nyaman karena kita baru kenal, tapi kalau kita ketemu lagi gak apa-apa kok. Kamu bisa ikut, aku pasti sudah sedikit lebih baik." Aura menghentikan langkah kakinya, lalu membalikan tubuhnya ke kanan. Kini, ia dan Agry dalam posisi yang berhadap-hadapan. "Aku ngerti," balas Agry dengan senyum kecil membuat Aura sedikit lega. "Kalau begitu, antar sampai depan sana. Karena aku lihat Winda masih melihat dari cafe," ucap Aura dengan senyum kecil. Sungguh, ia malu dengan Winda. Saat membalikkan badannya, dengan jelas ia melihat Winda dan Dean yang masih berdiri di depan cafe memperhatikan ke arahnya. "Oke," jawab Agry tertawa kecil lalu Aura membalikan lagi badannya dan berjalan berdampingan bersama Agry. Meskipun, mereka tidak banyak berbicara karena sibuk bergulat dengan pikiran mereka masing-masing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN