Aura mengikuti Agry berjalan masuk ke sebuah warung sarapan pinggir jalan, Aura pikir Agry akan mengajaknya sarapan di cafe atau restoran namun ternyata malah mengajaknya ke pinggiran seperti ini. Tapi ini bukan berarti Aura tidak menyukainya, baginya di masa saja sama hanya terkadang gengsi dan kedudukan seseorang membuat batasannya sendiri.
Agry masuk terlebih dahulu, ia terlihat seperti sudah sering ke sini. Ia juga menyapa ibu penjual dengan ramah yang di balas dengan senyum ramah juga oleh ibu penjual, maklum saja di sini pembeli sedang ramai - ramainya. Agry mengambil kursi lain, memberikan tanda lewat matanya agar Aura duduk di kursi itu.
Meski tidak sendirian, ibu itu terlihat masih kewalahan dengan pembeli yang cukup ramai. Maklum saja, mungkin mereka tidak sempat sarapan di rumah sehingga membeli sarapan di luar adalah pilihan yang terbaik yang mereka punya. Ibu penjualnya juga terlihat ramah melayani pembeli, wanita muda yang sepertinya anaknya juga terlihat cekatan dan telaten membantu si ibu.
"Pesan apa mas sama mbaknya?" tanya ibu penjual tanpa melihat meski begitu Aura melihat ia masih sibuk memasukkan bungkusan pembeli ke dalam kantung, meski ia berbicara sambil melayani pembeli lain tetap saja ia melayani dengan ramah.
Sepertinya tempat sarapan ini cukup terkenal di daerah ini, bisa di lihat hingga sekarang saja masih banyak yang mengatre menunggu untuk membeli sarapan. Pembeli satu berganti dengan pembeli lainnya, padahal Aura sendiri sering lewat sini tetapi ia baru pertama kalinya melihat dan mampir ke warung sarapan ini dan itu juga karena Agry.
"Aura kamu mau makan apa?" tanya Agry menatap Aura.
Pandangan Aura menatap ke arah menu yang tertempel di dinding, ada berbagai macam sarapan pagi dari nasi uduk hingga nasi minyak, ada juga gorengan dan kue - kue beragam rasa lainnya yang terlihat enak. Namun, kali ini Aura tidak tergoda karena ia juga harus menjaga badannya.
Jika tidak harus menjaga badannya tentu saja Aura akan mencomot tanpa ragu kue - kue yang terlihat enak itu. Namun apa boleh buat, mungkin lain kali Aura akan mencoba kue - kue itu karena kue - kue itu jelas menarik perhatian Aura. Agry segera menyadarkan Aura dari lamunannya memilih menu makanan di sini, Aura membaca ulang sekali lagi menu yang tertempel di dinding itu.
Sejenak ia bingung, "samain aja," ucap Aura cepat, ia bingung makanan apa yang enak di sini dan juga Aura sebenarnya tidak enak memilih makanan apa lagi jika bukan karena Agry yang bersikeras ingin membayarnya.
Tidak mau berpikir panjang, Aura memilih menu yang sama dengan Agry yang sepertinya sudah beberapa kali ke sini. Lagi pula Aura bukan tipe orang yang memilih makanan, apa saja ia makan sebenarnya. Agry juga terlihat sering ke sini, jadi Aura sangat yakin jika nanti pilihan Agry pasti akan enak.
"Kamu duduk dulu di sini," ucap Agry menunjuk sebuah meja dengan kursi yang panjang.
Duduk di kursi ini sendiri membuat Aura teringat dengan meja dan kursi kantin saat sekolah dulu yang biasanya akan dengan cepat penuh saat jam istirahat tiba, terkadang harus mengatre bergantian atau jika malas membeli makanan dan memakan di kelas adalah pilihan terakhir. Anehnya, saat itu terasa menyenangkan saat mengatre lalu cepat - cepatan sampai ke kantin agar mendapatkan tempat lebih dulu.
Beberapa saat kemudian Agry kembali, ia duduk tepat di sebelah Aura. Mereka duduk agak berhimpit karena memang tempat yang tidak terlalu luas dan juga pelanggan yang sepertinya masih terus bertambah. Aura agak bergeser, bukannya ia tidak nyaman tetapi ia memberikan Agry ruang lebih.
"Pak Agry sudah sering sarapan di sini?" tanya Aura.
Sedari tadi Aura penasaran, apakah tebakannya sejak tadi benar jika Agry sering sarapan di sini. Melihat keakraban Agry dengan ibu penjual sebenarnya sudah seperti jawaban bagi Aura, tetapi ia tetap menanyakannya daripada harus diam - diaman canggung itu yang Aura pikirkan.
Agry tertawa, "kita di luar kenapa kamu panggil saya bapak, iya saya sering sarapan di sini. Kamu belum pernah sarapan di sini?" tanya Agry masih dengan tawa kecilnya.
"Kita 'kan ada urusan pekerjaan jadi sepertinya saya harus memanggil kamu bapak," ucap Aura dengan kekegan kecil.
Tawa beradu di antara mereka, Agry mengangguk - anggukan kepalanya, "baiklah," ucapnya menyerah, atau lebih ke tidak ingin mendebat.
"Saya heran kalau kamu tidak tahu tempat ini, padahal tidak terlalu jauh dari rumah kamu. Sekali kamu sarapan di sini sepertinya kamu akan ketagihan," ucap Agry yang malah seperti mempromosikan tempat makan ini.
Mendengar cara bicara Agry jelas membuat Aura tertawa lepas, "kita lihat saja," ucap Aura masih dengan tawa yang ia tahan.
Tidak lama penjual meletakkan pesanannya di atas meja, ia menatap Agry. "Sama siapa mas Agry, pacarnya ya?" tanya penjual itu dengan senyum kecil membuat Agry dan Aura sama - sama canggung.
"Temen bu," jawab Agry langsung, ibu penjual itu tertawa kecil.
Ibu penjual itu menolehkan sebentar kepalanya ke arah Agry, "semua berawal dari temen mas," ucapnya pada Agry namun dapat di dengar jelas oleh Aura, bahkan ia sampai tersedak karenanya.
Agry yang mendengar Aura tersedak refleks langsung mengambil botol berisi air mineral, membuka segelnya lalu memberikannya kepada Aura. Tangan Aura langsung meraih botol pemberian Agry dan ia meminumnya. Tenggorokannya terasa agak sakit karena tersedak tadi, Aura meminum lagi air minumnya karena tenggorokannya masih terasa tidak enak.
"Pelan - pelan," ucap Agry, Aura mengangguk masih sambil terbatuk.
Aura meminum kembali air dari dalam botol, kemudian setelah beberapa saat kemudian ia sudah merasakan lebih baik. Agry masih menatap Aura, ia sendiri bingung bagaimana harus membantu Aura. Saat melihat Aura sudah terlihat lebih baik, Agry memandang Aura terlebih dahulu sebelum bertanya.
"Udah baikkan?" tanya Agry saat melihat Aura menutup botol minumnya.
Kepala Aura terangguk, "udah pak," saut Aura menatap Agry.
"Lanjutin aja pak sarapannya," ucap Aura, ia malah tidak enak karena membuat Agry urung sarapan.
Agry menganggukkan kepalanya dan menyendokan suapan pertama ke mulutnya, Aura juga melanjutkan sarapannya yang tadi sempat terhenti. Mereka berdua makan dalam diam, suasana di antara mereka tiba - tiba menjadi canggung begitu saja. Padahal tadi mereka banyak mengobrol, entah apa saja yang mereka bicarakan.
Hingga, tanpa sadar mereka menghabiskan sarapan dengan begitu cepat. Aura dan Agry berdiri setelah selesai sarapan, "biar saya yang bayar pak," ucap Aura hendak mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.
Agry menahan tangan Aura, "gak perlu," ucap Agry.
Aura menggeleng, "udah pak anggap aja untuk tumpangan bapak," saut Aura tidak mau mengalah.
"Saya laki - laki, prinsip saya tidak ingin perempuan membayar sesuatu untuk saya selagi saya bisa membayarnya. Jadi gak perlu Aura," ucap Agry tegas, namun tidak membuat Aura menyerah.
"Please, saya ngerasa gak enak kalau gak gini," ucap Aura.
Agry menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum kecil, "saya ikhlas, udahlah waktu itu kamu udah neraktir saya di cafe. Sekarang biar saya," ucap Agry akhirnya membuat Aura menyerah ia menutup kembali tasnya sedangkan Agry mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan membayarkan sarapan tadi kepada penjual.
"Ayo ke mobil," ucap Agry setelah menyelesaikan p********n.
Aura mengikuti langkah Agry lalu masuk ke dalam mobil, " ternyata kamu ini suka berdebat juga ya," ucap Agry sambil memasang sabuk pengamannya.
Pandangan heran di lontarkan oleh Aura kepada Agry, "apa maksudnya?" tanya Aura yang terlihat bingung.
"Enggak, tadi kamu kayaknya suka banget debat pas bayar tadi," balas Agry dengan kekehan.
Aura ikut terkekeh kecil, "bukan begitu sih pak, hanya saja saya tidak terbiasa juga untuk menerima pemberian orang lain. Saya merasa gak enak," ucap Aura jujur.
Karena Aura tidak memiliki pengalaman menyenangkan dalam pertemanan, hingga ia bahkan tidak memiliki banyak teman bahkan sahabat sehingga hal seperti ini sangat membuat Aura berhati - hati. Apa lagi kepada Agry, meskipun Agry mungkin menanggapinya biasa saja tapi mana mungkin Aura makan di bayari oleh atasannya. Aura masih memiliki akal sehat untuk menolak, makanya ia tadi menolak tapi sepertinya Agry juga memiliki prinsip yang sama dengannya. Aura mengalah akhirnya, itu juga karena Aura tidak ingin menyenggol ego Agry.
"Udah siap jalan?" tanya Agry dengan senyum khasnya.
Aura mengangguk lalu memasang sabuk pengamannya, "sudah siap," saut Aura ketika selesai memasangkan sabuk pengamannya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang dan mulai meninggi, selama di perjalanan Aura banyak mendapatkan pelajaran dari Agry. Menurut Aura, Agry adalah orang yang tidak pelit untuk berbagi pengalaman dan saran sehingga Aura sendiri merasa nyaman bertukar pikiran dengan Agry.
"Intinya kamu jangan selalu merasa tertekan, jadikan tertekan itu sebagai pemicu agar kamu bisa berkerja dengan keras. Saya yakin kamu akan berhasil," ucap Agry membuat Aura menganggukkan kepalanya mengerti.
Setelah di pikir - pikir, apa yang di katakan oleh Agry benar. Ia harus menjadikan tekanan yang ia rasakan sebagai pemacu dalam latihannya, bukan menjadikannya sebagai beban semata. Rasanya Aura ingin menertawakan dirinya sendiri, kenapa ia tidak pernah berpikir seperti itu selama ini. Jika ia berpikir seperti itu, Aura tidak akan merasa takut akan tekanan itu malah ia harusnya menjadikannya sebagai pacuan agar semakin giat.
"Terima kasih banyak pak atas semua masukannya," ucap Aura dengan sangat tulus.
Agry mengangguk, "tidak gratis," ucap Agry dengan kekehan.
Aura ikut terkekeh, "akan saya traktir di cafe tempat saya kerja nanti," jawab Aura.
Agry masih tertawa, "saya akan menunggunya," saut Agry membuat mereka berdua sama - sama tertawa.