Sekarang, Aura bisa sedikit bernapas lega setelah ia menyelesaikan permasalahannya di bank. Untuknya, pihak bank menerima jika Aura ingin membayarkan hutang - hutang orang tuanya dengan cara di cicil selama 6 bulan, awalnya mereka menolak karena selama ini Aura tidak bisa membayar hingga hampir jatuh tempo. Namun, mereka diam ketika Aura membayar sebesar 15 juta, hasil gaji dan tabungannya selama ini.
Beban di pundak Aura rasanya sedikit terangkat, masalah besar yang selalu menjadi beban pikirannya selama ini akhirnya sudah menemukan jalan keluarnya sendiri. Meskipun artinya Aura tidak bisa menghabiskan gajinya dengan bebas selama beberapa bulan, tetapi tidak masalah karena kesehatan mentalnya lebih penting saat ini bagi Aura sendiri terutama.
Setelah keluar dari dalam bank, cuaca di luar terasa cukup sejuk. Angin bertiup dengan cukup kuat, sepertinya hujan akan segera turun tetapi langit masih terlihat terang. Belakangan cuaca rasanya hampir tidak biss di prediksi, bahkan saat cuaca terang saja bisa tiba - tiba turun hujan. Entah bagaimana bisa begitu, langitlah yang mengetahui rahasiannya sendiri.
Langkah kaki Aura bergerak meninggalkan bank, ia berjalan menuju halte bus yang tepat berada di depan bank. Ia duduk di area tunggu sambil melihat ponselnya, tangan Aura menekan sebuah aplikasi. Saat terbuka, ia melihat foto - foto Winda bersama staf cafe lain. Membuat Aura menjadi kangen dengan suasana cafe, Aura berpikiran untuk mampir ke cafe.
Beberapa saat kemudian sebuah bus berhenti, beberapa orang keluar dari dalam bus dan beberapa orang lagi naik ke dalam bus sama seperti Aura yang saat ini tengah menatap ke sekeliling bus mencari tempat duduk. Aura melangkahkan kakinya ke belakang, ia duduk di kursi panjang yang ada di bagian belakang bus. Saat terduduk, ia teringat kembali dengan kejadian saat bertemu dengan Agry.
"Karcisnya mbak," ucap seseorang yang sepertinya kernet bus.
Aura membuka tasnya mengambil dompetnya lalu memberikan satu lembar uang 5 ribuan, "ini mbak," ucap kernet itu menyodorkan karcis setelah Aura memberikan uang ongkos.
Suasana di dam bus terlihat ramai, sepertinya karena hampir memasuki jam pulang kerja sehingga beberapa orang sudah akan pulang ke rumah. Ada juga beberapa siswa sekolahan yang baru saja pulang, entah dari main atau dari pelajaran tambahan yang ada di sekolah sehingga mengharuskan mereka untuk pulang terlambat.
Aura tersenyum kecil, "terima kasih," ucap Aura ramah.
Bus kembali berhenti di sebuah halte, beberapa orang dari dalam bus terlihat bersiap untuk keluar. Kernet bus juga mengawasi dari pinggir pintu, di sini cukup banyak orang yang keluar dari dalam bus ini, namun banyak juga yang masuk ke dalam bus meskipun tidak sebanyak yang keluar tadi. Sepertinya bus masih di gemari oleh semua kalangan, apa lagi untuk kalangan menengah kebawah yang tidak memiliki kendaraan bisa menjadi alternatif lain.
Jalanan sepertinya cukup sepi hari ini, atau mungkin karena hampir mendekati jam pulang kantor sehingga jalanan menjadi lebih sepi. Entahlah, Aura juga tidak tahu tapi berkat jalanan yang sedikit sepi Aura jadi bisa sampai lebih cepat. Waktu memang berlalu dengan sangat cepat, tidak terasa hanya beberapa hari sudah memasuki akhir pekan.
Bus mulai perlahan berhenti, Aura juga bersiap berdiri dari duduknya dan hendak berjalan menuju ke arah pintu. Kernet membukakan pintu, lalu beberapa orang keluar termasuk dengan Aura. Angin berhembus dengan cukup kencang saat Aura keluar dari dalam bus, anak rambutnya ikut berterbangan untungnya ia tadi sempat mengikat rambutnya di dalam bus.
Langkah kaki Aura bergerak dengan ringan menuju cafe, Aura bahkan tidak dapat menyembunyikan senyum yang ada di bibirnya saat ini. Bahkan, ia mempercepat langkah kakinya. Mata Aura sudah menangkap cafe yang ada di depannya, ia mendorong cafe itu. Sambutan ia dengar begitu Aura membuka pintu cafe, ia tersenyum semakin lebar saat Aura menangkap Winda menyadari kehadirannya.
Winda memberi tanda untuk Aura menunggu sebentar karena ia masih menyiapkan pesanan pelanggan, Aura mengangguk lalu mengambil tempat duduk sambil menunggu Winda. Aura tidak bisa menghilangkan senyumnya saat ia melihat Winda berjalan mendekat, ia kemudian duduk setelah meletakkan nampan di atas meja.
"Strawberry shake kesukaan kamu," ucap Winda dengan senyum lebar, Aura mengangguk senang dan langsung menyesap minumannya.
Winda sengaja membuatkan Aura minuman favoritnya, saat berada di cafe Aura memang paling sering menjadikan strawberry shake sebagai minuman favoritnya. Ia bahkan tidak mengganti minumannya itu sejak awal dia berada di cafe, sampai - sampai Winda mengingat kembali kebersamaan yang mereka jalani bersama dulu.
"Thank you," saut Aura, moodnya menjadi lebih baik sekarang.
Pintu terbuka kembali, mata Aura secara refleks menatap ke arah pintu. Dari balik pintu Dean masuk ke dalam dengan senyum lebar, ia memandangi ke sekeliling cafe sampai akhirnya matanya bertemu dengan Winda dan Aura. Lalu, tanpa pikir panjang Dean langsung melangkahkan kakinya ke arah mereka berdua.
"Kak Dean!" panggil Aura, Dean langsung berjalan mendekat sedangkan Winda sudah bergeser memberikan tempatnya untuk Dean.
Winda tertawa melihat Aura, "biasanya juga manggilnya Dean gak make kakak," ucap Winda membuat Aura ikut tertawa karenanya.
"Sekali - kali, 'kan udah lama gak ketemu," ucap Aura dengan kekehan, Winda juga ikut terkekeh.
Dulu, saat baru mengenal Dean memang Aura sering memanggilnya dengan sebutan Kak begitu juga pada Winda, namun seiring berjalannya waktu Dean juga seperti Winda yang menganggap Aura sebagai adiknya sendiri sehingga ia dan Winda sama - sama meminta Aura untuk tidak memanggil mereka dengan sebutan 'kak' agar menghilangkan batasan di antara mereka.
"Udah lama Ra?" tanya Dean yang baru saja terduduk di samping Winda.
Aura mengangguk, "gak juga sih," sautnya.
"Apa kabar kamu, udah sibuk ya sekarang. Kalo terkenal jangan lupa sama kita," ucap Dean yang malah membuat Aura semakin tertawa lepas.
Dean memang termasuk orang yang humoris, Aura dan Winda tentu saja sangat sering tertawa jika berbicara dengan Dean. Aura menatap Winda, "makin pinter ngomong nih Dean," ucap Aura dan Winda mengangguk setuju.
"Iya tuh, makin pinter aja dia," saut Winda yang kemudian tertawa lepas.
"Mau minum apa, biar aku buatin?" tanya Winda penuh perhatian menatap Dean.
"Udahlah suruh yang lain aja yang buatin, Aura jarang - jarang ke sini. Gimana kita nanti malem makan malem bareng?" ucap Dean dengan bersemangat, Winda langsung mengangguk dengan semangat menyetujui.
"Ayo Ra, kapan lagi?" tanya Winda menunggu jawaban dari Aura.
Setelah menimang akhirnya Aura mengangguk setuju, "oke," saut Aura lalu tertawa kecil.
Lagi pula, ia tidak jadi latihan bersama dengan Kina karena jadwal mereka yang ternyata malah tidak sama, Aura juga sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama Winda dan Dean, jadi tidak ada alasan untuk Aura menolak ajakan Dean sebenarnya.
"Ajak temen kamu yang kemarin dong, asik anaknya," ucap Dean membuat Aura terdiam menatapnya.
Aura terdiam beberapa saat, ia agak terkejut mendengar ide Dean agar Aura mengajak temannya. Aura tentu tahu siapa sebenarnya teman yang di maksud oleh Dean karena satu - satunya kenalan Aura yang pernah bertemu dengan Dean dan Winda adalah Agry dan itu juga karena ketidak sengajaan yang membuat mereka berjumpa satu sama lain.
"Temen?" ucap Aura bertanya ulang, Aura berharap yang di maksud Dean bukanlah Agry.
Dean tertawa, "terus apa kalau bukan temen, pacar?" ucap Dean membuat Aura menatapnya sebal, sedangkan Winda tertawa lepas.
"Oh jadi pacar ya," ucap Winda ikut mengkompori.
Aura segera menggeleng, "bukanlah," ucap Aura segera menepis.
Jelas saja Aura menggeleng dan menepis, Aura tidak ingin Dean dan Winda menjadi berpikiran yang bermacam - macam. Karena faktanya memang tidak ada hubungan lain antara Aura dan Agry selain kenalan dan juga atasan dan bawahan di agensi. Tapi sepertinya Dean dan Winda sama - sama menutup telinga mereka untuk penjelasan Aura itu.
"Makanya kalau bukan ajak dong," ucap Winda menatap dalam Aura.
Mendengar ucapan Dean dan Winda yang bergantian meminta Aura mengajak Agry membuat Aura terdiam, ia bingung harus bagaimana.
"Ayo telepon," ucap Winda.
Aura menarik napas dalam, "kalau dia menolak aku tidak ingin memaksa," ucap Aura, Winda dan Dean mengangguk bersamaan.
Aura menghembuskan napasnya berat, ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan mencari kontak Agry. Aura terdiam selama beberapa saat, ia ragu sebenarnya Agry mau tapi Winda dan Dean terus menatapnya membuat Aura mau tidak mau menekan tombol panggilan itu.
Setelah menekan tanda panggilan Aura meletakkan ponselnya di telinganya, ia menunggu dengan jantungnya yang berdegup kencang sedangkan Winda dan Dean terus menatap dengan penuh harap. Aura berdoa dalam hatinya agar Agry tidak menjawab panggilannya, jika 'pun menjawab Aura berdoa agar Agry menolak.
"Semoga dia tidak ikut," ucap Aura dalam hatinya.
Panggilan berakhir setelah beberapa saat tidak terjawab, Aura akhirnya bisa menarik napasnya lega sekarang. Aura senang doanya terkabul, Agry yang tidak menjawab panggilannya bisa jadi adalah sebuah jawaban.
Namun berbeda dengan Dean dan Winda yang semakin menatapnya, "sekali lagi," ucap Winda yang mengerti jika panggilan tadi tidak terjawab.
Aura dengan cepat menggeleng, "enggak, cukup. Dia mungkin lagi sibuk dengan pekerjaannya," ucap Aura yang sebenarnya ia juga memikirkan alasan untuk dirinya sendiri.
"Sekali lagi aja," ucap Winda tetap membujuk Aura untuk mengulang panggilannya.
Aura tetap menolak dengan menggeleng kepalanya, "enggak ah," ucap Aura.
Winda dan Dean menghela napas berat, "yah sayang banget," ucap Dean yang terlihat lesu sedangkan Aura tentu merasa senang.
Aura meletakkan ponselnya ke atas meja dan kembali menyesap minumannya, namun tiba - tiba di luar dugaan Aura ponselnya berdering. Nama Agry tertulis jelas di layar ponselnya membuat Aura sendiri hampir tersedak minumannya, sedangkan Winda dan Dean tersenyum senang setelah melirik layar ponsel Aura.
"Cepat angkat," ucap Winda, Aura mengangguk kemudian mengangkat panggilan itu.
"Halo," ucap Aura canggung.
Terdengar helaan napas dari balik telepon, "aku lihat kamu nelpon, ada apa?" tanya Agry to the point.
Aura terdiam karena ragu, ia menatap Winda dan Dean bergantian. "Sebenarnya," ucap Aura terhenti.
Agry memotong Aura yang terdiam, "sebenarnya apa Aura?" tanya Agry terdengar bingung.
Jantung Aura berdegup kencang, ia gugup bukan main. Mengajak Agry keluar seperti meminta izin kepada atasan, meskipun Agry memang atasannya tetapi Agry bukanlah atasan langsung Aura. Karena gugup Aura menelan salivanya, matanya menatap Winda dan Dean yang kini menatapnya juga dengan pandangan penasaran.
"Sebenarnya nanti malam aku, Winda dan Dean akan makan malam, mereka meminta kamu ikut jika tidak sibuk. Kalau kamu sibuk tidak apa - apa," ucap Aura dengan cepat.
Agry terdiam sebentar membuat jantung Aura semakin berdebar kencang, "baiklah jam berapa dan di mana?" tanya Agry yang membuat Aura jelas terkejut.
Aura jelas saja terkejut, bagaimana tidak jawaban tiba - tiba Agry yang menyetujui ajakannya tentu saja membuat Aura kaget. Sama sekali tidak ada di dalam bayangan Aura jika Agry akan ikut, padahal sedari tadi Aura berdoa supaya Agry menolak ajakannya sepertinya kali ini doa Aura tidak terkabul.
"Jam berapa?" tanya Aura tanpa suara pada Winda.
"Minta dia ke sini jam 7 malam," ucap Winda tanpa suara.
Aura terdiam, "apa kamu bisa ke sini jam 7 malam?" tanya Aura ragu.
"Oke, sampai ketemu nanti."
Aura tersenyum canggung, "oke," saut Aura pelan lalu panggilan itu berakhir.
Winda dan Dean tersenyum lebar, "oke kalau gitu, ayo bersiap. Kita belanja bagaimana?" tanya Winda.
Aura terdiam, "belanja? Untuk apa?" tanya Aura terkejut.
Winda tersenyum lebar, "untuk kita," ucap Winda terlihat senang, namun Aura malah terlihat bingung.