EMPAT

1586 Kata
Pagi mulai bersambut. Suara ayam jago berkokok saling bersahutan. Warna jingga di ufuk timur sudah mulai tampak. Sebentar lagi sang mentari akan keluar menerangi setiap permukaan bumi ini.   Keiyan sudah terjaga dari tidur lelapnya. Ia menuju dapur untuk melihat apakah ada bahan makanan di dalam lemari es milik pak Adi. Ketika Keiyan membuka lemari pendingin tersebut, ia tidak menemukan bahan makanan apa pun. Hanya ada mie instan seperti yang di katakan oleh pak Adi semalam. Keiyan memasak nasi untuk pertama kalinya. Selama ini semua kebutuhan Keiyan di siapkan oleh ibunya. Tapi kali ini Keiyan akan belajar menanak nasi sendiri. Walau ia tidak pernah memasak nasi sebelumnya, tapi ia sering melihat dan menemani ibu memasak. Sehingga Keiyan sudah tidak asing dengan segala peralatan dapur serta kegunaanya. Usai menanak nasi, Keiyan meraba saku celananya. Ia ambil dompet yang bersembunyi di balik kantong. Keiyan membuka dompet tersebut. Hanya ada uang sebesar sepuluh ribuan sebanyak dua lembar. Ia mengambil satu lembar uang tersebut, kemudian Keiyan berjalan menuju warung yang tidak jauh dari rumah pak Adi. Keiyan kembali setelah ia membeli beberapa butir telur. Setidaknya mereka bisa sarapan dengan lauk telur. Yang jauh lebih menyehatkan dari pada mie instan. Bukannya Keiyan tidak mau mie instan, hanya saja Keiyan tidak terbiasa dengan makanan instan seperti itu. Selama ini ibu Sri selalu mengutamakan kesehatan dengan menghindari berbagai macam makanan instan. Dan itu sudah di terapkan sejak Keiyan masih kecil. Keiyan menyajikan telur ceplok buatannya di atas meja. Kemudian ia berjalan menuju kamar utama. Dimana pak Adi melepas penatnya. “tok … tok … tok.” Keiyan mengetuk pintu kamar pak Adi. “Pak, mari kita sarapan dulu. Kei sudah memasak untuk kita sarapan sebelum melanjutkan aktifitas.” “Rajin bener kamu, Kei. Pagi pagi sudah selesai masak,” puji pak Adi. “Kei sudah terbiasa bangun pagi, Pak. Tapi ini pertama kali Kei memasak. Maaf kalau rasanya ndak enak di lidah.” “Kamu bias aja, Kei. Masih mending kamu bias masak nasi. Lha bapak sama sekali ndak bisa. Cuma bisa makan saja. Sudah ayo makan keburu dingin makanannya.” Ajak pak Adi. “Ngomong ngomong, Kei. Setelah ini, apa kamu melanjutkan perjalananmu ke kota?” lanjut pak Adi lagi. “Iya, Pak. Kei masih belum ada tempat tinggal di kota. Kei juga harus segera daftar kuliah dulu.” “Kalau begitu kamu bisa barengan sama bapak, bapak mau mengunjungi istri bapak. Dan kebetulan bapak lewat di area kampus.” Sambil melahap sesuap nasi di depannya. “Apakah Kei tidak merepotkan bapak. Dari semalam Kei numpang terus.” “Ya tidaklah, Kei. Bapak malah seneng ada teman ngobrol. Bapak gak jenuh saat perjalanan.” “Terima kasih lho pak. Bapak sudah sangat baik kepada Kei. Semoga bapak di beri kemudahan untuk segala urusannya. Juga semoga anak bapak lahir dengan sehat dan selamat.” “Terima kasih, Kei atas doanya. Ayo cepat habiskan makananmu. Kita segera berangkat sebelum macet,” ujar pak Adi. Mereka berdua segera menyelesaikan sarapannya. Dan segera berangkat menuju kota. Setengah jam perjalanan dari rumah pak Adi menuju kota. Keiyan bisa melihat dengan jelas suasana di kota yang sangat ramai. Banyak kendaraan berlalu lalang di setiap sisi jalan, bau asap knalpot yang bercampur dengan aroma parfum membuat kepala Keiyan pening. Gedung yang tinggi berjajar di setiap sudut kota. Juga banyak sekali ruko berjajar menghiasi setiap sisi jalan. “Kei, kamu mendaftar di universitas mana? Di wilayah sini ada tiga universitas.” “Kei akan daftar di universitas X pak. Sesuai rekomendasi dari ketua yayasan sekolah Kei di SMA.” Terang pemuda berambut hitam cepak tersebut. Sambil sesekali membenarkan letak kaca mata yang menghias diwajahnya. “Wah, bagus itu Kei. Tapi bapak pesen satu hal kepadamu. Kamu harus hati – hati selama di kota. Banyak orang yang tidak bertanggung jawab, dan memanfaatkan kebaikan orang seperti kamu.” “Iya, Pak. Terima kasih nasehatnya. Kei akan hati hati dan menjaga diri.” Dengan mengulas senyum manis. Tak lama mobil truk yang di kendarai oleh pak Adi berhenti. “Maaf, Kei. Bapak hanya bisa memberi tumpangan sampai sini. Sebab di depan kita sudah beda arah. Untuk sampai ke kampus yang kamu maksud, di pertigaan depan kamu lurus kira kira dua ratus  meter. Disisi kiri jalan nanti kamu akan menjumpai gerbang kampus tersebut.” “Tak apa, Pak. Saya berterima kasih, bapak sudah membantu saya sejauh ini.” “Hati hati ya, Kei. Bapak jalan dulu. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti.” Keiyan keluar dari mobil truk pak Adi. Dan berjalan sesuai arahan dari pak Adi. Sebelum Keiyan masuk ke area kampus, Keiyan terlebih dulu menukar cek yang ia dapat. Keiyan berjalan tanpa melihat kedepan. Matanya fokus mencari gedung yang merupakan BANK untuk menukarkan cek tersebut. “BRUK” tanpa sengaja Keiyan menabrak seseorang yang bejalan berlawan arah dengannya. “Maaf, Mas. Saya sudah teledor tidak melihat ada orang didepan.” Keiyan berdiri dan segera membantu pemuda yang terduduk di atas trotoar. Tanpa sengaja Keiyan menatap mata pemuda tersebut. “Wah, sasaran empuk ini,” Ucap pemuda itu didalam hati. Pemuda itu melihat Kei dengan saksama. Keiyan tahu kalau pemuda tersebut merupakan salah satu pencopet yang menargetkan dirinya. Keiyan menyadari bahwa ada seseorang yang sengaja menabrak dirinya dari belakang. Ia segera menghindar ketika orang tersebut hendak menabraknya “Maaf, Mas. Cara bermain, Mas kurang cantik.” Keiyan berlalu meninggalkan pemuda itu sembari tersenyum dan langsung masuk ke dalam BANK. Pemuda tersebut ternganga mendengar perkataan Keiyan. “Sial … apa dia tahu aku seorang pencopet?” pemuda itu menyugar rambutnya kasar. Dan segera pergi sana. Tanpa disadari keduanya, ada seseorang yang sedari awal memperhatikan. Keiyan segera mencari kamar kost yang di sewakan setelah menuntaskan segala prosedur pendaftaran. Keiyan berjalan kaki menyusuri perkampungan di sekitar kampus. Sudah hampir setengah hari ia mencari tempat kos di sekitar sana, namun tak juga di dapat. “huft … ternyata susah cari tempat kos yang sesuai kantong.” Sambil menyeka keringat yang mengucur di dahinya. Seorang pemuda sedang duduk diatas motor sambil memainkan ponselnya. Tampaknya pemuda itu sedang menunggu seseorang. Terlihat dari gelagat pemuda itu yang berkali kali melihat kearah gang sempit di seberang jalan. Di sekitarnya tampak sepi, tidak ada orang ataupun kendaraan yang lewat disana. Pemuda tersebut terkejut saat tubuhnya terasa melayang. Sebelah tangaanya di tarik seseorang hingga ia hampir terjatuh. “Ah … sial,” suara seseorang yang baru saja melintas di samping motor. Dan berlalu pergi. “Mas, gak pa pa, Mas?” tanya Keiyan yang menarik pemuda itu. Pemuda berambut pirang dan berkulit putih itu hanya menatap Keiyan tajam dan menelisik tanpa menjawab pertanyaan Keiyan. “Maaf, Mas. Orang tadi hampir saja mencopet tas Mas.” Keiyan mengernyitkan kedua alisnya saat pemuda yang di tolongnya menatap tajam. Apakah dirinya salah telah menolong pria tersebut.  Keiyan tidak tidak mengerti dengan tatapan tajam pemuda yang baru saja di tolongnya. Ini aneh, Keiyan sama sekali tidak bisa membaca pikitan pemuda itu meski ia sudah menatap kedua mata pemuda itu. “Mas.” Pemuda itu terlonjak kaget saat Keiyan menepuk sebelah bahunya. “Ah … iya, terima kasih telah menolong saya. Kenalkan saya Endrew.” Menyodorkan tangan untuk bersalaman. “Saya Keiyan.” Menyambut tangan Endrew untuk bersalaman. “Kalau boleh saya tahu, kamu mau kemana?” Endrew melihat Keiyan yang tengah membawa tas ransel yang cukup besar di punggung. “Saya sedang cari tempat kos yang dekat di sekitar sini, Mas.” “Tempat kos? Sepertinya kamu baru pertama kali dating ke Kota ya!” tebaknya “Iya benar, Mas. Saya disini untuk melanjutkan pendidikan di Universitas X.” Keiyan menjelaskan. “Aku juga kuliah di sana. Bagaimana kalau kamu tinggal di apartemenku saja? Kita bisa barengan berangkat ke kampus. Gak jauh kok dari sini, sekitar lima menit dengan jalan kaki.” Endrew menawarkan bantuan. “Tapi, Mas apa saya ndak merepotkan? Kenapa Mas dengan mudah percaya sama saya yang notabenya baru kenal di hari pertama.” Ucap Kei yang tidak melepaskan pandangannya kepada Endrew. “Saya sama sekali tidak repot. Justru aku senang mempunyai teman sekamar. Ada yang di ajak ngobrol, gak sendirian lagi.” “Tap-“ “Tidak pake tapi. Anggap saja ini sebagai bentuk terima kasih karena telah menolongku, dan satu lagi, jangan berbicara terlalu formal kepadaku. Mulai saat ini kita teman,” potong Endrew tidak ingin di bantah. “Sorry, Bro. tadi perut gue mules. Udah nunggu lama ya!” ucap seseorang pria beramput merah sebahu. Pria itu menatap penuh tanya kearah Keiyan. “Kebiasaan, Loe. Sampe jamuran gue nungguin di sini. Malah mataharinya terik bener.” Pria berambut merah itu hanya nyengir sambil menggaruk tengkuknya. “Eh … siapa ni? Temen lu ya, Drew?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian Endrew yang selalu saja ngomel ngomel. “Eh, iya hampir lupa gue! Ndy, kenalin dia Keiyan. Barusan dia nolongin gue dari copet.” Andy mengangkat sebelah alisnya tidak percaya. “Halo, Bro. kenalin gue Andy. Makasih udah nolong ni kakek,” ucapnya sambal tersenyum mengejek Endrew. “Keiyan,” Kei menyambut uluran tangan Andy. Kei menatap dengan saksama pria bernama Andy tersebut. “Kenapa berwarna gelap? Aku tidak bisa membaca apa yang dia pikirkan, aneh,” lanjutnya dalam hati. Keiyan menggelengkan kepalanya, guna membuang semua pemikiran buruk kepada dua orang didepannya tersebut. “Enak aja loe bilang gue kakek. Orang muka ganteng kayak gini di bilang kakek – kakek” dengus Endrew kesal. “Ha ha ha salahin tuh rambut kenapa warna putih kayak kakek–kakek,” ejeknya. Keiyan tersenyum mendengar gurauan dari teman barunya itu. Meski sedikit canggung serta bingung, sebab baru kali ini Kei tidak bisa menggunakan kemampuanya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN