8. Pacaran

1142 Kata
"Aku bilang apa?" Indira memerah wajahnya, dia pikir Dhafi mendengar apa yang dia ucapkan tadi. Sementara Dhafi, dahi pria itu berkerut. "Hm, mungkin aku salah dengar," katanya yang kemudian kembali melanjutkan langkahnya dan tetap menggandeng Indira. Tanpa Dhafi dan Indira sadari, seseorang tengah memperhatikan mereka. "Sial, apa mereka benar-benar dekat," ucap seorang pria yang berada di balik kemudinya. Sejak tadi dia membuntuti Indira berharap ada kesempatan bicara dengan gadis yang belum bisa dia lepaskan. Sungguh, hatinya masih sangat menggebu ingin memiliki gadis polos itu. "Jangan menyerah Tif, cuma seorang Dhafi!" Pria itu adalah Latif. Tadinya dia sangat senang melihat Indira di lapangan parkir, dia berniat keluar mobil dan menghampiri Indira. Tapi sayang, ternyata ada Dhafi yang lebih dulu menghampiri Indira. "Apa yang mereka bicarakan?" gumam Latif. Pria itu bertambah penasaran saat melihat Indira dan Dhafi pergi bersama dengan mobil Rubicon milik Dhafi. "Mau ke mana mereka?" Latif segera menyalakan mobilnya dan menyusul ke mana Indira dan Dhafi pergi. Sementara itu di mobil Dhafi, Indira merasa sedikit canggung. "Em, kopi tadi pagi dari Mas Affan," ujar Indira, berharap bisa menghilangkan rasa canggung di dalam mobil itu. "Hmm, aku tau," jawab Dhafi masih sambil fokus mengemudi. Kopi hitam adalah kesukaan Affan, sementara dirinya lebih suka kopi s**u. Dia yakin Affan menggunakan kopi itu untuk mendekatkan adiknya dengannya. Dhafi sedikit melirik Indira. Dia teringat dengan permintaan Affan agar dia mau menikahi Indira. Tetapi, menurutnya hubungan Indira dan Latif masih bisa diakhiri dengan baik. Dia tak perlu terlibat terlalu jauh. Tidak lama kemudian Dhafi menghentikan mobilnya di depan sebuah coffe shop tempat Indira janji temu dengan seseorang yang dia duga adalah Latif. "Ayo, tidak perlu cemas, ini tempat umum," ujar Dhafi. Indira mengangguk, lalu dia melepas sabuk pengamannya. "Awss ...." Tiba-tiba Indira merintih sambil meniup jari telunjuknya. Dhafi dengan panik langsung memeriksa jari gadis di sampingnya. "Kenapa? Apa terjepit?" tanya pria itu. Indira terdiam, jantungnya berdebar begitu cepat. "Em," ucapnya bingung. "Biar aku bantu," ujar Dhafi yang kemudian membantu melepas sabuk pengaman yang Indira kenakan. "Maaf, tidak pernah ada yang duduk di kursi ini, jadi tidak pernah dipakai, mungkin karena itu sedikit macet," ujar Dhafi sambil melepas sabuk pengaman Indira. "Oh, em ya makasih Mas," ucap Indira. Gadis itu tersenyum, mendengar apa yang Dhafi katakan padanya. Dia memegang kursi tempat dia duduk. 'Jadi, aku satu-satunya yang pernah naik mobilnya?' batinnya. "Ayo keluar!" Indira langsung menahan tangan Dhafi. "Mas, em ...." "Kenapa?" tanya Dhafi. "Em, nanti Mas Dhafi yang sabar ya, aku gak mau Mas Latif ngapa-ngapain Mas Dhafi lagi gara-gara aku." Dhafi tersenyum tipis. "Aku akan memantau dari meja lain." Kemudian mereka pun turun dari mobil dan langsung menuju coffee shop. "Mana ya?" Mata Indira melihat ke sekelilingnya. Sampai baik Indira maupun Dhafi sama-sama mengernyitkan dahinya. Bukan Latif yang terlihat melambaikan tangan ke arah mereka, melainkan Winda. "Winda," gumam Dhafi. Entah kenapa Dhafi merasa Winda sudah tahu tentang Latif dan Indira. Kemudian Dhafi menggandeng tangan Indira dan mengajaknya menghampiri istri Latif itu. "Tenang, jangan gugup," bisik Dhafi. Indira berdebar-debar, dia merasa seperti maling yang tertangkap basah. Melihat Winda ada rasa bersalah di hatinya. "Dhafi?" tanya Winda begitu Dhafi dan Indira berdiri di depannya. Pandangan mata wanita itu tertuju pada tangan Dhafi dan Indira yang saling menggenggam. "Oh, silahkan duduk," ucap Winda kemudian. Dhafi dan Indira lalu duduk berdampingan di depan Winda. "Jadi, kau yang mengirim pesan pada Indira?" tanya Dhafi. Winda mengangguk. "Ya, aku tau nomornya dari HP suamiku tadi pagi, aku ingin tau, siapa pemilik nomor klien penting di HP suamiku yang berkali-kali coba dihubungi olehnya." Mendengar itu Indira meremas tas di pangkuannya. Dia takut wanita di depannya melampiaskan amarahnya di tempat itu dan membuatnya malu. Gadis itu ingat cerita ibunya dulu, kalau ibunya dan ayahnya pernah digerebek oleh orang-orang dulu. "Ternyata yang datang, justru adik teman suamiku." Indira melirik tajam pada Indira yang menunduk. Dhafi melihat ke arah Indira, juga tangan gadis itu di atas pangkuannya. Dia tahu Indira tengah takut saat ini. Dhafi kemudian menghela napasnya lalu tangannya mengambil tangan Indira dan menggenggamnya membuat Indira terkejut dan langsung menatap pada pria itu. "Kau sudah tau semuanya, kan?" tanya Dhafi. Dhafi berbicara dengan Winda dan tetap menggenggam tangan Indira. "Aku tau, soal ini ibarat gayung bersambut, tapi kau tau sendiri bagaimana Latif," ucapnya. "Dan Dira, bukan yang pertama kali, bukan?" Mendengar apa yang dikatakan oleh Dhafi, Winda pun sedikit tertawa. "Ya, Mas Dhafi benar," ucapnya. Ibu satu anak itu menghela napasnya panjang. "Suamiku, memang bukan yang pertama kalinya berbuat seperti ini." Kemudian Winda menatap pada Indira. "Aku meminta bertemu, untuk bicara denganmu, bukan dengan Mas Dhafi," ujarnya. "Me-memangnya Mbak Winda mau bicara apa?" tanya Indira, jantungnya berdebar-debar, sesal dan rasa bersalah tengah bergelut di hatinya. "Aku menahan diri karena mengingat kau adik dokter Affan." Winda lanjut berbicara. "jadi aku mohon, sudahi apapun hubungan kalian. Jangan lagi respon suamiku!" Indira terdiam, dia bingung harus menjawab bagaimana. "A-aku, em ...." "Tenang saja, itu yang sedang kami usahakan, agar Latif gak mengejar Dira lagi. Jadi, selanjutnya adalah peranmu." Winda menunduk. "Ya, Mas Dhafi benar." Dia menarik napasnya panjang. "aku berusaha mempertahankan rumah tangga ini semata hanya demi anak kami, Kenzo Azzam Abdilah, putra kami satu-satunya." "Tapi aku butuh bantuannya. Jangan respon suamiku lagi. Apapun yang dia janjikan, itu hanya bohong. Sebelumnya, dia tak berani cerai dariku. Tapi semalam, dia minta cerai dariku." Indira langsung menatap tak percaya pada Winda. "A-apa? Cerai?" Gadis itu berpikir, apa mungkin Latif melakukan itu demi dirinya. Benarkah Latif mencintainya? "Dia berani, karena tahu Dira adik Affan, bagaimanapun istri Affan pewaris utama rumah sakit Haryadi Hospital," ujar Dhafi, kali ini Dhafi menatap pada Indira. Indira langsung menggeleng. "A-aku gak ada hubungannya sama kekayaan Mas Affan, itu punya Mbak Hanah." Dhafi mengangguk. "Aku harap, kamu tidak berpikir Latif meminta cerai dari Winda karena dia benar-benar mencintaimu!" ujarnya. "Oh, itu." Indira berpikir sejenak, dia sempat menduga itu tadi. "em aku mengerti." Gadis itu menunduk. Dhafi masih menggenggam tangannya, dia pun tersenyum tipis. "Bagus," ucap Dhafi yang kemudian kembali fokus pada Winda. "Indira tidak akan lagi merespon Latif, jadi selanjutnya itu urusanmu dengan Latif, jangan kaitkan dengan Indira lagi." "Em, apa kalian pacaran?" tanya Winda. "Apa?" Dhafi bertanya balik. "Oh, hmm ... aku hanya berpikir, aku butuh jaminan kalau Indira benar-benar akan menjauhi suamiku," jawab Winda. Dhafi menatap pada Indira. "Ya, anggap saja seperti itu," ucapnya, dia menatap lekat pada Indira yang terlihat bingung. Dhafi kemudian menggenggam tangan Indira di atas meja dan menghela napasnya perlahan. Indira mengerutkan keningnya, menatap pada Dhafi dengan penasaran akan maksud kata-kata Dhafi barusan, lalu beralih pada tangan yang digenggam oleh pria itu. "Oh, jadi benar kalian pacaran?" tanya Winda lagi. "Em itu, itu ...." Indira bingung harus menjawab bagaimana. "Ya!" tegas Dhafi. Indira langsung menatap pada Dhafi, dia tak percaya dengan apa yang Dhafi katakan baru saja. Dia dan Dhafi pacaran? Dia tidak salah dengar, bukan? 'Apa dia serius? Apa ini artinya dia nembak aku secara gak langsung?' batinnya penasaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN