7. Mengembalikan Ciuman

1239 Kata
Dhafi menghela napasnya, tangannya bergerak ragu hingga sampai di depan wajah Indira, rasanya ingin membantu menghapus air mata di pipi gadis di depannya. Namun, yang terjadi adalah, Dhafi lebih dulu merasakan sentuhan di pipinya. "Pasti ini sakit kan Mas?" tanya Indira. Dhafi berdecak, lalu menepis tangan Indira yang baru saja menyentuh pipinya. "Jangan lupa, aku dosen di sini, jangan sampai ada gosip atau bahkan scandal tersebar!" Mendengar itu, perasaan Indira tiba-tiba merasa sesak. Apalagi saat dia teringat dengan ciuman Dhafi yang telah membuat dia sulit tidur semalam. "Scandal?" tanya Indira, dia mulai tidak terima jika Dhafi menganggap dekat dengannya adalah scandal menurut pria di depannya. Dhafi tak menjawab, pria itu duduk di kursi kerjanya, lalu memilih sibuk dengan berkas-berkasnya. "Apa maksud Mas Dhafi dengan scandal? Memangnya kenapa denganku?" tanya Indira sekali lagi. Dhafi menghela napasnya. "Kau kemarin dengar apa kata Latif, bukan? Kalau aku ... benci perempuan!" ujarnya. "Apa, benci perempuan?" tanya Indira lagi. "kalau benci, kenapa kemarin Mas menciumku?" Indira sedikit berteriak. Mendengar itu Dhafi langsung bergeming. Dia ingat dengan apa yang dia lakukan pada Indira kemarin. Dia ingat bahwa itu ciuman pertama gadis di depannya. "Mas tau, itu ciuman pertamaku dan Mas mencurinya!" Alis Dhafi mengernyit. "Lalu, apa kau mau aku mengembalikannya?" tanya Dhafi. Indira merasa sesak di hatinya. Ingin menangis, ciuman pertamanya yang begitu berarti, ternyata dianggap remeh oleh orang yang mencurinya. "Jangan menyalahkanku Dira, kau yang mulai, mengatakan kalau aku calon suamimu! Anggap saja itu resiko dari kata-katamu yang gak dipikirkan dulu itu!" Dhafi menutup bukunya. Pria itu lalu berdiri. "Aku mau mengajar," ujarnya. Dhafi berjalan melewati Indira. Namun tiba-tiba bahunya ditarik, disusul dia rasakan benda lembut dan hangat menempel di bibirnya. Matanya membulat menandakan keterkejutannya. Dia terdiam merasakan rasa hangat yang begitu nyaman baginya. Dan tanpa sadar, perlahan dia memejamkan matanya berniat turut menggerakan bibirnya. Namun sayang, rasa nyaman yang dia rasakan telah berakhir. Indira menarik dirinya. "Sudah aku ambil," ujar Indira. Dhafi masih terdiam, dia menatap lekat pada gadis di depannya yang menitikan air matanya membuat pria itu bingung. Sungguh Dhafi benar-benar bingung harus bersikap bagaimana saat ini. Indira terlihat terluka. "Ternyata, yang katanya Mas Dhafi itu baik, itu bohong!" Setelah mengatakan itu Indira pergi meninggalkan ruangan Dhafi. Dhafi masih terdiam di tempatnya. Mengingat kekecewaan pada sorot mata Indira, yang membuat dia merasa nyeri di ulu hatinya. Perlahan Dhafi menyentuh bibirnya. Rasa hangat ciuman Indira seolah masih tertinggal di sana dan perlahan memudar. Entah kenapa Dhafi serasa tak rela jika rasa hangat itu hilang darinya. "Ada apa denganku?" gumam Dhafi. Sementara itu Indira baru saja sampai di taman kampus. Dia duduk di bangku besi di bawah pohon. Dia buru-buru kabur setalah sadar akan tindakannya yang spontan tadi. Malu rasanya. "Kenapa aku cium dia?" Indira meraup wajahnya. Rasa malunya telah membuat dia menangis tanpa sadar. "Pasti dia semakin mikir kalau aku ini murahan," gumam Indira lagi. Indira yakin, Dhafi semakin illfeel padanya. "Soal Mas Latif pasti udah bikinas Dhafi mikir aku murahan, sekarang ditambah dia pasti mikir aku gak tau malu habis cium dia tadi." "Ampun Dira, kamu gak tau malu banget sih!" Sungguh, Indira menyesal atas tindakannya tadi. "Mana jam dia ngajar lagi, aku bolos kelas dia aja lah, sumpah malu." Dan di dalam kelas, Dhafi baru selesai mengabsen mahasiswanya. Dia melihat ke arah bangku mahasiswa di depannya. 'Ke mana dia?' batin Dhafi, pria itu lalu melihat ke arah pintu, dia pikir mungkin Indira akan terlambat. Dhafi menghela napasnya, lalu mulai melanjutkan mengajar dan mencoba mengabaikan ketidakhadiran Indira di kelasnya. Sekitar 30 menit kemudian, Dhafi mulai tak fokus. Dia kepikiran terus dengan Indira, apalagi karena kejadian di ruangannya. Air mata Indira benar-benar mengusik batinnya. Dhafi lalu melihat pada jam ditangannya. "Baiklah, kalian kerjakan tugas yang saya jelaskan tadi, minggu depan kumpulkan, kelas sampai di sini, maaf saya ada urusan!" Dhafi segera mengemasi buku dan tas yang dia bawa. Keluar dari kelas, pria itu melihat ke sekelilingnya. Entah kenapa perasaannya mulai tak nyaman memikirkan tentang Indira. Khawatir terjadi sesuatu dengannya. Dan di tempat lain, Indira baru saja membaca pesan dari nomor tak dikenal olehnya yang meminta bertemu dengannya di tempat tak jauh dari kampus. "Apa ini Mas Latif pake nomor baru?" Indira mencoba menduga. Hingga pikiran Indira teringat dengan lebam di wajah Dhafi tadi pagi. Dia ingat kemarin terakhir bertemu belum ada luka itu di wajah sahabat kakaknya. "Apa Mas Latif yang mukul Mas Dhafi? Ya Allah kenapa jadi gini? Mas Dhafi jadi terseret." Indira kembali membaca pesan dari nomor yang meminta bertemu dengannya. "Apa temui aja ya, lagian di tempat umum, dia gak mungkin macam-macam." Gadis itu menghela napasnya panjang. Yakin dengan keputusannya, Indira pun memutuskan untuk pergi menemui Latif. Mencoba bicara baik-baik dengan pria itu. Setelah apa yang terjadi kemarin dan setelah beberapa kali bertemu Winda, istri Latif. Indira semakin yakin untuk segera mengakhiri hubungan haramnya dengan Latif. "Setelah benar-benar putus sama Mas Latif, maka aku gak perlu ngelibatin Mas Dhafi lagi." "Dah lah, lagian aku udah gak mood kuliah. Nanti ke rumah sakit aja, aku kan adiknya Mas Affan, pasti dokter di sana mau lah kasih surat keterangan dokter yang bilang aku sakit." Saat berjalan menuju gerbang kampus, seseorang memanggilnya. Indira pun menoleh. Seketika dia merasa gugup. Dhafi berjalan cepat ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya Dhafi, dia yakin Indira akan pergi keluar kampus. "kamu masih ada kelas, kan?" Indira menggeleng. "Gak Mas, aku em ...." Indira kebingungan harus menjawab bagaimana. "Kamu mau bolos?" tanya Dhafi dan Indira tak menjawab, dia hanya menggigit bibirnya. "Kalau kamu marah soal tadi pagi, aku minta maaf," ucap Dhafi yang langsung membuat Indira menatap padanya. Dhafi menghela napasnya panjang. "Maaf aku salah," ucapnya sekali lagi. "Aku harap, apa yang terjadi di antara kita tidak mengganggu kuliahmu!" Indira langsung menggeleng. "Nggak Mas," ucapnya. "aku juga salah, karena udah melibatkan Mas Dhafi terlalu jauh karena masalahku." "Karena itu, aku harus menyelesaikan semuanya hari ini," ujar Indira. "Menyelesaikan?" Alis Dhafi berkerut, penasaran dengan apa yang dimaksud Indira. Indira mengangguk. "Hmm, aku mau ketemu Mas Latif dan bicara baik-baik dengannya. Aku akan akhiri hubungan kami dengan baik." Indira menatap sendu pada lebam di pipi Dhafi. "Aku gak mau, ada orang lain yang jadi korban kemarahan Mas Latif lagi." Dhafi pun mengerti, dia lalu memegang pipinya. "Soal ini ...." Dhafi berpikir apa dia harus cerita apa yang terjadi semalam. Namun, sesaat berpikir, Dhafi memutuskan tak perlu menjelaskan. Jika Indira merasa bersalah karena hal itu. Dia pikir itu bagus. Buktinya Indira berniat untuk mengakhiri hubungan dengan Latif. Itu yang diharapkan, bukan? Dan mengingat perangai Latif, dan khawatir jika Indira bertemu dengan pria itu, Dhafi pun bertanya, "Mau ketemu Latif di mana?" Indira mengerutkan keningnya. "Em di coffee shop dekat Bank ABC," jawab Indira. Dhafi pun mengangguk. "Aku temani," ujarnya. "Apa? Tapi Mas Dhafi harus mengajar, kan?" tanya Indira. "Aku sudah kirim tugas ke asistenku, sudah ayo aku temani. Selesaikan masalahmu dengan baik," jawab Dhafi. "Tapi, em aku mau bicara berdua sama Mas Latif, aku gak mau Mas Latif salah paham lagi sama Mas Dhafi," ujar Indira ragu. "Tenang saja, aku cuma memantau dari jauh aja," ucap Dhafi berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya. "Tap–" Indira tak jadi mengatakan apapun saat Dhafi meraih tangannya dan menggandengnya menuju parkiran tempat mobil pria itu berada. 'Aduh, kenapa jantungku dag dig dug gini sih?' Indira menatap pada tangannya yang digandeng oleh Dhafi. "Ya Alloh, aku sakit jantung apa ya?" gumamnya. "Apa?" tanya Dhafi yang tiba-tiba menghentikan langkahnya, dia berbalik menatap lekat pada gadis di depannya. "A-apa?" Indira pun bingung. "Tadi, kamu bilang apa?" tanya Dhafi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN