Della Dan Kegelisahannya

1768 Kata
Rencana Santi yang akan jalan dengan pacarnya, ia paksa batalkan demi ingin menemui Della di rumahnya. Perasaan Santi tiba-tiba tak enak hati setelah menyadari reaksi Della yang terkesan aneh ketika ia menjelaskan sedikit clue yang ada di video yang dirinya dapatkan. ‘Aku yakin sekali itu Della, tapi ... bagaimana bisa? Sedangkan selama ini Della saja tidak tahu siapa idolaku. Della terlalu pendiam sampai ia tidak tahu hal-hal yang disenangi sahabatnya, yaitu aku,’ batin Santi saat memutuskan untuk pergi menuju kediaman Della. ‘MotoGP jelas bukan kegemaran Della. Bahkan, saat aku menyebut nama Naufal saja dia tidak tahu dan kenal. Lantas, bagaimana Della bisa ada di dalam video itu bersama Naufal?’ Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergaung di telinga Santi. Ia sangat penasaran dengan video yang tersebar di grup fanbase. Apa yang melatarbelakangi admin grup atas penyebaran video tak senonoh itu? Juga apakah Naufal tahu mengenai video mesranya yang tersebar tersebut? Memilih untuk tidak menerka-nerka yang hanya akan membuat Santi pusing sendiri, perempuan itu kini sengaja mengencangkan laju sepeda motornya demi untuk menemui Della. ‘Semoga tak ada apapun yang terjadi. Tapi, kalau pun iya, sepertinya Della berada dalam suasana hati dan jiwa yang tidak baik. Pantas ia sakit seminggu ini, apakah itu karena video yang tersebar dan ia sudah tahu?’ Komplek perumahan Della sudah terlihat di depan mata. Santi lekas membelokkan kendaraannya ketika memasuki gerbang perumahan. Rumah Della tak jauh dari gerbang depan. Lurus dari gapura, lalu belok di gang kedua. Rumah temannya itu berada di tengah-tengah, tepat berdampingan dengan sebuah mesjid komplek. Santi memang tidak mengatakan kalau ia akan datang berkunjung. Feeling-nya mengatakan kalau Della membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita. Rumah sederhana di depannya saat ini tampak sejuk dan menenangkan bagi siapa pun orang yang memandang. Tapi, siapa sangka salah satu penghuninya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Tidak tenang seperti keadaan rumahnya yang disukai banyak orang. “Assalamu’alaikum!” teriak Santi memberi salam dari arah luar pagar. Tak ada mobil milik ayah Della, terasa aneh menurutnya. ‘Bukankah ini weekend. Apakah om masih pergi tugas dan enggak ada di rumah?’ gumam Santi. Pertanyaan tidak sampai terjawab ketika kemudian sosok ibu Della muncul dari dalam rumah. “Pagi, Tante!” sapa Santi setelah wanita di depannya menjawab salam yang ia ucapkan tadi. “Pagi, Santi. Tumben sekali pagi-pagi sudah mampir,” kata ibu Della tersenyum. Wanita itu kemudian membuka pintu pagar dan mempersilakan Santi masuk. “Sebenarnya aku udah mau pergi, Tante. Tapi, mendadak ada perlu sama Della.” “Oh, gitu. Ya sudah, ayo!” ajak ibu Della mengajak Santi masuk ke rumah. Setelah tiba di dalam ruang tamu, Santi dipersilakan duduk. “Ngomong-ngomong Om ke mana, Tante?” tanya Santi basa basi. “Om lagi ke depan sebentar. Ada perlu katanya.” “Oh,” sahut Santi tersenyum. “Eh, mau minum apa? Biar Tante buatkan, sekalian panggil Della.” “Enggak usah repot-repot, Tan. Aku baru minum kok di rumah.” Ibu Della merespon tersenyum sambil menyahut. “Enggak repot kok. ‘Kan Cuma air.” “Tunggu, yah?” lanjut ibu Della lagi. “Iya, Tante. Terima kasih sebelumnya.” Santi lantas ditinggal pergi ibu Della ke dalam. Menyiapkan minuman untuknya sekaligus memanggil Della supaya keluar menemuinya. “Del! Della!” panggil ibu Della yang bisa Santi dengar dari ruang tamu. Tak lama terdengar suara pintu dibuka. Santi yakin kalau Della membuka pintu kamarnya. “Siapa, Bu?” “Santi.” Suasana terasa hening kemudian dan bisa Santi rasakan dari ruangan depan. ‘Apakah ia tidak akan menemuiku?’ tanya Santi dalam hati. Mengingat obrolan terakhir mereka tadi, entah mengapa Santi berpikir kalau Della tak akan mau bertemu dan bicara dengannya. Tapi, hal itu rupanya keliru. Sebab tak lama kemudian muncul sosok Della yang terlihat layu persis seperti orang yang sakit berhari-hari. “Hai, Del!” sapa Santi mendadak canggung. Sikap Della yang jauh dari sikap ramah seperti biasanya, membuat Santi kehilangan kepercayaan diri yang selama ini tersemat padanya. “Hai! Tumben, San, ada apa?” tanya Della yang kini memilih duduk di sofa tunggal dengan sikap sedikit ogah-ogahan. Kata tumben yang Della maksud bukan karena kehadiran Santi di kediamannya —sebab Santi sudah sering main ke rumah Della kalau mereka sedang libur kuliah. Tumben yang Della maksud adalah karena temannya itu tak pernah datang sepagi seperti sekarang. “Eh, iya. Ini juga mau jalan kok sama Ilham. Tapi ....” “Tapi?” tanya Della cepat. “Eh, tapi, aku pingin ketemu kamu.” “Untuk apa? Apakah karena masih penasaran dengan video yang tadi kamu tanyakan di telepon?” tanya Della yang kini bersikap jutek dan sedikit emosi. Santi tak bisa menjawab. Tebakan Della terlalu tepat untuk ia sangkal. “Aku udah bilang bukan, kalau ....” Ucapan Della tiba-tiba terhenti ketika sosok sang ibu muncul dengan nampan di tangan. Baik Della atau Santi sama-sama terdiam. Keduanya memilih memperhatikan pergerakan ibu Della yang meletakan dua cangkir teh hangat di atas meja. “Silakan, Santi. Maaf, Cuma air teh,” ucap ibu Della. “Makasih, Tante. Enggak apa-apa kok, ini juga udah cukup,” jawab Santi ramah. Kehadiran ibu Della jujur saja membuat hati Santi sedikit tenang sebab melihat ekspresi Della yang tampak tidak bersahabat membuat ketegangan terjadi, tak biasanya. “Kalau gitu, Tante tinggal sebentar, yah, Santi. Kerjaan di belakang belum selesai.” “Oh iya, Tante. Silakan. Apa perlu aku bantu?” tanya Santi basa basi. “Oh, enggak usah. Kalian ngobrol aja. Kebetulan seminggu ini ‘kan Della enggak ke kampus dan enggak ketemu temen-temennya. Jadi, kedatangan kamu setidaknya bisa bikin kondisi Della cepat membaik.” “I-iya, Tante,” sahut Santi tersenyum canggung. Ia benar-benar tak enak hati ketika tak sengaja melirik pada Della yang terlihat masih saja sinis menatapnya. ‘Mungkin ia mau bilang justru kedatangan aku ke sini malah bikin kondisinya semakin memburuk,’ batin Santi bicara. Setelah ibu Della pergi, Santi mencoba mencairkan suasana dengan menanyakan kabar sakitnya sang sahabat. “Jadi, sakit apa, Del? Apakah udah pergi ke dokter?” Della tampak menggeleng. “Cuma kecapean aja. Enggak ke dokter, minum obat yang ada di rumah juga cukup kalau Cuma buat ngilangin sakit kepala.” “Oh. Syukur deh. Maaf, Del, aku belum sempat jenguk kamu karena baru balik kemarin lusa. Tahu kamu sakit juga dari Indi dan mereka juga belum sempetin jenguk karena tugas dosen yang membludak.” “Enggak apa-apa kok. Teman-teman juga udah chat aku dan bilang belum bisa mampir. Aku juga ngerti tugas dosen banyak karena ujian ‘kan emang udah deket.” Sepertinya kondisi Della sedikit lebih tenang ketika mereka mengawali obrolan mengenai suasana kampus. Tapi, ketika Santi mencoba untuk menanyakan topik yang membuatnya harus datang ke kediaman Della, sahabatnya itu seketika berubah sikap. “Apakah kamu enggak percaya kalau aku baik-baik aja, San?” tanya Della. Tampangnya mulai lain. “Bukan begitu, Del. Aku Cuma mau mastiin aja. Jujur, hal ini sudah mulai ramai. Dan asal kamu tahu, sosial media Naufal mulai diserang oleh para fans yang sudah melihat video tersebut.” “Perempuan itu bukan aku.” Jawaban yang Della lontarkan membuat kedua alis Santi menyatu, mengkerut. “Dari mana kamu tahu ada sosok perempuan di video itu? Bukannya aku belum bilang apa-apa, juga belum menunjukan apapun ke kamu?” Sempat Della terhenyak kaget, tetapi setelahnya ia bisa menormalkan sikapnya. “Tadi kamu menuduhku ada di dalam video yang kamu lihat, bukankah itu berarti ada sosok perempuan di dalam sana?” “Y-ya, emang bener. Tapi, apakah kamu udah tahu video itu berisi apa sampai kamu bilang kalau itu bukan kamu?” “Ya ... itu karena aku enggak kenal idola kamu itu, siapa tadi? Naufal?” Santi mengangguk, tanpa sadar membuat jantung Della berdetak kencang. Santi tidak tahu, beberapa saat lalu sebelum sahabatnya itu datang, Della sudah mencari tahu sosok pembalap yang Santi sebutkan. Naufal, salah satu pembalap MotoGP kebanggaan negaranya. Saat nama itu Della tulis di fitur pencarian internet, muncul gambar laki-laki yang berusaha sekali sedang gadis itu lupakan. ‘Ya Tuhan! Apa ini? Jadi, laki-laki itu seorang pembalap terkenal. Pantas saja wajahnya seperti familiar. Tapi, aku sama sekali tidak mengingat dan mengenalnya,’ batin Della ketika pertama kali ia mengetahui jika laki-laki di malam itu yang sudah melecehkannya adalah Naufal, seorang publik figure yang pastinya dikenal oleh banyak orang. Setelah Della mengetahui siapa sosok lelaki yang sudah melecehkannya itu, kini Della semakin tidak tenang. Di satu sisi ia masih tidak tahu apa dan kenapa lelaki itu menculik, lalu melecehkannya? Selain itu, bagaimana kalau video itu tersebar —sebelum Della tahu jika saat ini sosial media milik Naufal sudah diserbu banyak netizen yang merupakan para fans-nya, bukankah berita tersebut akan membuat ia terbawa dan kemudian namanya menjadi jelek. “Katakan bagaimana bisa kamu mengenalnya, Del?” “Mengenal siapa? Aku enggak ngerti maksud kamu.” Santi berusaha sekali bicara lembut dan pelan. Ia sangat tahu kalau masalah yang dihadapi Della saat ini bukan perkara yang mudah untuk dilewatinya sendirian. “Della, aku bisa bantu kamu kalau kamu mau cerita?” “Bantu apa? Aku tidak membutuhkan bantuan apapun, San. Memangnya kamu pikir aku kenapa?” Della mulai terbawa emosi. Ia yang ingin melupakan Naufal dan teman-temannya malah membuat dirinya terbawa dalam pusara arus yang lebih besar. “Della, please, aku tahu perempuan itu kamu. Bagaimana pun kamu mengelak, aku tidak akan mungkin salah mengenal sahabatku sendiri.” Della pun terdiam. Terlebih saat sang ayah pulang, gadis itu memilih bungkam ketika Santi menyapa ramah. “Sekali lagi aku katakan, aku tidak tahu maksud kamu. Naufal atau apapun lelaki yang kamu sebutkan, aku sama sekali tidak tahu menahu. Jadi, aku harap kamu tidak lagi menanyakan masalah yang sebetulnya tidak ada itu,” ujar Della mencoba terus menghindar. Meneruskan obrolan yang sempat tertunda karena kehadiran sang ayah. Namun, karena gadis itu yang tidak mau mengakui. Tidak mau menjelaskan cerita sebenarnya, membuat Santi terpaksa mengeluarkan jurus terakhir. Perempuan itu kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Lalu, mengutak-atik benda pipih tersebut dan menyerahkan pada sang sahabat. “Lihatlah sendiri! Kalau memang aku salah, aku tak akan lagi membahas topik ini. Anggap saja kalau aku belum mengenal kamu lebih dekat. Tapi, kalau ternyata aku yang benar, aku siap membantu sebab sepertinya kamu harus siap mental menghadapi cemoohan dari para kuli tinta pencari berita, termasuk orang-orang di komplek perumahan kamu ini yang akan dengan mudah mendapat bahan gosip di kalangan ibu-ibu,” ucap Santi berusaha pasrah setelah ia mencoba merayu terus menerus. Della pun beranjak, lalu mengambil ponsel dari tangan sang sahabat. Sedikit ragu dan takut, bercampur jadi satu ketika Della akan menekan tombol play yang ada di layar ponsel. Terkejut dan malu, kini menjadi ekspresi wajahnya setelah ia melewati sekian menit gambar yang ada di tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN