Raymond Dan Rasa Sepinya

1588 Kata
Paralisis. Satu kata yang amat sangat dibenci oleh seorang pria berusia tiga puluh sembilan tahun bernama Raymond Gracio. Dia adalah seorang pengusaha kaya yang hidup sebatang kara setelah seluruh keluarganya meninggal dunia. Juga orang yang Tuhan takdirkan untuk hidup selamanya di atas kursi roda. Penyakit yang ia derita telah membuatnya menjadi seorang laki-laki yang tidak berguna —menurut dirinya, yang tidak percaya diri setelah selama ini hanya bisa mengandalkan bantuan kursi demi membantu semua aktifitasnya sehari-hari. Dibantu oleh seorang pelayan wanita yang berusia lima puluh tahun, yang membantunya selama ini di setiap aspek kehidupannya. Pagi itu Raymond yang akan bersiap menikmati makanan sarapan pagi, terlihat sudah tidak bersemangat sebab satu hal yang ia alami kemarin ketika di kantor. Ya, meski hidup sendiri, Raymond tetaplah seorang pengusaha kaya raya. Seorang pebisnis yang menjalankan banyak perusahaan terkenal dan pastinya hebat. Namun, semua kelebihan yang ia miliki —dari materi yang melimpah, wajah yang tampan dan kedudukan sebagai seseorang yang disegani karena jabatan dan kedudukannya, semuanya tertutupi oleh kondisi tubuhnya yang lumpuh. “Selamat pagi, Tuan!” sapa seorang perempuan paruh baya yang sudah tinggal bersama Raymond cukup lama. “Pagi, Bu. Apakah kopi saya sudah dibuat?” tanya pria itu yang baru memasuki ruang makan. “Sudah, Tuan.” Raymond menjalankan kursi rodanya yang otomatis bergerak tanpa harus ia dorong. Berjalan menuju sebuah meja makan yang meski banyak kursi di sana, tetap sepi tak ada siapa pun lagi selain dirinya. Rumah mewah dan megah yang ia tempati, tak ubahnya area pemakaman yang jauh dari kata ramai layaknya keluarga besar dengan banyak anggota keluarga di dalamnya. “Menu sarapan sesuai yang Anda minta, Tuan,” ucap perempuan itu sembari menyiapkan makanan yang akan Raymond santap. “Terima kasih.” Bagi orang-orang yang tak mengenal Raymond dengan baik, akan menganggap jika lelaki itu memiliki sifat dan sikap yang sangat buruk. Sikapnya yang angkuh dan dingin, ciri khas bagi setiap pengusaha muda seperti dirinya, adalah hal yang juga melekat pada seorang Raymond. Setidaknya itu yang seluruh karyawan nilai terhadap pimpinan mereka. Raymond kerap marah-marah pada siapa pun yang menurutnya memiliki kinerja kerja yang tidak baik. Tak segan ia akan mem-briefing bahkan menegur mereka di depan karyawan lain. Hal itu juga yang membuatnya menjadi terkenal galak dan emosional. Memiliki sifat yang buruk ditambah fisik yang juga tidak baik, membuat sebagian dari mereka sering membicarakan Raymond di belakang. ‘Untung tampan. Kalau enggak, mungkin kita enggak akan betah kerja sama beliau. Bayangin aja, berapa kali Tuan Raymond gonta-ganti sekretaris. Belum Indi, Rere, dan terakhir Sita. Sekarang, apakah seorang gadis muda seperti Sasa bisa bertahan dengan Tuan Raymond jika hanya mengandalkan keseksian tubuh tanpa menggunakan otak seperti yang sekretaris pendahulu lakukan?’ Itu adalah sebuah kalimat per-ghibahan yang pernah ia dengar secara langsung ketika tidak sengaja melewati area bangku para staf yang sudah bergosip di saat mereka selesai meeting. Atau topik yang sama di situasi lain seperti ketika para karyawan bersiap akan pulang, pernah juga pengusaha itu dengar. Mendengar ucapan itu, siapa pun —terlebih Raymond yang merupakan obyek utama yang mereka bicarakan, pasti akan kesal dan langsung emosi. Satu kali pernah menegur para karyawan yang tengah membicarakannya, muncul gosip besar yang menjadi headline berita di seantero kantor. ‘Tidak Cuma angkuh dan jutek, pimpinan kita adalah seseorang yang memiliki temperamen buruk. Siapa yang akan menduga seorang pria dengan titel paska sarjana yang dimiliki, nyatanya tidak memiliki attitude ketika mampu menegur dan memarahi karyawannya di hadapan banyak orang.’ Sejatinya itu bukan satu kesalahan —menurut Raymond. Bukankah hal yang wajar ketika ia sebagai seorang pejabat paling tinggi di perusahaan, menegur karyawannya yang melakukan kesalahan. Di hadapan karyawan lain, itu akan menjadikan mereka mengerti jika kinerja dan disiplin adalah hal paling utama dalam dunia kerja. Tapi, dari semua sifat buruk yang orang-orang sandangkan padanya, tak ada yang tahu jika apa yang Raymond lakukan sejatinya adalah bentuk pertahanan diri sebab fisiknya yang kurang. Juga kesepian yang ia alami sekian alami, membuatnya menjadi pribadi yang demikian. “Tuan sudah selesai?” tanya Ibu pelayan ketika melihat Raymond malah melamun. Di saat ia melihat piring majikannya yang sudah kosong, keinginan untuk bertanya muncul tiba-tiba di pikirannya. “Eh, sudah, Bu,” sahut Raymond terkejut. Seketika ia melihat jam di pergelangan tangan kirinya. “Anda ada rapat hari ini?” tanya wanita paruh baya itu lagi, mengingat agenda dan schedule yang dimiliki oleh Raymond setiap harinya, yang selalu padat dan sibuk. Tab di atas meja makan, kemudian jadi incaran tangannya. Dibukanya schedule hari ini yang sudah dibuat oleh sekretaris-nya sejak awal pekan kemarin, dan sudah diperbaharui kemarin pagi. “Ada, jam sembilan. Ehm, masih ada banyak waktu untuk aku menikmati kopi yang sudah Ibu buatkan.” Ibu pelayan hanya tersenyum. Menyadari sikap Raymond yang jarang bicara, membuat wanita itu yakin jika sang majikan teramat kesepian dalam menjalani kehidupannya. Setengah jam kemudian akhirnya Raymond berangkat ke kantor. Sesuai jadwal yang sudah sekretaris-nya buat, ia harus menghadiri meeting yang akan dilaksanakan oleh para kepala divisi. Di saat Raymond baru menikmati setengah perjalanannya, tiba-tiba sang sekretaris menghubunginya. “Iya, Sa?” sapa Raymond dengan suara yang selalu dingin bak salju yang turun ke bumi. “Hah! Apa?” Tampak keterkejutan terlihat di wajah Raymond. Kabar yang sekretaris-nya berikan, membuat pria itu tiba-tiba dilanda emosi. “Kau membuat kesalahan besar, Sasa!” Panggilan pun ia paksa akhiri. Percuma baginya jika ia masih mendengar suara sekretaris-nya itu setelah berita yang membuat suasana hatinya semakin hancur. “Pak, sedikit lebih cepat!” perintah Raymond pada sang supir. Jalanan yang sedikit padat, membuat perjalanan mereka jelas tidak selancar ketika sedang sepi pengendara. Tapi ia tetap berharap jika kedatangannya nanti masih memungkinkan untuk menjalankan rapat. Dua puluh menit kemudian akhirnya mobil yang membawa Raymond, sampai dan berhenti tepat di pelataran gedung. Seorang petugas keamanan membuka pintu penumpang belakang di mana orang di dalamnya langsung keluar setelah sang supir membantunya menurunkan kursi roda dan membuat sang tuan nyaman usai duduk di atasnya. Setelah itu, Raymond pun bergerak sangat cepat. Meninggalkan supir pribadi dan petugas keamanan yang hanya melongo ketika sapaannya tidak direspon. “Selamat pagi, Tuan Raymond!” Bahkan sapaan selamat pagi yang petugas tadi ucapkan, sama sekali tidak Raymond sahuti. Pria itu lebih fokus pada hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Berjalan cepat menuju lift khusus dengan kursi roda —jangan tanyakan ada berapa banyak pasang mata yang menoleh ke arah Raymond ketika ia berjalan di sekitar lobi gedung. Ketika kemudian tak ada satu pun yang berani bertanya, berjalan melewati mereka Raymond semakin yakin untuk merubah sikap. Itulah mengapa pria itu selalu memasang tameng ketika sedang berada di area publik. Raymond kemudian memencet tombol lantai di mana ia akan turun. Terburu-buru, membuat roda kursinya sedikit mengalami kendala ketika hendak berjalan keluar dari si kotak besi. Ketika tiba di depan pintu salah satu ruangan, ada sosok Sasa yang tampak pucat dan ketakutan. Terlebih ia mendapat tatapan tajam dari Raymond yang saat itu terlihat tak peduli ketika gadis itu berkali-kali meminta maaf sembari menundukkan kepala. “Masalah kamu akan saya urus nanti!” ucap Raymond yang kemudian masuk ke ruangan tersebut setelah Sasa membukanya. Sebuah ruangan cukup luas dengan sebuah meja panjang dan besar di dalamnya, disertai jejeran bangku kayu di mana sudah ditempati oleh banyak orang yang merupakan para kepala divisi yang pagi itu akan mengadakan rapat bulanan seperti yang sudah diagendakan. Suasana yang sebelumnya gaduh karena obrolan semua orang yang didominasi para pria itu seketika hening. Mereka lalu beranjak dari duduknya saat Raymond berjalan menuju tempatnya. Mereka memberi hormat ketika sang pimpinan sudah menempati posisi dengan tatapan menyapu semua orang. “Selamat pagi, Semua!” “Pagi, Tuan!” kompak semua orang menjawab sapaan Raymond. Dengan ditemani Sasa yang sejak kedatangan atasannya itu terus mengikuti sampai berada di ruang meeting yang sebenarnya jarang sekali gadis itu turut serta di dalamnya. Tapi, untuk kali ini ada tanggung jawab yang harus ia lakukan setelah sebuah kesalahan baru saja terjadi. “Maaf sebelumnya karena ada kesalahan, saya membuat kalian semua harus menunggu,” kata Raymond sebagai kalimat pembuka. Sasa yang berdiri di belakangnya tampak menunduk, tak berani mengangkat kepalanya. Karena biarpun Raymond tidak menengok ke arahnya, ia tahu jika kesalahan yang Raymond maksud adalah dirinya. “Kita langsung mulai saja rapatnya!” perintah Raymond kemudian. Semua orang kemudian kembali duduk setelah pengusaha itu memberi kode dengan gerakan tangannya. Namun, ketika Sasa juga hendak duduk di sebelah Raymond, tiba-tiba pria itu bicara. “Dan untuk kamu, Sasa, mulai detik ini kamu tidak perlu lagi bekerja di sini. Kamu saya pecat!” Sontak semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Tak mengerti mengapa tiba-tiba Raymond memecat sekretaris-nya di depan semua orang. ‘Apakah kesalahannya?’ Pertanyaan semua kepala divisi yang ada di sana. “Tu-tuan Raymond, sa-saya ....” Terbata Sasa bereaksi. Jelas ia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya barusan. “Mungkin kalian semua bertanya, kenapa saya tiba-tiba memecat sekretaris saya?” tanya Raymond menatap semua karyawannya. Semua tampak fokus mendengarkan ketika pria itu kembali bicara. ‘Biar saya beri tahu, hari ini adalah schedule meeting saya bersama kalian. Sudah sejak sepekan yang lalu perempuan ini membuat jadwalnya. Bahkan, sampai kemarin masih ada pembaharuan darinya mengenai schedule saya hari ini. Tapi apa yang terjadi? Meeting yang seharusnya dimulai jam delapan, ia buat jam sembilan sehingga saya datang terlambat hari ini.’ Mungkin alasan itu yang seharusnya Raymond katakan. Tampak lugas dan jelas. Bagi semua orang yang menerima alasan pemberhentian tersebut, akan dianggap sesuatu yang wajar. Namun, nyatanya Raymond tidak menjelaskan alasannya itu. Apa yang ia berikan sebagai jawaban atas pertanyaan tak bersuara dari semua karyawannya hanya .... “Ia telah membuat kesalahan fatal!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN