Part 4. The little girl

1970 Kata
Cintailah dirimu sebelum mencintai orang lain. Dan jangan pernah mencintai orang lain 100% sisakan 25% untuk dirimu sendiri, sehingga saat cintamu kandas, kamu tidak akan benar-benar hancur - kanaya putri -- *** Experience is the best teacher. Naya memahami betul kalimat itu. Ternyata, memberikan hati sepenuhnya pada sosok yang kita sebut kekasih, adalah hal terbodoh. Pengalaman mengajarkan itu pada Naya. Begitu bodohnya dia, yang memberikan hatinya secara utuh pada sosok Abi--bahkan setelah 10 tahun pria itu pergi dengan meninggalkan janji untuk kembali. Hatinya begitu hancur mengetahui sosok pemilik hatinya itu, bahkan mungkin sudah tidak mengingatnya di tahun kedua mereka berpisah. Naya masih mengingat dengan jelas surat yang Abi kirimkan, berhenti di tahun ke dua setelah kepergian pria itu. Harusnya, Naya bisa melihat pertanda itu. Namun hatinya kukuh meyakini janji - janji yang tertulis dalam beberapa lembar surat yang Abi kirim. Surat yang bahkan masih disimpannya sampai sekarang. *** Naya yang kini sedang duduk bersandar di kepala ranjang tempat tidurnya itu terisak. Matanya kembali mengais baris demi baris kalimat yang pernah Abi tuliskan untuknya. Hai Naya nya Abi, Bagaimana kabarmu? Kamu pasti kesepian kan nggak ada Abi di situ. Ah ... Abi juga kesepian di sini tanpa kamu, Nay. Maaf baru bisa menulis surat buat kamu sekarang. Di sini sekarang sedang musim panas. Akhir tahun saatnya musim semi tiba, aku yakin kamu pasti akan suka melihat daun-daun yang baru mulai tumbuh tunasnya setelah musim gugur merampasnya. Pasti akan menjadi pemandangan yang indah. One day aku bakalan jemput kamu Naya. Kita bisa keliling Aussie sama-sama. Aku belum banyak tahu tempat-tempat yang bagus di sini, but i will soon. Jadi ketika kamu di sini nanti, aku sudah bisa jadi pemandumu :) *** Surat itu datang setelah 4 bulan kepergian Abi. Naya tersenyum di antara isakannya. *** Nay, baik-baik ya, kamu di situ. Jangan sering bertengkar dengan Yayuk. Oh iya, aku lupa belum kasih tahu kamu rahasia. Kamu tahu Bimo ketua BEM kampusku kan? Itu yang sering nganterin aku jemput kamu di kampus sastra. Dia naksir sahabat kamu itu, makanya sering ikut aku ke kampusmu.  Comblangin mereka gih. Bimo baik kok anaknya. Gak neko-neko. Paling cuma ngerokok kayak aku :) Um ... udah dulu ya Nay. Mama udah manggil tuh. Kita mau keluar, sekalian aku kirim surat ini buat kamu. Love you as always Naya. Wait for me Yours Abi *** Surat itu juga yang akhirnya membuat Naya mencoba mengenalkan Bimo pada Yayuk. Sekarang mereka bahkan akan segera bertunangan. Dia sukses menjadi makcomblang untuk sahabatnya, tapi gagal mempertahankan hubungannya sendiri. Naya mengusap kembali matanya yang basah. Tangan gadis itu bergerak melipat surat pertama yang Abi kirim. Meletakkan ke nakas sebelah ranjang, dan hendak beralih ke surat ke-2 yang dikirim Abi, dua bulan setelah surat pertama. Namun gerakan tangannya beralih mengambil handphone yang berdering. Dilihatnya id called ... ah Ibu Puji Lestari ternyata. Segera diterimanya panggilan itu, karena tidak ingin ibunya menunggu terlalu lama. Menarik nafas untuk menormalkan suaranya yang pasti akan terdengar serak setelah menangis. "Halo Ibu Puji Lestari tercinta.," sapa girang Naya. "Halo juga putrinya suami Ibu Puji Lestari." Naya tertawa. Ibunya memang selalu sehebat itu menanggapi Naya yang suka bercanda. "Apa kabar putri Bapak Suhendar? Ibu kangen nih belum diapeli Naya seminggu ini." Naya meringis meskipun tahu sang ibu tidak bisa melihatnya. Dia memang tidak pulang akhir minggu kemarin. Sang Ibu pasti akan tahu kalau moodnya sedang buruk, dan dia tidak mau membuat orang tuanya khawatir. "Maafin Naya ya, Ibu Puji. Kemarin Naya banyak banget kerjaan. Jadi weekend tepar deh kecapean. Minggu depan pasti Naya apelin kok Ibu Puji tersayang. Bilangin juga Bapak Jatmiko Suhendar tercinta, ya Bu. Bilang jangan kangen Naya dulu. Tunggu besok akhir minggu Naya pulang." *** Dengan menarik sebuah koper kecil, serta tas slempang kesayangannya, Naya berjalan cepat memasuki bandara keberangkatan dalam negri Ahmad Yani. Setelah satu minggu menyiapkan sample untuk PT Furniture Indonesia, hari ini ia harus berangkat ke kantor PT FURIN ( furniture indonesia ) untuk menyerahkan sample, sekaligus fitting, serta membahas kelanjutan order. Tempat produksi PT FURIN memang berada di Semarang, akan tetapi kantor mereka berada di Jakarta. Dan karena si bos PT FURIN sudah kembali ke Jakarta, maka sekarang Naya yang harus datang ke kantornya untuk meeting selanjutnya.  Setelah melakukan cek in, dan menunggu beberapa saat, akhirnya dia duduk di salah satu kursi ekonomi pesawat Garuda Indonesia. Memilih kursi di sebelah jendela, sehingga dia bisa melihat bangunan-bangunan yang mengecil saat pesawat lepas landas. Perjalanan ke Jakarta hanya memakan waktu kurang dari satu jam, dan dia bukan orang yang mudah terlelap, jadi sekedar membaca majalah, atau melihat awan menjadi pilihannya. *** Setelah pesawat mendarat dengan selamat, Naya segera menghidupkan kembali handphone nya. Sudah ada 1 pesan dari sekertaris Pak Alka yang memberi tahu keberadaan driver yang menjemputnya. Setelah membacanya, ia segera melangkah ke luar, lalu memperhatikan para penjemput yang beberapa di antara nya mengangkat kertas berisi nama orang yang ditunggu. Salah satunya, seorang bapak paruh baya yang mengangkat sebuah kertas bertulis namanya "KANAYA - PT SANDANG MAKMUR" Naya tersenyum menghampiri pria paruh baya itu "Bapak Ahmad, ya? Saya Kanaya, Pak," sapanya sambil mengangsurkan tangan kanan yang segera disambut si bapak dengan senyum sopan. "Mari Mbak Kanaya, biar saya yang bawa kopernya." Naya menyerahkan koper yang ia bawa, kemudian mengikuti pria itu menuju mobilnya. Empat puluh menit perjalanan, akhirnya Naya sampai di PT FURIN . Pak Ahmad kembali membantu Naya membawa koper wanita itu, dan mengantarnya sampai ke lantai 15--sebuah gedung pencakar langit di daerah Sudirman, tempat dimana kantor PT FURIN beroperasi. Setelah mengenalkannya pada Karin, sekertaris Alka, Pak Ahmad segera pamit undur diri. "Ah ... akhirnya bisa ketemu Mbak Naya juga. Gak cuma sms sama email an aja ya," sambut Karin senang. Naya tersenyum.  "Iya betul. Senang akhirnya bisa ketemu," balas Naya dengan senyum merekah. Selama ini, keduanya memang hanya berhubungan melalu email, dan juga sms untuk saling mengabarkan mengenai order PT. Furin. Meskipun ini pertemuan pertama mereka, keduanya tidak merasa canggung karena sudah merasa kenal meski tanpa tatap muka. "Mari mbak Naya, saya antar ke ruangannya si Bapak. Entar tunggu aja di dalam. Beliau sebentar lagi sampai kok." Naya mengangguk, lalu mengikuti Karin menuju ruang kerja Pak Alka. Kantor masih sepi. Hanya ada beberapa karyawan yang sudah datang, dan terlihat sedang mengobrol sambil minum teh--padahal jam sudah menunjukkan pukul 08.00. "Disini jam kerja mulai jam 08.30," ucap karin seolah mengerti pertanyaan di otaknya. "Oh ... pantesan masih sepi. Saya datangnya kepagian ya?" Naya merasa tidak enak hati. "Nggak apa-apa kok Mbak, takutnya entar siang dikit udah macet jalanan." Karin membuka pintu sebuah ruangan, kemudian mempersilahkannya masuk. Ruangan itu nampak luas dengan perabot dari kayu jati yang tampak elegan. Kelihatan sekali penghuninya sangat berkelas. Beberapa pigura terletak di meja kerja. Setengah dinding ruangan itu kaca sehingga terlihat semakin luas. Naya duduk di sebuah sofa yang lagi-lagi kerangkanya memakai kayu jati. Ia masih mengamati ruangan itu, ketika pintu berderit terbuka. Kepalanya berputar. Nampak si pemilik ruangan--yang sudah pernah ia temui sebelumnya, masuk. Naya segera berdiri. "Selamat pagi Pak Alka. Maaf, saya datang terlalu pagi." Naya sedikit menunduklan kepala sebagai tanda sopan-santun, ketika menyapa sang pemilik ruangan. "Oh .. tidak apa-apa, Bu Naya." Alka bergerak mendekati Naya, kemudian menjabat tangannya. "Silahkan duduk. Sambil menunggu anak-anak datang, ini silahkan sarapan lebih dulu. Pasti belum sarapan kan dari rumah?" Alka menyerahkan kantung plastik berisi sebuah stereofom kepada Naya. Naya meringis saat menerimanya. "Terima kasih, Pak." Ia kembali menunduk kecil--merasa tidak enak karena sudah merepotkan pria itu. Memang benar, ia belum sempat sarapan sebelum berangkat. "Sama-sama. Silahkan di makan. Nanti kita meeting jam 8.30." Setelah mengatakan itu, Alka berjalan menuju meja kerjanya. Naya membuka kotak stereofom. Isinya bubur ayam. Segera ia santap mengingat perutnya memang sudah lapar. *** Tepat pukul 08.30, Alka mengajak Naya menuju ruang meeting. Sambil mengangkat koper kecilnya, Naya berjalan mengikuti Alka. Memasuki ruang meeting yang ternyata sudah diisi 5 orang karyawan pemilik perusahaan, termasuk Karin. Alka menduduki kursi di kepala meja, sementara Naya ditempatkan di sisi kanannya. Ada karin yang sudah menempati kursi di sisi kiri Alka, serta 4 karyawan lain yang duduk dilajur yang sama. Alka mempersilahkan Naya untuk memulai presentasi.  Naya mengucap terima kasih, lalu segera membuka koper kecil yang dia bawa, dan mengeluarkan 3 sample dengan 3 size serta warna berbeda. Ia meletakkan ketiga sample celana itu di meja meeting, dan membukanya lebar. "Ini adalah sample celana dengan model sesuai yang sudah disetujui Pak Alka seminggu yang lalu. Warna cuciannya sesuai yang sudah saya sampaikan melalui email, dan juga sudah mendapatkan approval dari Pak Alka." Naya melihat kearah Alka yang kemudian mendapatkan anggukan pertanda menyetujui ucapan Naya. "Saya memerlukan 3 orang untuk fitting sample-sample ini terlebih dahulu, jadi kita bisa tahu kalau masih ada yang harus diperbaiki." "Mereka yang akan fitting sample itu. Sesuai ukuran yang sudah kita sepakati sebelumnya. Alka menunjuk dengan dagu tiga orang lelaki yang duduk di sebelah Karin. Ketiga orang yang ditunjuk Alka itu segera berdiri, mengambil sample sesuai ukuran mereka, lalu berpamitan keluar untuk memakainya. Tinggalah Naya bersama Alka, karin dan Sandi yang bekerja dibagian akunting. "Oh iya Bu Naya, untuk yang perempuan bagaimana? Apa bisa juga dibuatkan seragam meskipun jumlahnya sedikit? Karyawan perempuan di tempat kami hanya 30 orang, jadi ordernya hanya berjumlah 90 pieces." ungkap Alka. Naya mengangguk mengerti. Sebelumnya memang Alka sudah menanyakan hal itu melalui email. "Saya sudah menanyakan hal itu pada manager saya, Pak. Untuk jumlah yang diminta, kami bisa bantu. Hanya saja karena nanti pengerjaannya di ruang sample, jadi harga sedikit lebih tinggi, dibanding untuk order besar yang kami jalankan di produksi." "Saya bisa mengerti soal itu. Apa saya sudah bisa mendapatkan kisaran harganya?" tanya Alka. Naya mengangguk, kemudian membuka tas kulitnya. Dikeluarkan 2 lembar kertas, lalu menyerahkan 1 lembar kepada Alka. Sementara 1 lembar lagi ia pegang sendiri "Di situ sudah saya masukkan rincian harga, dan juga modelnya. Bapak bisa melihatnya, dan jika ada yang tidak berkenan, bisa kita diskusikan lagi. Untuk kain, kami memakai yang ada spandexnya sehingga lebih nyaman dipakai untuk perempuan." Naya kembali mengambil 1 celana dari dalam koper. "Ini kebetulan sudah ada 1 sample untuk yang perempuan. Kayaknya Mbak Karin muat deh. Size 28. Mungkin bisa dicoba Mbak." Naya mengalihkan pandangan kepada Karin. "Woahh ... bagus nih warnanya. Saya suka," komentar Karin dengan mata berbinar, setelah memegang sample tersebut. "Saya coba dulu ya, Pak," ijin Karin pada Alka sebelum keluar ruangan. Alka masih mengamati lembar kertas di tangannya. Memperhatikan detail harga yang sudah dibuat breakdownnya dengan rapi. "It's ok untuk harganya, Bu Naya. Saya tidak keberatan," sahut pria itu setelah beberapa saat--membuat senyum Naya mengembang. "Kalau begitu, saya bisa langsung proses kontrak kerjanya ya, Pak?" Alka mengangguk setuju. "Iya Bu. Seperti kontrak kerja yang pertama, nanti bisa Ibu email ke saya, Karin dan Sandi. "Baik, Pak" Tidak lama keempat orang yang sebelumnya keluar ruang meeting, kembali dengan sudah mengenakan sample celana yang Naya siapkan. Mereka berdiri bersisihan sehingga ke tiga orang lainnya bisa memperhatikannya. Alka nampak memperhatikan dengan jeli. "Gimana ... nyaman?" tanya Alka pada ke empat karyawannya. Satu orang dengan ukuran paling besar mulai memberikan komentar. Merasa sedikit kurang nyaman di bagian pinggul. "Iya benar, di bagian pinggul memang terlihat ada bubbling di sana," tunjuk Naya. "Saya akan minta bagian pola untuk menguranginya." Naya segera mencatat komen di buku agendanya. Alka mengangguk. "Ada yang masih kurang nyaman lagi?" tanyanya yang mendapat gelengan dari ke empat karyawannya. Naya tersenyum puas. Suara ketukan pada pintu, mengalihkan perhatian mereka. Tak lama pintu terbuka, dan seorang perempuan masuk. "Maaf Pak Alka. Ini non Mekka minta ketemu Bapak." Terlihat sosok gadis cilik berusia sekitar 5 tahun yang mengintip dari balik punggung perempuan itu. Terlihat malu-malu dengan pipi gembul memerah. Gadis cilik yang membuat mata Naya berbinar saat melihatnya. Rambut hitam sebahu dengan sedikit curly diujung. Poni tipis menutup dahinya, mata bulat dan pipi gembul. Kulitnya putih bersih, hingga pipinya terlihat memerah saat malu-malu seperti sekarang ini. Bibirnya berwarna merah alami. Benar-benar cantik, dan menggemaskan. Ah..sepertinya Naya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN