Your chapter with him is done, finished, closed, ended. Start your new chapter. Tuhan memberi cobaan untuk hamba Nya yang mampu - Erika Rahayu-
***
Pagi ini, Naya terlambat sampai di kantor. Semalaman gadis itu tidak bisa menutup mata. Setelah sesi curhat dengan sang kakak, air mata kembali turun. Mengingat kebersamaannya bersama sang mantan kekasih. Mereka sudah berpacaran sejak masih memakai seragam putih abu. Naya yang baru saja naik ke kelas 2 SMA, dan Abi yang adalah kakak kelasnya, sering bertemu di perpustakaan. Beberapa kali saling mencuri pandang disela aktivitas membaca, akhirnya Abi memberanikan diri untuk berkenalan dengan Naya. Gadis manis dengan rambut terkepang rapi itu, sudah menarik perhatiaan sejak pertama ia melihatnya di perpustakaan.
Setelah saling mengenal nama, dan sering ngobrol, makan bersama di kantin sekolah, selang 3 bulan, mereka resmi berpacaran. Kisah mereka berjalan mulus. Keduanya saling mencintai, saling support, juga saling mengerti. Hampir tidak pernah ada pertengkaran di antara mereka. Abi adalah sosok penyabar untuk seorang Naya yang terkadang meledak-ledak. Itulah yang membuat hubungan mereka berjalan mulus. Tiap kali Naya meledak, maka Abi tahu betul bagaimana cara menenangkan gadis itu. Bukan Abi penyebab Naya terkadang tidak bisa mengontrol emosi, melainkan hubungan dengan teman-temannya yang terkadang dibumbui pertengkaran. Atau kemarahannya pada kakak semata wayangnya. Menurut Naya, kakaknya tersayang itu, terlalu over dalam menjaganya.
Bagi Abi, Naya adalah sosok yang begitu mengerti dirinya--di luar sifatnya yang kadang tidak bisa mengontrol emosi. Selalu men-support dia baik masalah pribadi, atau pun sekolah. Selalu memberinya waktu--setiap kali ia lebih memilih berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, pada sabtu malam. Waktu yang seharusnya dia habiskan dengan sang kekasih.
***
"Pagi Mbak Santi," sapa Naya begitu memasuki lobi kantor. Santi tersenyum, sembari mengangguk kecil.
"Pagi juga Mbak Naya. Tumben telat," sahut sang resepsionis. Naya cuma nyengir, lalu segera bergegas menuju ruang kerjanya di lantai dua. Melewati ruang kerja manager MD, Naya melongokkan kepalanya ke dalam. Menyapa si pemilik ruangan itu.
"Pagi Mbak Sel. Maaf Naya telat." Pemilik ruangan yang sedang menekuri laptop itu mendongak--menatap Naya yang berdiri di ujung pintu. Kening atasan Naya tersebut mengerut
"Itu kenapa muka kusut begitu? Mata bengkak. Nggak pake lipstik lagi. Kacau banget muka kamu, Nay," seloroh sang atasan sembari mengamati penampilan anak buahnya dengan teliti.
Naya hanya bisa meringis menanggapi ucapan sang atasan yang memang benar adanya. Seli terlihat menarik nafas panjang.
"Udah sana, taruh tas kamu, pakai lipstik biar gak pucat--trus balik lagi ke sini. Aku mau dengar hasil meeting kamu dengan Pak Alka kemarin." Naya menganggukkan kepala, sebelum akhirnya melangkah menuju kubikelnya. Ruang kerja Naya adalah ruang terbuka yang hanya dibatasi sekat pembatas tiap kubikel. Ada 3 team MD ditempatnya bekerja--dengan 1 asisten untuk tiap MD. Dia bersama asistennya, Weni saat ini mengurus order untuk customer Hongkong. Order dari PT Furniture Indonesia adalah tambahan, mengingat order HK yang dipegangnya sedang tidak banyak.
Kemarin, memang Naya belum sempat melaporkan pada atasannya tersebut mengenai hasil meeting dèngan bos PT Furniture Indonesia itu. Sekembalinya dari meeting, Naya terlalu larut dengan patah hati, juga due date pengiriman sample yang membuatnya harus lembur--bahkan sampai jam 10 malam. Bukan hal baru buat Naya untuk lembur sampai jam 10 malam. Semua MD (merchandiser) di tempatnya bekerja pernah, atau bahkan sering menjalaninya.
Setelah menyimpan tas, menghidupkan komputer, dan mengoles sedikit lipstik, Naya segera bergegas kembali ke ruang atasannya dengan membawa data hasil meeting. Mengetuk pintu, sebelum akhirnya melenggang masuk, dan duduk di seberang managernya.
"Gimana hasil meetingnya?" tanya Seli setelah Naya duduk. Naya segera menyerahkan 1 lembar kertas berisi data jumlah order, beserta breakdown size yang sudah ia buat serapi mungkin.
"Dia order 1500 pcs dengan breakdown seperti yang Mbak pegang itu. Pak Alka minta 3 warna, karena 1 orang karyawan akan mendapat jatah 3 celana. Saya sudah kasih data itu ke bagian pola buat dihitung konsumsi kain. Untuk model pant nya, dia udah confirm kemarin. Saya juga sudah minta bagian sample untuk segera proses samplenya. Pak Alka juga minta 3 size sample--ukuran small, medium, large. Kain denimnya dia juga sudah setuju sesuai sample kain yang kemarin saya kasih. Cuma sekarang saya lagi double cek qty kainnya ke gudang. Sebelumnya, saya cuma cek untuk qty 1000 pcs aja sih Mbak. Sementara ordernya ternyata 1500 pcs. Untuk warnanya saya minta laundry bikin trial. Nanti bisa saya photo, dan kirim ke Pak Alka sebelum proses jahit sample selesai." tutupnya. Seli mendongak dari selembar kertas yang ia amati sembari mendengar penjelasan Naya.
"Quotasinya kamu bisa siap kapan?" tanyanya. Naya terdiam sebentar, berpikir dan menghitung berapa lama dia sanggup menyelesaikan penghitungan harga.
"Um ... kasih tiga hari ya, Mbak. Saya masih harus memastikan soal kainnya. Mungkin nanti siang data sudah ada, sementara sample dua hari paling cepat bisa ready barang 1 piece buat cek output ke produksi." Seli terlihat mengangguk.
"Ya udah, kalo gitu kamu email ke Pak Alka, bilang semua ready within a week." Naya tersenyum senang karena dia diberi kelonggaran waktu dari tiga hari yang dia minta.
"Oke Mbak." Naya segera berdiri, namun urung ketika Seli kembali bertanya.
"Eh, belum selesai Nay. Duduk dulu." Naya kembali duduk, kemudian memusatkan perhatiannya pada sang bos. Menerka-nerka, apa lagi yang akan atasannya ini tanyakan. Sepertinya ia sudah menjelaskan semuanya secara detail, dan lengkap.
"Gimana Pak Alka?" Naya mengerutkan kening bingung, mendengar pertanyaan dari sang atasan.
"Maksudnya gimana Mbak?" tanya Naya masih tidak paham.
"Ya ... menurutmu, Pak Alka tuh orangnya gimana?"
"Oh .... baik kok. Sopan banget orangnya. Gak sombong juga, meskipun pastinya dia kaya ya." Naya meringis setelah ucapan terakhirnya terlontar. Seli mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Lalu memajukan tubuhnya, lebih mendekat ke Naya.
"Ganteng gak orangnya?" tanya Seli dengan kedua alit terangkat.
"Whattt ... ?!" Reflek Naya memekik. Tidak ada dalam pikirannya si bos akan menanyakan fisik sang klien.
"Ckçk ... nggak usah pake teriak kali Nay." Seli memberengut sambil mengusap-usap telingganya yang berdengung. Ia sudah kembali meluruskan punggunggnya.
"Eh ... maaf Mbak. Tadi saya kaget aja Mbak Sel nanya itu." Naya terdiam--mencoba mengingat fisik kliennya. Jujur saja, kemarin ia tidak terlalu memperhatikan sang klien sampai ke fisiknya. Bagaimana mau memperhatikan fisik pria itu sedang hatinya sedang kacau--patah berkeping-keping.
"Um .... gateng sih mbak. Gak gendut, tinggi juga sih ... kayaknya," jawab Naya tak yakin tentang tinggi badan sang klien. Karena saat itu ia hanya melihatnya dalam posisi duduk.
"Oh ya ...?" Tanya Seli antusias--yang langsung diangguki Naya.
"Pacar temen kuliah Mbak tuh ternyata," lanjut Seli
"Oh ya?" ganti Naya yang bertanya.
"Dunia emang nggak selebar daun kelor ya, ternyata." Naya menghela nafas. Dia sendiri sudah membuktikan pepatah tersebut.
"Iya ... Mbak juga baru tahu kemarin lusa waktu ketemu salah satu temen kampus dulu. Biasalah ngobrol-ngobrol bahas kerjaan sampe ke orderan PT Furniture Indonesia. Eh, ternyata temen Mbak tahu pemilik PT itu yang katanya pacar teman kami yang lain," jelas Seli. Naya menganggukkan kepalanya.
Merasa sudah tidak ada lanjutan pembahasan mengenai pekerjaan, ia segera pamit. "Um ... udah kan Mbak? Naya balik ke meja ya?"
"Oh ... ok Nay. Pokoknya, entar kalau quotasi udah selesai, kita review bareng dulu--sebelum kamu kirim ke Pak Alka, ya," ingat Seli yang mendapatkan anggukan kepala Naya.
"Siap, Mbak." Naya segera beranjak dari tempat duduk, bergegas keluar ruang kerja Seli, kembali ke meja kerjanya sendiri.
***
Naya mengalihkan perhatiannya dari layar komputer ketika dering handphone di atas meja terdengar. Tersenyum sekilas saat meliat nama yg tertera di layar--sebelum mengangkatnya
"Halo ... Mbak Yayuk calonnya Mas Bimo mantan ketua BEM teknik arsitektur 97," sapanya yang di balas gelak tawa di ujung telepon.
"Selamat sore Mbak Naya yang setia cinta mati sama Abi gendeng yang ngilang ditelan bumi," balas Yayuk tak kalah sengit. Senyum yang terpatri di raut wajah Naya sontak menghilang--berganti helaan nafas panjang. Naya belum sempat bercerita pada sang sahabat tentang pertemuannya dengan Abi.
"Hey ... Nay ... kok diem," sahut Yayuk setelah beberapa detik tidak mendapat tanggapan dari lawan bicaranya. Biasanya, Naya akan ngoceh panjang lebar soal pentingnya menggenggam janji, kesetiaan, dan banyak lagi lainnya setelah sapaan seperti itu.
"Are you okey, Nay? " tanyanya mulai khawatir--ketika Naya masih terdiam.
Terdengar hela panjang Naya. "Aku sudah ketemu Abi, Yuk. But I don't wanna talk about it right now." Yayuk terdiam. Mencerna, menganalisa, dan akhirnya bisa mengambil kesimpulan ... it must be bad, pikirnya.
"Its ok, Nay ... makan malam bareng?" tawarnya. Naya melihat jam, sebelum akhirnya mengiyakan ajakan sang sahabat. Sepertinya, dia tidak perlu lembur hari ini. Kerjaannya masih bisa di pending besok. Masih aman dari tenggat waktu yang sudah dibuat.
Setelah membereskan pekerjaannya sore itu, Naya segera membereskan meja.
"Wen, aku pulang duluan, ya. Kamu kalau sudah selesai kirim sample itu--tunjuknya pada tumpukan sample diatas meja Weni, langsung pulang saja.
"Okey Mbak. Mbak hati-hati di jalan, ya." Naya mengangguk, lalu bergegas untuk turun ke lobi--kemudian meninggalkan kantor. Dia sudah janjian bertemu dengan Yayuk di kafe daerah Pemuda.
Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan Naya untuk sampai ke tempat pertemuan dengan Yayuk--yang sudah disepakati. Setelah memarkirkan motor, dan merapikan sedikit penampilannya, Naya segera bergegas memasuki kafe. Suasanya kafe nampak ramai. Megedarkan pandangan untuk mencari sosok sang sahabat, Erika Rahayu. Sahabatnya sejak tahun pertama kuliah. Tersenyum senang kala matanya menangkap sosok sang sahabat yang sedang melambaikan tangan, dan tersenyum ke arahnya. Bergegas, Naya segera menghampiri Yayuk yang langsung berdiri, kemudian memberikan pelukan begitu Naya sampai.
"Ih ... Bu MD tambah cakep aja nih sebulan gak ketemu," sambut Yayuk dengan senyum khasnya.
"Bu Bimo juga makin montok aja nih," balas Naya yang dihadiahi pukulan ringan di bahu oleh Yayuk. Naya tertawa melihat kekesalan sang sahabat
"Ini juga udah turun sekilo, tahu nggak sih, Nay. Malah dibilang tambah montok," kesal Yayuk. Bibir sang sahabat bahkan sudah maju dua senti. Naya tersenyum.
"Yang penting Mas Bimo makin sayang kan? Udah mau dilamar tuh buktinya," lanjut Naya yang dibalas anggukan, dan senyum lebar Yayuk. Mereka lalu menempati kursi berhadapan sebelum memanggil pelayan untuk memesan makan malam.
Sambil menunggu pesanan mereka diantar, Yayuk menceritakan tentang persiapan lamaran yang akan diadakan bulan depan. 31 Desember tanggal yang mereka pilih untuk meningkatkan status hubungan mereka. Tentu saya Naya ikut bahagia mendengar cerita Yayuk. Pelayan datang memutus cerita mereka sesaat. Mereka memilih untuk menikmati makan malam terlebih dahulu, sebelum melanjutkan cerita. Lima belas menit mereka menikmati makan malam dengan tenang. Lalu menyingkirkan piring-piring bekas makàn malam ke sudut kiri meja. Naya mengambil teh tawar hangat, lalu meneguknya pelan, mengambil nafas panjang sesaat.
"He's married." ucapnya dengan kepala tertunduk. Tangannya memutar-mutar pelan gelas minuman di hadapannya. Yayuk terhenyak, menatap sendu sang sahabat, lalu berdiri, berjalan menghampiri Naya. Memeluk erat sahabatnya tersebut--dari samping.
"I'm so sorry to hear that. It must be very hard for you." Yayuk mengusap lengan Naya. Air mata Naya perlahan mengalir. Ya ... memang sangat berat untuknya.
"I've been stupid for 10 years right? Mempercayai janjinya. Memupuk cinta untuknya, menjaga hatiku utuh untuknya. Sementara dia? Aku benar-benar bodoh." Bahu Naya mulai bergetar. Yayuk mengeratkan pelukannya. Matanya sudah ikut memanas. Dia tahu betul bagaimana Naya mencintai Abi, dan menjaga hatinya untuk pria itu.
"He is a fool. Dia yang bodoh, karena melepas cewek sebaik kamu. He doesn't deserve you. Tuhan sudah menyiapkan seseorang yang jauh lebih spesial dari dia. Someone who will treat you like a queen. Kamu hanya perlu bersabar. Ikhlaskan Abi, dan tunggu jodoh terbaik dari Tuhan untuk kamu," ujar Yayuk, mencoba membesarkan hati sang sahabat. Naya menggelengkan kepala.
"Aku nggak yakin akan bisa jatuh cinta lagi, Yuk. Hati aku sudah hancur. Bener-bener hancur." Yayuk melepaskan pelukannya, tangannya bergerak menghapus air mata sang sahabat.
"Jangan bilang begitu. Tuhan memberi cobaan pada umat yang dianggap mampu melewatinya. Siapa yang selalu ngomong seperti itu coba?" terdiam sebentar sebelum melanjutkan "Your chapter with him is done, finished, closed, ended. Start your new chapter now. Find your own happiness." Naya tersenyum disela menghapus kembali lelehan air matanya.
"Ternyata lebih gampang ngomong dari pada ngejalaninnya." Naya kembali menggelengkan kepalanya "Entahlah, rasanya aku ingin menghilang saja sekarang. Dia udah balik ke sini, dan kemungkinan untuk ketemu sama dia lagi itu besar banget . Tuhan sudah mengabulkan doaku selama ini. Membawa Abi kembali ke kota ini. Sayangnya, aku lupa meminta Tuhan menjaga hatinya agar tetap menjadi milikku."