Part 9. Shocking news

1826 Kata
Balas dendam hanya akan menimbulkan penyakit hati. *** Naya beringsut turun dari tempat tidurnya. Badannya terasa lelah. Seharian kemarin ia habiskan bersama Mekka. Anak kecil itu menempel padanya seperti lintah yang entah mengapa justru membuatnya senang. Sebagai anak bungsu dari 2 bersaudara, Naya remaja sempat sangat menginginkan adik perempuan, namun sayang, sang ibu tidak bisa memberikannya adik. Sekarang usianya sudah 28 tahun, sudah tidak pantas dia menginginkan seorang adik. Lalu sebenarnya apa yang dia rasakan kepada anak 5 tahun itu?. Rasa sayang seperti apa yang merambat di dalam dadanya, ketika bersama dengan anak Alka? Ia berjalan ke arah kamar mandi dengan pikiran masih berkecamuk. Naya mendesah ... hari ini dia ada janji makan siang dengan Dhani. Naya tahu Dhani memberikan perhatian lebih padanya dari beberapa tahun silam. Akan tetapi, pria itu menghargai hubungannya dengan Abi--yang kala itu masih Naya dengung-dengungkan. Sekarang, setelah Abi kembali ke kota mereka dengan membawa istri, Dhani tak lagi menahan diri untuk mendekatinya. Naya sungguh menghargai niat baik Dhani, tapi apa yang harus dilakukannya, ketika hatinya tak merasakan getar apa pun. Beberapa kali ia sudah menunda kencan makan siang bersama pria itu, namun kali ini ia tidak bisa lagi menghindar. Ada rasa tak tega pada pria yang sudah begitu sabar menghadapinya. Berdiri di depan wastafel, Naya memperhatikan wajahnya. Mengagumi dirinya sendiri. Alis tebal tanpa perlu digambar. Mata bulat dengan bulu mata panjang, dan lentik tanpa harus memakai bulu mata anti badai, atau apa pun itu. Hidung kecil, tidak terlalu tinggi, namun terlihat proporsional dengan mukanya. Bibir yang cukup penuh, serta dagu lancip. Satu lesung pipi di sebelah kiri yang akan terlihat saat ia tersenyum. Rambut hitamnya sekarang sudah ia warnai menjadi coklat tua. Dengan kulit putihnya, semua terlihat sempurna. Tinggi badan 160 cm dengan berat 55 kg semakin memantapkan penampilan Naya.  Segera ia raih sikat, dan pasta gigi. Ia akan memulai rutinitas paginya di hari Senin yang menjemukan baginya. "Nay ... dipanggil ke ruangan Mbak Seli." Nisa yang berjalan melewati tempat duduknya, menepuk pelan bahunya. Sepertinya, teman sati divisinya itu baru saja keluar dari ruangan bos mereka, Seli. Naya mengangguk, lalu segera berdiri. Menyambar sebuah buku agenda, dan pena. Meninggalkan tempat duduk, menuju ruang kerja Seli. Mengetuk beberapa kali, lalu masuk setelah dipersilahkan si pemilik ruangan. Ia duduk di depan Seli yang masih terlihat serius mengetik di laptopnya. "Bentar ya, Nay ... satu email. Tanggung," ucap Seli tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop di depannya--yang Naya tanggapi dengan anggukan. Entah Seli menyadari anggukannya, atau tidak. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Naya mendapatkan perhatian penuh dari Seli, bosnya yang hari ini terlihat cantik dengan rambut tergerai. "Begini Nay ...." buka Seli. "Mbak tahu kita harus selalu berhubungan baik dengan customer. Itu bagian dari pelayanan kita pada mereka." Seli menatap tajam Naya, sementara Naya mengerutkan keningnya. Tidak mengerti arah pembicaraan sang atasan. Seli mendesah. "Mbak denger, kamu keluar dengan Pak Alka, dan anaknya." Mata Naya membulat kaget. Jadi ini maksud pembicaraan bosnya. Entah siapa yang melihatnya saat ia jalan bersama Alka, dan Mekka kemarin. Seingatnya, dia tidak bertemu dengan seseorang yang dikenalnya.  "Tidak ada apa-apa diantara kami, Mbak." Naya mencoba menjelaskan.  "Maksud saya ... saya sama Pak Alka, tidak berhubungan seperti yang Mbak pikirkan." Naya menggelengkan kepalanya. "Benar-benar bukan seperti itu," jelasnya. "Sebenarnya Mbak juga tidak ingin mempercayainya. Mbak tahu kamu profesional, tapi dari apa yang Mbak dengar ...." Seli menghentikan sejenak ucapannya. lalu kembali mendesah. "Bisa kamu jelaskan versi kamu Nay?... Mbak nggak ingin salah menilai kamu." Naya menghela nafas kasar, alisnya berkerut ketika memulai ceritanya. "Sebenarnya, saya ketemu Mekka--putri Pak Alka, pertama kali waktu saya meeting di FURIN. Saya sempat menemani dia bermain, sambil menunggu waktu buat ke bandara." Naya mengetuk-ngetukkan pena pelan ke atas meja. "Habis itu, beberapa kali Mekka telepon ... ya hanya buat cerita apa yang terjadi di sekolahnya hari itu." Naya menatap bola mata Seli. "Dia nggak pernah dapat kasih sayang seorang Ibu, Mbak. Ibunya meninggal waktu melahirkan dia." Naya mendesah, lalu tatapannya beralih ke jari-jarinya yang kini sudah terjalin di atas meja, sementara pena yang semua ia pegang, kini sudah tergeletak di sisi meja. "Saya nggak tahu gimana ... tapi saya jatuh hati padanya--dari saat pertama kali melihatnya. Anak itu cantik, lucu, menggemaskan, dan juga pintar," lanjutnya tidak ingin berbohong. Naya kembali mengangkat kepalanya untuk bertemu pandang dengan Seli yang masih setia mendengar ceritanya. "Kemarin itu ke dua kalinya mereka ke Semarang karena Mekka minta ketemu saya." Naya tahu Seli akan terkejut saat mendengarnya. Maka buru-buru ia menambahkan. "Tapi sumpah Mbak ... saya nggak punya hubungan lebih dengan Pak Alka. Hanya dengan putrinya saja," jelas Naya menyakinkan sang atasan. Seli mendesah. Terlalu sulit untuk mengambil kesimpulan saat ini. Dari ekspresi Naya, ia tahu anak buahnya tidak sedang berbohong. Akan tetapi, dari apa yang terjadi--kedekatan Naya dengan putri kliennya--tidak memungkinkan adanya hubungan yang mungkin belum Naya sadari. "Tapi apa kamu tidak berpikir bagaimana pandangan orang saat melihat kalian bertiga jalan-jalan dengan saling bergandengan tangan? Kalian sudah terlihat seperti keluarga bahagia, Nay. Papa, Mama, dan anaknya," sahut Seli mengutarakan pendapatnya. Naya gusar, ia tidak menyangka kasih sayangnya kepada Mekka, sekarang malah membawa masalah baru untuknya. "Kamu tahu kan Pak Alka sudah punya kekasih?" Naya mengangguk. Seli sudah pernah memberitahukannya. "Iya ... Mbak pernah cerita soal itu. Dan saya tidak punya niat merusak hubungan mereka," jawab tegas Naya. Jujur, tidak ada sedikitpun terbersit dalam hati Naya untuk merusak hubungan orang lain. Saat ini ia sedang patah hati, dan tidak punya waktu untuk memikirkan menjalin hubungan baru. "Tapi Nay ... saat seorang anak sudah memilih seseorang, seorang ayah yang mencintai anaknya akan rela mengorbankan perasaannya untuk buah hatinya," jelas Seli. Naya mengedip-ngedipkan matanya. Otaknya tidak berfikir sampai ke situ. "Menurut Mbak ... lebih baik kamu menjauh dari Mekka. Biarkan anak itu lebih dekat dengan wanita pilihan Papanya. Pak Alka juga klien kita, Nay. Enggak baik punya hubungan yang terlalu dekat saat kita mengerjakan ordernya." Naya mengangguk mengerti. "Iya mbak ... Naya akan coba menjauh dari Mekka." lirihnya. *** Siang itu, Dhani menjemput Naya di kantornya. Ia mengajak Naya ke rumah makan seafood di daerah pemuda. Setelah tiga puluh menit perjalanan, Dhani memarkirkan mobilnya. Pria itu lalu mengajak Naya turun. Keduanya berjalan berdampingan memasuki rumah makan tersebut. "Sebelah sana, Nay." Dhani menunjuk sebuah saung di pojok dekat kolam ikan. Tatapan mata Naya mengikuti arahan tangan Dhani, kemudian menyorot tajam. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu menengok ke arah Dhani. "Kok nggak bilang kalau ada mereka, Dhan." Dhani meringis tidak enak hati. Kalau Naya tahu mereka tidak hanya berdua, mungkin Naya akan menolak ajakan Dhani--sekalipun ia akan melihat wajah kecewa pria itu lagi. "Sorry banget Nay ... dadakan nih ... soalnya di proyek ada masalah, jadi Bimo ngumpulin kita di sini buat makan siang, sekalian ngobrol," jelas Dhani yang membuat Naya berdecak. "Ck ... kalau gitu tadi lebih baik kita re-schedule makan siang kita, Dhan. Gak ada ceweknya lagi," keluh naya. Dhani mendesah. "Kalau re-schedule lagi, aku nggak ngerti kapan bisa beneran makan siang sama kamu. Kamu tuh yang paling sibuk diantara kita  Nay." "Terserah deh, Dhan." Naya berjalan mendahuluai Dhani. Ia sudah terlalu kesal. Sekarang, tidak mungkin juga ia tiba-tiba berbalik, dan pergi. "Nay ... Nay ..." Dhani menyusul, dan menggapai lengan Naya "Please Nay ... aku minta maaf," ucap Dhani. Dia tahu dia salah. Ditatap Dhani dengan tampang memelasnya, membuat Naya mendesah, lalu menganggukkan kepala. "Ya udah lah. Ayo cepetan, waktu makan siangku nggak banyak." Dhani tersenyum mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan Naya mendekati tempat yang sudah dihuni teman-temannya. "Hai guys ... " Bimo, Radit dan Abi yang sedang duduk lesehan sambil bercakap-cakap, serentak menoleh ketika mendengar suara Dhani menyapa. Bimo mengangkat kedua alisnya, ketika mendapati Naya dengan senyumnya. "Hai Bim. Sorry nih, aku kelaparan jadi mau ikutan makan siang," candanya. "Jauh amat non makan siangnya sampai sini," celoteh Radit yang membuat Naya cemberut. "Jadi keberatan nih aku ikut di sini?" tanya Naya dengan wajah tertekuk. "Yaelah Nay ... gitu aja ngambek. Udah cepetan duduk sini. Btw, kamu tambah cantik deh dengan rambut coklat," lanjutnya memuji dengan senyum lebar. Naya tertawa. "Bisa aja kamu ngegombal, Dit," sahut Naya tersipu malu. Dhani mendorong punggung Naya pelan supaya segera naik ke saung. Untung Naya pakai celana panjang, jadi dia tidak kerepotan saat menaikinya. "Sorry bro, sebenarnya aku emang sudah ada janji makan siang sama Naya. Berhubung tadi dadakan kita mesti ngumpul di sini, ya udah aku bawa Naya sekalian aja. Awas aja kalau ada yang keberatan," ancam Dhani di ujung kalimatnya, lengkap dengan pelototan matanya. "Kalau tahu kamu bakal gabung, tadi aku ajak Rika sekalian, Nay." keluh Bimo "Ye .. .orang aku aja nggak ngerti bakal ketemu kamu di sini, Bim," sahut Naya cepat. Ia tidak ingin ada yang salah paham--mengira ia sengaja ikut nimbrung di tempat ini karena ada dia. "Nay ... nih kamu pesen dulu." Dhani menyela, sambil memberikan daftar menu kepada Naya. Naya menyebutkan pesananya, lalu mengembalikan daftar menu kepada Dhani untuk selanjutnya Dhani pesan. "Kamu kok diam aja sih, Bi. Gak nyapa Naya?" canda Radit dengan cengirannya. Naya yang sedang membuka tas untuk mengambil handphone mendongak, tatapannya bertemu dengan mata Abi. "Kamu nggak keberatan aku gabung kan. Bi?" tanya Naya saat Abi masih terdiam. Abi menggelengkan kepalanya "Nggak kok, Nay ... santai aja," jawab Abi dengan senyum kecil. "Syukurlah ..." sahut Naya cepat. Naya kembali fokus mengambil handphone, lalu mengetikkan sesuatu di sana. Ia harus meminta ijin atasannya terlambat balik ke kantor. Waktu satu jam istirahatnya, tidak akan cukup membawanya kembali ke kantor tepat waktu. "Oh iya ... tadi Abi barusan cerita, kalau Sandra sedang hamil. Baru ketahuan tadi pagi. Kita bakal punya ponakan nih, bro," celoteh Radit yang membuat kepala Naya yang tadinya tertunduk saat menekuri handphone, seketika mendongak. Tatapannya kembali bertemu dengan mata di balik kaca mata bening itu. Untuk sesaat Naya merasa jantungnya behenti berdetak, nafasnya tertahan. Rasa sakit itu kembali menyeruak. Naya mencoba meraih hela nafasnya kembali. Mengembalikan detak jantung yang sesaat tak terasa. Telinganya berdengung mengulang kata-kata Radit.  Remasan di tangan kirinya membuat Naya mengalihkan pandangannya. Bimo tersenyum menguatkan Naya. Pria itu sangat mengenal Naya. Sama seperti Erika Rahayu. Naya menghela nafas, tersenyum kecil pada Bimo, lalu mengalihkan pandangannya pada Abi yang sedang menunduk. Tangan kanan pria itu memutar-mutar gelas es teh nya. "Selamat ya, Bi ... semoga lancar sampai Sandra melahirkan." Abi yang mendengar Naya berucap, segera menaikkan tatapannya. Dilihatnya Naya yang tersenyum, meski Abi tahu, itu bukan senyum tulus seorang Naya. Ada marah dalam tatapan mata Naya. "Thanks Nay." Tak urung Abi menjawab, meski dengan desahnya. Tak lama makanan mereka datang. Mereka, para lelaki makan sambil bercakap-cakap mengenai proyek mereka. Sedang Naya berusaha menghabiskan nasi yang terasa tak lagi nikmat. Berita yang dia dengar barusan membuat moodnya terjun bebas. Memang apa sih yang kamu harapkan dari Abi, Nay? Apa kamu berharap Abi tidak akan menyentuh istrinya? Move on Nay. Hentikan rencana balas dendam kamu. Balas dendam hanya akan menimbulkan penyakit hati - bisik suara hari Naya. Pandangan Naya kembali menangkap manik mata Abi. Mata pria itu berselaput air, saat membalas tatapan Naya. Benar-benat sudah berakhir kan, Bi? tanya dalam tatapan Naya yang penuh kesakitan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN