Part 14. The disaster

1974 Kata
Seandainya saja ada yang bisa memutar balik waktu. Sayangnya sang waktu hanya tahu cara bergerak ke kanan --kanaya & abiyaksa-- ******* Setelah tragedi keripik kentang pedas yang membuat beberapa orang di ruang makan terdiam, suasana sarapan berlanjut hening. Meskipun semua orang lahap menyantap hidangan yang disiapkan Naya, namun suasana masih belum mencair. Naya melirik keripik kentang yang menjadi awal tragedi pagi itu. Tidak ada yang menyentuhnya. Naya menghela nafas panjang. Tangannya terulur untuk mengambil mangkuk berisi keripik kentang itu, lalu mengambil beberapa sendok. "Aku bikin keripik ini karena kupikir akan cocok buat makan capcay atau rendang. Kalian nggak ada yang mau?" Ia memandang satu-persatu tamunya. Bisa kan dia mengatakan mereka adalah tamunya. Terakhir ia menoleh ke samping kirinya tempat Dhani duduk. "Kamu nggak mau nyoba sayang?" tawarnya. Dhani menoleh, lalu dengan senyum ia menggeser piringnya ke arah Naya. Naya yang paham maksud Dhani, langsung tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. "Kamu pasti suka sayang." tangannya bergerak mengambil dua sendok keripik dari mangkuk, lalu meletakkannya diatas piring Dhani. Dhani kembali menarik piringnya dan mulai menyuap. Dalam hati ia mengakui, keripik bikinan Naya juara. Dia hanya masih sedikit kesal saat mendengar dari Radit, bahwa kripik kentang itu makanan favorit Abi. "Sini Nay...aku juga mau." Bimo menyodorkan tangannya, meminta mangkuk kripik kentang yang masih Naya pegang. Naya tersenyum, lalu mengulurkan mangkuk itu pada Bimo. "Kalau gak ada yang mau, entar bungkus buatku aja." celetuk Bimo sambil menyendok kripik. "Enak aja. Gue juga doyan kali." Radit yang duduk disamping Bimo langsung menyerobot mangkuk kripik itu. Akhirnya mangkuk itu bergesar dari satu tangan ke tangan yang lain, hingga sampai dihadapan Abi. Pria itu terlihat menarik nafas panjang sebelum akhirnya ikut mengambil dua sendok. Suasana mulai mencair. Mereka mulai berbincang dan Naya bisa bernafas lega. "Sayang ... mau sop nya dong," Dhani yang sudah selesai dengan makannya meminta Naya mengambilkan sop. Naya langsung berdiri, mengambil mangkuk dan memenuhinya dengan sop matahari buatannya. Setelah meletakkan mangkuk berisi sop di depan Dhani, ia menawari yang lainnya. "Ada yang mau sop nggak nih ... mumpung masih panas sekalian aku ambilin." Mereka semua langsung mengangkat tangan, termasuk Abi. Naya hanya mengangguk, lalu mulai mengisi mangkuk demi mangkuk dengan sop, dan mengangsurkannya satu per satu. "Abang nggak nyangka Naya pinter masak. Tahu gini abang Igor pepet dari dulu dah." Igor menyela diantara suapannya. "Pepet ... pepet .... noh adepin calonnya berani nggak ??" Inez mendelik pada Igor, lalu dagunya mengedik kearah Dhani. "Yaelah Nez .. kenapa awak yang nyolot. Abang bilang dulu sayang .. dulu." "Heh bang Igor ganteng yang masih belum berubah status jomblonya. Yang abang panggil sayang itu calon beta." Radit dengan wajah dibuat memelas menunjuk dadanya. Seketika suasana menjadi ramai dengan gelak tawa. Sandra terlihat mengusap perutnya, mulutnya berkomat-kamit mengucap 'amit-amit' berulang kali. Suara dering handphone Naya membuat gelak tawa berangsur mereda. Handphone Naya yang tergeletak di depan tempatnya duduk membuat Dhani melongok, melihat nama si penelpon. Keningnya berkerut ketika membaca nama si penelpon ' pak Alka' " Ngapain dia nelpon kamu hari libur gini ?" protesnya. Wajahnya memperlihatkan ketidak sukaan yang jelas. Naya mengedikkan bahunya, namun tetap mengambil handphone dan beranjak menjauh. Dhani menghela nafas. Memandang punggung Naya sampai akhinya menghilang dari jangkauan matanya. Dia merasa insecure dengan keberadaan Alka, melihat hubungan Naya yang begitu dekat dengan putri pria itu. Dibanding Alka, dia tidak ada apa-apanya. Pria itu jelas berada jauh diatasnya dalam segala hal. *** Naya keluar ruang makan menuju teras. Handphone masih menempel ditelinganya. " Apa masih belum turun demamnya ?" Tanya naya pada si penelpon " Sempat turun sebentar, lalu naik lagi." Alka mendesah di tempatnya. " Bawa ke rumah sakit saja Pak. Saya takut Mekka kenapa-napa." " Mekka nya nggak mau Nay. Susah sekali dibujuk." " Baiklah. Biar saya coba bicara dengannya." Setelah itu ia mendengar suara pintu terbuka disusul tangisan Mekka. Kemudian ia bisa mendengar Alka mengatakan pada putrinya bahwa dia ingin bicara dengan anak itu. Suara tangisan mereda berganti isakan. " Tante ... tan-te-na..:" suara Mekka terbata-bata disela isakan. " Iya sayang .... Mekka masih sakit sayang?" " Hik ... hik ... Mek-ka...sakit...tan-te" " Mekka sayang ... dengerin tante ya. Mekka mau sembuh kan ? Biar bisa ke sekolah lagi. Main sama teman-teman Mekka lagi hmm ..." Tidak ada jawaban, Naya hanya mendengar suar isak gadis kecil itu. Tapi ia yakin, anak itu sedang menganggukkan kepalanya. Maka, ia kembali melanjutkan bujukannya. " Mekka ke dokter ya sayang ... minta obat sama bu dokter biar cepat sembuh." " Mek-ka...hik..hik...gak mau...suntik...tan-te" " Engga sayang ... nanti biar tante bicara sama Papa ya. Biar Papa bilang bu dokter jangan suntik Mekka" ia berhenti sebentar " Mekka mau kan sayang ?" " Jan-ji-tan-te ?" " Iya sayang tante janji. Sekarang kasih handphone ke Papa ya. Biar tante bicara sama Papa." Tak lama suara bariton Alka terdengar " Halo Nay ... gimana ?" " Dia takut disuntik Pak. Saya rasa dokter tidak akan memberikan suntikan selama tidak diperlukan. Biasanya mereka akan memberikan obat sirup atau puyer untuk menurunkan demam. Jadi bapak bisa membawa Mekka ke dokter sekarang." Alka menghela nafas lega. " Baiklah. Saya bawa Meķka ke dokter sekarang." " Jangan lupa kabari saya ya pak" " Pasti nay. Terima kasih." Selesai  menerima telpon dari Alka, Naya kembali masuk ke dalam rumah. Semua orang sudah pindah ke ruang keluarga. Membincang dengan serunya. Naya ikut bergabung dengan duduk bersama para wanita. *** Keadaan Mekka yang masih belum membaik keesokan harinya, memaksa Naya terbang ke Jakarta. Semalam ia bertengkar dengan Dhani yang tidak mengijinkan Naya pergi ke Jakarta. Dhani bilang, Mekka bukan tanggung jawab Naya, jadi ia tidak perlu harus sampai meninggalkan pekerjaan untuk datang ke Jakarta. Naya tahu Dhani cemburu, tapi ia tidak bisa mengabaikan Mekka begitu saja. Pria itu akhirnya menyerah, dan membiarkan Naya pergi ke Jakarta setelah gadis itu mengeluarkan kalimat saktinya. " Aku mencintai kamu Dhan. Bukan Pak Alka. Yang aku perdulikan hanya Mekka. Anak itu tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Kalau aku mempunyai perasaan khusus pada Alka, kamu tahu aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama kamu." tatapan mata Naya menghunus tepat ke manik hitam Dhani. Meyakinkan pria itu bahwa dia yang Naya pilih. Dhani menelisik kedalam bola mata Naya.    Naya yang mulai gusar saat menyadari keraguan dimata kekasihnya itu mengambil aksi. Ia mendekat lalu berjinjit. Kedua tangannya dia kalungkan dileher pria itu. Detik selanjutnya berlalu dengan suara decapan yang entah hingga berapa lama sampai akhirnya Naya harus memutus ciuman mereka saat merasa kehabisan nafas. Ia tersenyum menatap Dhani. " Aku mencintaimu" ucap Naya yang akhirnya mendapat pelukan hangat Dhani. " Baiklah ... kamu boleh pergi. Aku percaya padamu." bisik Dhani. " Jam berapa ke bandara?" Tanyanya tanpa melepaskan pelukan. " Jam 6 " sahut Naya. Ia masih menikmati pelukan hangat kekasihnya. Ia merasa nyaman dan juga aman. Dhani melepaskan pelukannya, lalu menatap teduh mata Naya. " Kamu tahu kan aku sangat mencintai kamu ?" Naya mengangguk. " Aku takut kehilangan kamu Nay." Naya menggelengkan kepalanya, lalu kembali memeluk kekasihnya. " Aku memilihmu. Bukan orang lain." *** Pagi harinya, Dhani sendiri yang mengantar Naya ke bandara. *** Naya ingat, itu adalah satu-satunya pertengkaran yang terjadi selama mereka berpacaran. Setelah itu hubungan mereka semakin dekat hingga Naya memutuskan akan menerima pinangan Dhani. Akan tetapi masih ada satu hal yang mengganjal dihatinya. Abi, nama pria itu masih terselip dihatinya. Ia ingin bisa melangkah bersama Dhani tanpa ada nama pria itu lagi. Setelah berhari-hari ia memikirkannya, maka ia memberanikan diri meminta no Abi dari Bimo. Tidak banyak yang Naya katakan pada Bimo saat meminta no ponsel Abi. Ia hanya bilang akan menyelesaikan urusan yang belum selesai dengan Abi. Maka hari itu Naya ada di kamar sebuah hotel. Ia yang memesan kamar itu, dan meminta Abi datang menemuinya. Ia ingin bicara dengan Abi tanpa ada gangguan, dan kamar hotel itu menjadi pilihannya. Sudah 10 menit Abi terlambat dari waktu janjian mereka. Naya gelisah. Ia berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku jarinya. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya dengan Abi supaya hatinya tenang. Ia bahkan berbohong pada Dhani harus lembur hari itu. Dia hanya punya waktu dua jam sebelum Dhani menjemputnya di kantor. Suara ketukan dipintu membuat Naya tersentak sesaat. Setelah sadar, Ia dengan cepat melangkah menuju pintu lalu membukanya. Abi berdiri didepan pintu dengan tampang kusut. Kemeja navy lengan panjangnya sudah terlipat sebatas siku. Tidak ada jas yang biasa membalut tubuh kekarnya saat bekerja. " Sorry telat Nay. Tadi kerjaan numpuk." suara Abi memecah keheningan. Naya mengangguk, menggeser tubuhnya ke samping untuk memberi jalan pada Abi. " Masuk Bi." Abi melangkah masuk dan mendudukkan tubuhnya di sofa, disusul Naya yang berjalan dibelakangnya setelah menutup pintu. " Maaf ya bi aku minta kamu datang kesini menemuiku." Naya menghela nafasnya " Tapi aku merasa perlu bicara sama kamu. Aku merasa kita belum mengakhiri hubungan kita dengan benar. Masih ada yang mengganjal dihatiku. Rasa marah, benci, kesal, dan juga cemburu." Naya menekan setiap kata yang ia lontarkan. Hatinya kembali merasa nyeri, matanya memanas. Abi tertunduk lesu. Ia pun masih merasa kecewa pada dirinya sendiri. Hidupnya pun tidak merasa tenang. Setiap saat hatinya juga sakit tiap kali mengingat apa yang dialami Naya karena ulahnya. "Aku tahu Nay. Sampai kapanpun aku tidak termaafkan. Hidupku tidak akan bisa tenang. Ini karma yang harus aku tanggung setelah menyakitimu." perlahan air matanya meleleh. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan tangan. Naya berdiri dan melangkah menjauh sementara Abi masih diam dengan kepala tertunduk. Tak lama Naya kembali dengan membawa sebuah kardus. Ia sedikit membanting kardus itu ke meja tepat didepan Abi. " Aku ingin mengakhiri semuanya Bi." genangan air mata tidak lagi bisa ia tahan. Lolos membasahi pipinya begitu saja. Sekuat tenaga ia menahan isakannya. Bahunya naik turun seiring deru nafas yang tidak bisa terkontrol. " MARAHKU ... BENCIKU .. KESALKU ... CEMBURUKU. AKU INGIN MENGAKHIRI SEMUANYA!!" suaranya bergetar. " Aku kembalikan semua sumber sakit hatiku padamu." Naya mendorong kasar kardus didepan Abi. Dengan tangan bergetar Abi membuka kardus itu. Isakannya keluar begitu matanya menangkap isi kardus itu. Tangannya bergerak mengambil satu persatu benda didalam kardus. Air mata semakin deras mengalir. Ia melepas kaca matanya, membuka selembar surat yang pernah ia tulis untuk Naya. " Tiga surat Bi. Tiga surat dengan janji yang pada akhirnya kamu ingkari." " Maaf Nay ... aku minta maaf. Seandainya aku bisa memutar waktu." tangan Abi menggenggam erat selembar surat yang ia pegang. Naya menggelengkan kepalanya. " Sudah terlambat. Kamu tahu itu Bi. Sudah terlambat dan semuanya tidak akan bisa kembali seperti semula. Aku sudah lelah dengan perasaanku sendiri. Aku harus mengembalikan semua itu padamu supaya aku bisa melepasmu. Benar-benar melepasmu. Aku masih belum bisa memaafkanmu. Tapi aku mencoba mengikhlaskanmu." Abi kembali bergerak mengambil satu lembar surat lagi, lalu membukanya. Bahunya bergetar mehanan isakan. Didalam kardus itu, berisi  semua benda yang pernah Abi berikan kepada Naya selama mereka berpacaran. Dari mulai kotak pensil, jepit rambut, beberapa komik, kaos, boneka, jam tangan, sepatu, hingga tiga surat yang pernah ia kirim saat awal ia tinggal di Aussie. Semua masih Naya simpan dengan baik dan itu semakin mengiris hati Abi. Suara ketukan dipintu membuat Naya menoleh, sementara Abi masih larut dengan kesakitannya. Naya menghapus kasar air matanya, kemudian beranjak berdiri, berjalan ke arah pintu dan membukanya. Matanya membulat sempurna begitu melihat dua sosok yang berdiri di depan pintu. Dhani dengan wajah memerah menahan marah. Mata pria itu menatap tajam Naya dengan rahang yang mengatup rapat. Juga Sandra yang terlihat hendak menangis. Mata wanita dengan perut buncit itu juga memerah. Genangan air mata bisa Naya lihat dengan jelas. Sementara itu didalam kamar, Abi yang keheranan karena Naya belum kembali juga akhirnya berdiri setelah menghapus air matanya. Jejak sisa air mata masih tampak dikedua pipinya. Ia melangkah keluar menghampiri Naya. " Siapa Na--" belum selesai ia bertanya, tubuhnya menegang kaku melihat siapa yang ada diluar kamar. Naya bahkan masih belum bergerak. Sebelah tangannya masih memegang handel pintu. "b******k KALIAN!!!" secepat kilat Dhani mendorong tubuh Naya kesamping dan langkah cepatnya menghampiri Abi, secepat pukulannya yang bertubi-tubi menghantam tubuh Abi. Perut dan juga wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN