BAB 10. Murahan

1100 Kata
“Danu!” pekik Alana. Dia terkejut melihat Danu yang telah berada di rumahnya. “Kapan kamu datang?” tanyanya lagi. Mendengar itu, Danu tersenyum sembari mengusap tengkuknya. Ia memang sengaja ingin membuat kejutan untuk Alana dan Rehan. Makanya datang tanpa ingin memberitahu. “Aku baru datang jam enam sore tadi. Aku memang sengaja, Alana. Aku ingin memberikan kejutan untuk Rehan. Aku sudah sangat merindukan bocah laki-lakiku ini. Dan sekarang aku senang bisa bertemu dengannya,” sahut Danu yang mengusap pelan rambut Rehan yang hitam legam. “Kamu habis lembur, Alana? Kok baru pulang jam segini?” tanya Danu dan Alana menjawab dengan anggukan pelan. “Ya. Aku habis lembur. Pekerjaanku di kantor sangat menumpuk, makanya harus segera diselesaikan malam ini juga,” jawab Alana. “Aku pikir Rehan sudah tidur. Tapi ternyata dia masih asyik bermain denganmu. Tapi tidak baik membiarkannya tidur terlalu larut, Danu. Rehan harus sekolah besok pagi.” Danu segera menepuk keningnya setelah mendengar ucapan Alana. “Oh iya, aku lupa. Maaf, Alana. Aku terlalu antusias melepas rindu dengannya. Sampai aku tidak ingat kalau Rehan harus bangun pagi-pagi,” kata Danu pada Alana yang tersenyum. Lalu Danu mengalihkan pandangannya pada Rehan. Bocah kecil itu saat ini sedang sibuk dengan mobil-mobilan yang baru saja dibelikan oleh Danu. “Boss kecil! Sudah dulu main mobil-mobilannya, ya. Sekarang sudah waktunya untuk bersembunyi di dalam selimut dan berkelana di alam mimpi,” ajak Danu yang mengambil pelan mainan dari tangan Rehan, lalu menggendong anak itu ke kamar. “Tapi Ayah, aku masih mau main!” “Besok saja lagi, ya. Sekarang kamu harus tidur dengan Ayah. Kita akan main cerita-ceritaan sebentar, setelah itu baru tidur. Oke, Boss?” “Oke!” Alana tak tahan untuk mengembangkan senyumnya. Netranya menatap lurus pada tubuh Danu yang menggendong Rehan kemudian mereka menghilang di balik pintu kamar Rehan. “Ada-ada saja tingkah mereka,” gumam Alana sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Danu itu memang terlalu baik pada kita. Tapi tidak usah mencegahnya, Alana. Semua itu bentuk dari kasih sayang Danu untuk Rehan,” ujar Winarti yang muncul dari kamarnya dan mendekati Alana. “Tapi aku merasa tidak enak dengan Danu, Bu,” keluh Alana menunduk. “Kalau kamu merasa tidak enak hati, cobalah buka hatimu untuk dia,” ucapan Winarti seketika membuat Alana mengangkat kepala dan tercenung menatapnya. “Apa, Bu?” Winarti tersenyum, kemudian mengibaskan tangan di udara. “Ah, sudahlah. Ibu hanya bercanda. Sudah sana kamu mandi. Badanmu bau keringat, Alana!” kelakar Winarti mengacak pelan rambut Alana yang masih terkejut. Setelah Winarti berlalu kembali ke dalam kamarnya, Alana hanya bisa tersenyum hambar. “Membuka hati untuk Danu? Aku ragu kalau aku bisa melakukannya, Bu,” ucap Alana seraya mendesah pelan. *** Di pukul dua pagi seperti ini, bukankah sudah seharusnya orang-orang sudah tertidur dan sibuk menyelami alam mimpi? Tetapi hal itu tidak terjadi pada Andra. Alih-alih menyembunyikan tubuhnya di balik selimut dan berbaring di atas ranjangnya yang nyaman. Andra justru memilih menyibukan dirinya dengan duduk di minibar yang berada di rumahnya. Tangan kanannya mencekik botol minuman yang entah sudah keberapa saat ini. “Alana..” desahnya sedikit menggeram. Matanya sudah memerah, menyilatkan sebuah amarah dan api cemburu yang terasa membakar di dadanya. “Kenapa kamu harus semurahan itu? Apa kamu saking memuja uang dan uang, hingga kamu memilih menjadi seorang w************n? Eh? Sungguh menjijikan!” Andra berdecih lalu kembali meneguk minuman yang ia pegang. Kepalanya mendongkak hingga minuman itu benar-benar tandas dari botolnya. “Aaargghh!” PRANG! Dengan buncahan kekesalan yang mendera hati dan pikirannya, Andra melempar botol bekasnya ke lantai penuh emosi. Andra masih merasa kesal dengan kejadian di kantornya tadi. Dimana Alana tertangkap matanya sedang menelpon seseorang dengan begitu mesra. Hati Andra bertanya-tanya, tentang siapa kiranya lelaki yang berbicara dengan Alana lewat telpon? “Apa yang menelpon Alana tadi adalah pacarnya? Atau suaminya? Ah, tidak mungkin. Rasanya aku tidak percaya jika Alana sudah bersuami lagi. Lalu siapa yang Alana panggil dengan sebutan sayang itu? Atau jangan-jangan.. seorang lelaki hidung belang yang selalu menanti Alana pulang kerja?” gumam Andra dengan benak yang terus berkecamuk. “Arrghh! Sial! Kenapa aku jadi terus memikirkannya? Kenapa aku tidak suka mendengar Alana semesra itu dengan lelaki lain? Kenapa? Dulu kata sayang dan cinta yang keluar dari bibir Alana pasti selalu tertuju padaku. Tapi sekarang, entah pada berapa puluh lelaki Alana mengumbar kata sayangnya? Dia benar-benar sudah berubah menjadi sangat murahan! Dan seharusnya aku membencinya!” kecam Andra dengan rahang yang mengeras. Tangan kanan Andra sudah mengepal di atas meja minibar. Saking kuatnya kepalan tangannya, buku jari-jarinya pun berubah memutih. Andra bersiap meraih satu botol lagi, ia tak peduli malam ini akan membuatnya—mabuk. Yang penting, ia bisa menumpahkan segala kekesalannya. “Tidak! Aku tidak mungkin cemburu! Seorang Andra sudah tidak akan pernah lagi mencintai wanita seperti Alana! Apalagi jika harus merasa cemburu pada wanita itu! Tidak! Niatku justru aku lah yang seharusnya membuat Alana cemburu padaku. Kemudian wanita itu mengemis-ngemis meminta maaf dan menyesali perbuatannya yang telah meninggalkanku di masa lalu.” Andra berkata dengan menegaskan dirinya sendiri. Ya. Sayangnya yang tidak Andra tahu. Jika selamanya dendam akan selalu kalah jika bermain dengan hati. Bagaimana Andra bisa menuntaskan dendamnya, di saat hatinya masih memiliki ruang yang merindu pada Alana? Sayangnya, tanpa mengetahui Andra tengah tersiksa, esoknya Danu justru menyempatkan mengantar Alana berangkat ke kantor sebelum kembali ke Jogja. “Wah. Tempat kerjamu bagus sekali, Alana. Sungguh hebat Mama Rehan bisa bekerja di perusahaan sebesar ini. Aku sangat bangga padamu,” tutur Danu. “Ah. Jangan terlalu menyanjungku, Danu! Kamu sendiri juga sangat hebat. Menjadi dokter di salah satu rumah sakit terbaik di Jogja. Aku juga bangga padamu.” Mendengar ucapan Alana membuat Danu tersenyum jumawa. “Terimakasih atas sanjungannya, Mama Rehan yang sangat cantik!” Alana mengibaskan tangan di udara. “Sudah. Jangan menggodaku terus! Kamu harus segera pulang dan aku akan masuk ke dalam kantor.” “Sampai jumpa, Mama Alana!” Danu melambaikan tangannya saat Alana sudah berdiri di pinggir mobil. Alana terkekeh membalas lambaian Danu melalui kaca mobil yang terbuka. Hingga mobil itu kembali melaju, untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja. Tanpa Alana sadari, mobil hitam milik Andra berada tak jauh di belakang mobil Danu yang telah menghilang. Andra menghunuskan tatapannya kearah Alana yang tersenyum menatap mobil Danu, tak lama kemudian kaki Alana melangkah pergi untuk masuk ke dalam kantor. Sementara Andra mendengkus lalu menyunggingkan senyum kecut. Pikirannya liar ke mana-mana membayangkan Danu adalah mangsa baru Alana yang mungkin sudah menghabiskan malam yang panas setelah bermesraan lewat telpon. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa murah harga dirimu, Alana! Aku jadi penasaran!” gumam Andra menahan emosi, "apakah kamu juga mau melayaniku?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN