"Huftt.. Jika aku lembur sampai jam dua belas malam, lalu bagaimana dengan Rehan? Dia pasti tak akan bisa tidur dan akan terus menungguku pulang." Alana mendesah lemah.
Sembari jemarinya berkutat dengan keyboard di hadapannya. Tetapi benak Alana melayang memikirkan Rehan. Semoga saja anak semata wayangnya itu tidak akan menanti kepulangannya malam ini.
Alana kembali memusatkan pikirannya pada setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.
Hingga tanpa terasa, waktu terus bergulir dan jarum jam terus berputar.
Alana menghela melirik kearah jam yang menempel di dinding kantor.
"Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Setengah jam lagi pukul sepuluh malam, sebentar lagi aku harus mengantarkan kopi ke ruangan Andra," gumam Alana sembari melakukakan sedikit peregangan pada pinggang-pinggangnya yang malam ini terasa diremukkan.
Setelah itu, tangan Alana kembali sibuk berjibaku dengan kertas-kertas dan komputer.
Hingga suara ponselnya yang berdering, membuat Alana menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Rehan.." pekik Alana melihat nama yang muncuk di layar ponselnya adalah nama Ibu Winarti.
Sudah pasti bukan ibunya yang menelpon. Karena Winarti biasanya hanya akan mengirim pesan pada Alana. Alana hendak mematikan, tapi ia tak tega. Rehan pasti akan bertanya kenapa ia belum pulang.
"Hallo.."
'Hallo, Ma. Mama masih di jalan, ya? Kok belum sampai rumah?' celoteh Rehan dengan segera.
Alana menelan ludahnya. Dugaannya benar. Rehan memang sudah menunggunya pulang.
"Rehan. Maaf, Sayang. Mama sedang banyak sekali pekerjaan malam ini. Dan Mama harus lembur. Rehan jangan tunggu Mama ya. Rehan tidur saja bersama dengan nenek. Gak apa-apa 'kan sayang, ya?"
Terdengar suara Rehan menarik napas panjang di seberang sana. Alana tahu jika anaknya itu pasti keberatan.
'Ya sudah. Tapi Mama harus jaga diri di sana, ya. Mama jangan terlalu capek. Rehan sayang Mama.'
"Iya, sayang."
'I love you, Ma!'
"I love you too, sayang!" balas Alana sambil menyunggingkan senyum lembut, kemudian menutup sambungan telponnya.
Akhirnya masalah Rehan sudah beres! Sekarang Alana bisa kembali bekerja tanpa merisaukan anak lelakinya.
"Bisakah kamu mematikan telpon saat sedang bekerja?!" Alana terperanjat mendengar suara seseorang yang terdengar begitu dekat.
"Pak Andra!" pekik Alana terkejut. Lalu menggigit bibir saat melihat ternyata Andra sudah berdiri tegap di samping mejanya. Dan, mata elangnya menghunuskan tatapan tajam pada Alana.
'Sejak kapan Andra berdiri di situ?' ringis Alana dalam hati.
Andra pasti melihatnya sedang mengangkat telpon. Alana tidak takut Andra marah karena ia mengangkat telpon di jam kerja. Tapi Alana takut jika Andra mendengar percakapannya dengan Rehan. Alana selalu memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Mama bila sedang berbicara dengan anaknya itu.
"Aku tahu, mungkin bagimu orang yang kamu telpon itu sangat penting. Tapi bagiku, pekerjaanmu adalah yang lebih penting dari segalanya, Alana. Jika ingin bermesraan lewat telpon, tunggu saja setelah jam kerjamu habis! Jangan korupsi waktuku yang penting! Aku tidak mau rugi memberimu uang lembur jika kamu tidak becus dalam bekerja!" kata Andra dengan tegas.
Rahangnya tampak merapat dan matanya memerah menatap Alana.
Sepertinya Andra sangat geram kali ini.
Dan Alana hanya bisa menunduk sembari mengangguk pelan.
"Baik, Pak Andra. Aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi," kata Alana mencicit.
Andra hanya mendengkus masam. Lalu berdecak sembari membalikan badannya. Kakinya melangkah pergi untuk kembali masuk ke dalam ruang kerjanya.
BRAK!
Alana memejamkan mata mendengar suara pintu yang berdebum kuat. Andra membantingnya tak tanggung-tanggung.
Tapi Alana justru mendesah lega dalam hatinya.
"Hhh.. Untung saja. Berarti tadi Andra mengira kalau aku sedang menelpon dengan laki-laki lain. Tidak apa. Setidaknya itu lebih baik," gumam Alana.
Ya. Memang benar.
Andra tadi keluar saat ia melihat di kamera CCTV, Alana sedang mengangkat telpon sembari tersenyum-senyum.
Tentu saja hal itu memantik rasa penasaran Andra, tentang dengan siapa Alana mengobrol.
Namun saat keluar dari ruangannya, telinga Andra justru mendengar Alana mengucapkan kata sayang dan i love you dengan sangat mesra pada orang yang menelponnya itu.
Hingga akhirnya Andra geram setengah mati, dan tak tahan untuk menghardik Alana. Sebab tak diragukan lagi, hatinya sedang diliputi oleh rasa cemburu.
"Siapa laki-laki itu? Siapa orang yang Alana panggil dengan kata sayang lewat telpon? Kenapa aku tidak suka mendengarnya?" kesal Andra mengepalkan tangan di ruang kerjanya.
***
“Sekali lagi terimakasih banyak ya, Vir. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana selain meminta bantuanmu.” Alana turun dari motor Virny. Ia mengucapkan terimakasih sembari memberikan helm di tangannya pada sahabatnya itu.
“Santai saja, Al. Kita itu ‘kan sahabatan. Jangan pernah sungkan sama aku. Aku tidak mungkin tega membiarkan sahabatku berdiri di pinggir jalan, jam dua belas malam lagi, Al. Untung kamu tidak dikira tante kunti yang sering berkeliaran di jam horror. Haha,” kelakar Virny berseloroh.
Alana juga ikut terkekeh karenanya.
Setelah itu, Virny pamit pulang. Karena Virny tidak tinggal satu gang dengan Alana. Tapi jarak rumah sewa mereka tak terlalu jauh.
Kini kaki Alana bergerak memasuki sebuah gang yang menuju ke rumah sewanya. Namun begitu ia tiba di pelataran rumah, kening Alana bertaut bingung mendengar suara riuh yang samar-samar menggelitik di telinganya.
“Suara tawa siapa itu? Sepertinya suara Rehan. Tapi.. apa Rehan belum tidur?”
Dengan cepat Alana bergerak masuk. Pintu rumah sengaja belum dikunci karena Alana memang belum pulang.
“Mama!” seru Rehan melompat senang dari kursi. Lalu berlari memeluk Alana.
Sementara bola mata Alana melebar. Bukan karena melihat Rehan yang belum tidur, melainkan Alana terkejut saat melihat sosok pria tampan dengan perawakan tegap yang sepertinya tadi ia habis bermain dengan Rehan.
Bagaimana bisa pria itu di sini?