"Enggak usah aneh-aneh, deh, mikirnya. Aku cuma bikin komitmen gitu sama Om Lucky," ujar Mika, kedua sahabatnya hanya melongo sambil mendengarkan Mika bercerita.
"Jadi cuma komitmen pertukaran antara belajar dan bekal?" tanya Ica memastikan, Mika mengangguk cepat.
"Kita kira kamu bikin komitmen untuk memulai sebuah hubungan yang lebih serius," sambung Siska, Mika mengerutkan keningnya mendengar ucapannya.
"Maksudnya?" tanya Mika sambil membuka kedua tangan sejajar dengan bahu, meledek kedua sahabatnya yang telah salah mengira.
"Tapi, Mik, kamu yakin bisa deket-deket sama Om Lucky tanpa meleleh? Secara Om Lucky, 'kan, ganteng," kata Ica, Siska mengangguk mengiyakan.
"Hem ... selain ganteng Om Lucky juga baik banget, sih, dia juga care sama aku," kata Mika menambahi.
"Nah. Tuh, 'kan. Kamu udah mengakui!" Siska menjentikkan jarinya di depan wajah Mika.
"Ya cuma mengakui kalau Om Lucky ganteng. Semua orang yang punya mata dan bisa melihat juga tau, tapi bukan berarti aku harus jatuh cinta sama dia, 'kan," jawab Mika sambil mengunyah makanan ringan yang baru di belinya perutnya tidak begitu lapar hingga ia hanya memakan makanan ringan untuk makan siangnya.
"Tapi, Mik, kalau aku pikir-pikir enggak ada salahnya juga, sih, kamu jatuh cinta sama Om Lucky, kalian kan bukan saudara. Cuma karena kakek kamu ngasuh dia aja, 'kan, dia bisa jadi Om kamu," ujar Ica, Siska yang sedang menyuap makanan mengangguk setuju.
"Males berurusan sama Mama Papa, aku, tuh. Belum tentu mereka setuju," jawab Mika ringan.
"Mikirnya jangan kejauhan, deh, siapa juga yang nyuruh kamu nikah. Pacaran aja kali, Mik. Enggak harus nikah, kita masih muda, masih jauh yang begituan," sahut Siska.
"Ya aku masih muda, Om Lucky?" Siska dan Ica saling berpandangan.
"Iya juga, ya." Ketiganya terkekeh bersama.
Sementara di tempatnya Arga juga terkekeh geli mendengar apa yang Lucky ceritakan.
"Jadi Lu bikin komitmen itu sama Mika?" Lucky mengangguk, sambil menikmati makanan yang Mika buat untuknya.
"Ya emang Lu pikir apa?" tanya Lucky seraya mengunyah makanan yang baru pertama kali dia rasakan.
"Gue pikir Elu ngajak dia pacaran," jawab Arga sambil tertawa.
"Lu, tuh, ya. dari kemarin itu terus yang diomongin, enggak bosen?" tanya Lucky pada lelaki yang duduk di hadapannya, mereka berada di pantry sekarang. Lucky sengaja memakan bekalnya di sana agar bisa lebih dekat mengambil minum lalu mencuci kotak bekal yang telah kosong nanti.
"Luck, Lu punya foto Mika?" tanya Arga sambil mengaduk mie instan kuah rasa soto yang masih mengepulkan asap.
"Punya, kenapa?" Lucky teringat pada foto yang semalam ia ambil dari status Mika.
"Liat, dong," pinta Arga sebelum menyuap makanannya.
"Buat apa?" tanya Lucky lagi, ia terlihat begitu menikmati bekal yang Mika berikan.
"Gue pengen liat cewek kayak apa Mika, sampe-sampe Elu susah banget buat membuka hati," jawab Arga, lelaki itu laku fokus pada mie yang sedang disantapnya.
"Membuka hati? Enggak semestinya gue membuka hati buat dia, Ga. Enggak semestinya gue dan dia memiliki sebuah hubungan," jawab Lucky lagi-lagi berusaha memberi Arga pengertian agar tidak terus berpikir demikian.
"Udah buruan gue liat fotonya!" Arga sama sekali tidak mempedulikan ucapan Lucky.
Sambil berdecak kesal Lucky mengambil ponsel dari saku kemejanya lalu membuka galeri dan mencari foto Mika.
"Nih!" seru Lucky seraya menunjukkan foto Mika padanya.
Arga mendadak terbatuk-batuk karena tersedak kuah mie instan yang sedang diseruputnya melihat foto Mika yang sedang bergelayut di bahu Lucky.
"Biasa aja, dong!" sembur Lucky sambil mengulurkan air putih untuk Arga, lelaki itu langsung meminum habis air itu sementara Lucky melanjutkan makannya.
"Kalau Elu sampe enggak jatuh cinta sama cewek secantik itu, gue jadi makin ragu kalo Elu masih normal, Luck!" kata Arga setelah menaruh gelas kosong di hadapannya, Lucky hanya mendelik mendengarnya.
Lucky sebenarnya tahu jika sang sahabat hanya khawatir pada dirinya yang belum kunjung memiliki pasangan, bahkan tidak pernah bisa dekat dengan seorang wanita sejak kisah cintanya kandas saat itu. Sehingga berkali kali Arga mendorong agar Lucky menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, setiap kali mengetahui Lucky sedikit saja dekat dengan seorang wanita maka Arga akan selalu berusaha mencomblanginya.
"Tapi kalo gue liat, dia udah nyaman banget sama Elu, Bro. Liat aja, tuh, fotonya aja nempel gitu," sambung Arga.
"Elu aja yang terlalu over thinking, biasa aja gitu!" jawab Lucky sambil menatap Arga, lelaki itu menggeleng geleng.
"Emang dia biasa gitu, ke semua temennya? Temen cowok juga?" tanya Arga, Lucky sejenak terdiam teringat saat Mika dan teman-temannya mengerjakan tugas kelompok di rumahnya dan Mika bisa menjaga jarak dengan teman lawan jenis, juga dari apa yang Mika ceritakan semalam membuat Lucky yakin jika Mika tidak seperti yang Arga tanyakan.
"Enggak, dia gadis yang bisa menjaga diri," jawab Lucky sebelum menyuap makanannya, makanan yang dia akui dalam hati memiliki rasa yang enak.
"Nah, berarti dia memang merasa nyaman sama Elu," sahut Arga, mie yang dia makan masih tersisa separuh dalam mangkuknya.
"Ya itu karena dia nganggap gue Om-nya. Udah, deh, berhenti mikir yang enggak-enggak!" pinta Lucky, Arga hanya berdecak kesal.
"Luck—."
Arga tidak melanjutkan perkataannya saat Lucky mengangkat tangan tanda memintanya untuk diam saat ponselnya berdering.
"Mika video call, diem, ya! Awas Lu ikut nongol atau ngomong macem-macem!" ancam Lucky sambil mengambil ponselnya, Arga hanya mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.
"Ya, Mika. Ada apa?" tanya Lucky begitu wajah Mika terlihat di layar ponselnya, gadis itu tersenyum lebar tampak jika ia sedang berjalan melewati koridor sekolah dengan keadaan yang begitu ramai dengan suara teman-temannya.
"Cuma mau mastiin kalo Om Lucky makan bekal yang Mika bikinin, enggak dimakan sama pacar Om Lucky lagi," jawab Mika sambil tertawa, Lucky melirik Arga dengan kesal. Lelaki itu malah ikut menertawakannya.
"Udah Om bilang yang makan temen Om, dia cowok, bukan pacar Om," jawab Lucky, Mika kembali tertawa.
"Iya, Mika percaya. Om udah makan?" tanya Mika, Arga yang mendengarnya hanya mencibirkan bibir.
"Udah, ini udah hampir habis." Lucky mengarahkan kamera ponselnya ke meja di mana makanan yang Mika buat sudah hampir habis.
"Enak?" tanya Mika antusias.
"Hem ... enak. Besok Om mau bekalnya rendang daging, ya," pinta Lucky, Arga hanya diam menyandarkan tubuhnya di kursi yang ia duduki, mie instan yang dia makan sudah tandas tetapi dirinya masih betah di sana untuk menyaksikan bagaimana ekspresi wajah Lucky saat berbincang bincang dengan Mika.
"Ih, Om Lucky, aku mana bisa masak itu. Nanti aku minta Mbak Kus aja yang masak," jawab Mika, Lucky tertawa mendengarnya.
"Kalau begitu yang Om ajak belajar Mbak Kus aja," jawab Lucky yang tidak menyadari kalau Arga sudah mengambil ponsel lalu merekamnya.
"Lah, 'kan, Mbak Kus udah lulus sekolahnya. Yang masih butuh bimbel, 'kan, Mika," protes Mika lagi, Lucky semakin tertawa geli.
"Ya udah kalo begitu masak apa aja yang Mika bisa," jawab Lucky, sambil tersenyum manis.
"Mika paling jago masak air, kalo gitu Om Lucky bekalnya teh manis aja, ya," jawab Mika, Lucky menatapnya dengan pandangan protes.
"Om Lucky bisa diabetes kalo cuma minum teh manis, Mika!" Mika kembali tertawa, kedua gadis yang berjalan di sebelahnya juga ikut tertawa kecil.
"Om Lucky enggak perlu minum teh manis terus juga bisa diabetes, makanya jangan suka ngeliatin muka Mika terus! 'Kan, Mika manisnya berlebihan," jawab Mika, Lucky tertawa renyah begitu juga Arga yang serius mendengarkan.
"Udah, udah. Om Lucky mau lanjut makan, deh. Sebentar lagi mau kerja," pungkas Lucky yang merasa jika meneruskan pembicaraan itu pipinya terasa keram karena tersenyum tiada henti.
"Ya udah, Mika juga mau belajar lagi. Bye Om Lucky," jawab Mika.
"Bye Om ganteng." Suara Ica dan Siska terdengar sebelum panggilan itu berakhir, Lucky masih saja tertawa seraya memasukkan ponsel ke dalam saku kemejanya lalu melanjutkan makannya.
"Kenapa, Lu?" tanya Lucky pada Arga yang sedang tertawa kecil sambil menatapnya.
"Gue seneng, akhirnya bisa ngeliat Lucky yang mulai bahagia," jawab Arga serius lalu bangun dari kursinya, menepuk pelan bahu Lucky yang sedang meminum air putihnya lalu meninggalkan lelaki itu sendiri.
"Kesambet apa, sih, tuh bocah?"
* Dita Andriyani *
"Mika mana, Mbak?" tanya Lucky pada Mbak Kus yang sedang menyiangi sayuran di dapur, lelaki itu memang langsung ke dapur untuk menaruh kotak bekal yang sudah kosong, ia sempat melirik kamar Mika yang terbuka dan gadis itu tidak ada di sana.
"Cie yang pulang kerja langsung nanyain aku, kangen, ya?" tanya Mika, Lucky agak terkejut karena Mika tiba-tiba keluar dari pintu belakang dapur.
"Kamu ngapain di situ?" tanya Lucky pada gadis yang terlihat manis dengan rambut dikuncir kuda dengan pita besar berwarna merah menghiasi.
"Tadinya lagi ngeliatin Mbak Kus masak, terus ada Om Lucky dateng aku sengaja ngumpet," jawab Mika.
"Kenapa Mbak Kus diliatin? Emang Mbak Kus tivi diliatin," kata Lucky, Mbak Kus tertawa mendengarnya.
"Aku lagi belajar masak, tau, Om. Biar Om Lucky enggak bosen makan omelette terus," jawab Mika, Lucky hanya diam ternyata gadis itu bersungguh sungguh dengan komitmennya, padahal Lucky saja tidak serius memintanya memasak setiap hari.
"Ya udah, semangat!" ujar Lucky sambil menekuk lengannya laku meninggalkan dapur, ia biarkan Mika tetap di sana, ia tidak ingin mematahkan semangatnya.
Lucky menutup pintu kamarnya lalu duduk di tepi ranjang sambil membuka satu persatu kancing kemejanya, lalu setelah kemeja itu tertanggal tanpa sengaja ia melihat pulpen yang tergeletak di atas nakas. Sambil tersenyum lelaki itu mengambilnya lalu membaca nama yang terukir di sana.
Sejak sekolah dasar Lucky sudah tahu jika M-i-k-a berbunyi Mika tetapi entah mengapa kini lelaki itu berulang kali mengeja nama itu dan merasakan ada yang lain setiap mulutnya mengucap nama itu.
Pandangannya dari pulpen tersebut baru teralih saat mendengar ponsel yang ada di dalam tasnya berbunyi, tanpa menaruh pulpen yang ia pegang Lucky mengambil ponselnya. Keningnya sedikit mengerut saat mengetahui Arga mengirim sebuah video, dalam hatinya menebak jika itu hanyalah Video komedi seperti yang biasa Arga kirim tetapi saat ia mengunduhnya Lucky terkejut melihat wajahnya.
Lucky menonton video yang diam-diam Arga ambil, video yang memperlihatkan dirinya yang tengah tertawa lepas dan terlihat begitu bahagia saat berbicara dengan Mika.
Lucky berencana menuliskan kata-kata protes pada sang sahabat yang sudah mencuri videonya tetapi sebelum hal itu dia lakukan sebuah pesan Arga kirimkan.
[Gue seneng, akhirnya bisa ngeliat Elu happy begini. Semoga Elu bisa segera sadar dan mencari kebahagiaan itu.]
Lucky meraup wajahnya dengan kasar setelah melempar asal ponselnya ke atas ranjang, lalu meletakkan pulpen Mika di atas nakas, Lucky merasakan jika dirinya benar-benar perlu mandi sekarang agar otaknya menjadi jernih dari semua pengaruh Arga yang sudah mulai ia benarkan.
* Dita Andriyani *
Seperti yang sudah disepakati sebelumnya, usai menyantap makan malam adalah jadwal Lucky menjadi mentor belajar Mika. Mereka berdua duduk di atas karpet tebal dengan buku yang berserakan di atas meja. Satu mata pelajaran dalam satu sesi belajar, dan sudah sekitar saku jam mereka melakukannya.
Keduanya melakukan hal yang sama, diam-diam melirik wajah seseorang yang duduk di sebelahnya saat orang tersebut sedang fokus pada buku. Desiran-desiran aneh itu juga diam-diam mulai terasa sama di dalam hati keduanya tanpa mereka sadari rasa apa itu.
Entah mengapa tiba-tiba Mika teringat pembicaraannya dengan Ica dan Siska saat mereka di kantin tadi siang, hingga ia menanyakan sesuatu pada lelaki yang duduk dengan jarak yang hanya berkisar lima puluh sentimeter darinya.
"Om, umur Om Lucky sekarang berapa?" tanya Mika, Lucky yang semula sedang menuliskan sebuah soal untuknya menoleh agar bisa menatap wajah Mika yang sedang menatapnya.
"Kenapa?" tanya Lucky dengan kedua alis yang nyaris bertautan.
"Pengen tau aja," jawab Mika yang lalu menggigit bibir bawahnya takut jika Lucky memarahinya.
"Sebentar lagi tiga puluh tahun," jawab Lucky ringan, wajah Mika sedikit berbinar.
"Kalau sekarang umur Om Lucky tiga puluh tahun terus umur aku delapan belas tahun, nanti kalau aku udah umur dua puluh lima tahun Om Lucky umur berapa?" tanya Mika lagi, mendengarnya Lucky semakin tidak mengerti.
"Kita tidak sedang belajar matematika, Mika," jawab Lucky yang merasa jika apa yang Mika tanyakan tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka pelajari.
"Ah, Om Lucky, belajarnya enggak perlu terlalu keras, kasian otak aku nanti terlalu tertekan," protes Mika yang lalu mengunakan jemari seolah sedang menggunakan sempoa untuk menghitung perbedaan usianya dan usia Lucky.
"Tiga puluh tujuh," gumam Mika setelah menemukan jawaban dari perhitungannya.
"Ngitung apa, kamu?" tanya Lucky.
"Kalau aku umur dua puluh lima tahun, Om Lucky umur tiga puluh tujuh. Om Lucky sudah setua apa umur tiga puluh tujuh tahun?" Mendengar pertanyaan Mika, Lucky semakin mengerutkan keningnya.
"Ya ... masih utuh seperti ini, mungkin tumbuh uban sedikit, atau perutnya lebih buncit sedikit," jawab Lucky asal, dia tidak tahu apa alasan Mika menanyakan hal itu.
"Ih ... masa iya udah setua itu!" jawab Mika sambil tertawa, lalu menggelengkan kepala membayangkan penampilan Lucky saat mereka menikah setelah dirinya berusia dua puluh lima tahun.
"Lagian kamu tanyanya aneh-aneh aja," ujar Lucky tanpa tahu apa yang sedang mika bayangkan.
"Om, kenapa Om Lucky belum menikah? Om, 'kan, ganteng, baik, mapan. Pasti banyak cewek-cewek yang naksir dan siap jadi istri Om." Nada bicara Mika berubah menjadi serius.
"Ya ... mungkin Tuhan belum mempertemukan Om dengan jodoh Om," jawab Lucky asal, ia sendiri selalu tidak punya jawaban setiap kali ada yang menanyakannya, karena memang pernyataan seperti itu sering kali terlontar untuknya.
"Kalau ternyata jodoh untuk Om udah dekat tapi masih perlu waktu untuk menunggunya gimana?" tanya Mika lagi.
"Maksudnya?" Lucky tidak mengerti maksud perkataan Mika hingga kini lelaki itu semakin menatap Mika dengan serius. "Dekat tapi harus menunggu?"
"Iya, sekarang kita udah deket tapi Om masih perlu nunggu aku selesai kuliah dulu. Gimana kalau ternyata jodoh Om Lucky itu aku?"
Lucky hanya tercengang, seketika lelaki itu kesulitan walau hanya untuk menelan saliva.