Ada maling

2117 Kata
"Itu enggak mungkin Mika," jawab Lucky sambil tertawa kecil.  "Kenapa enggak mungkin, katanya jodoh di tangan Tuhan. Kalau Tuhan memang jodohin Om Lucky sama aku gimana? Emang Om Lucky bisa nolak?" Lucky hanya diam, otaknya berpikir keras untuk memberi Mika jawaban yang pas.  "Ya, iya, sih. Kalau udah ngomongin kehendak Tuhan kita enggak bisa apa-apa, Tapi rasanya ala yang kamu omongin itu kayaknya enggak mungkin banget, Mika," gumam Lucky lalu menatap Mika yang memasang wajah datar.  "Kapan terakhir Om Lucky pacaran?" tanya Mika sambil memperhatikan tangan Lucky yang dengan cekatan menulis beberapa pertanyaan.  "Hem ... empat atau lima tahun yang lalu," jawab Lucky ringan.  "Hah? Lama banget?" Lucky bahkan sampai terjingkat karena ucapan Mika, gadis itu tidak sengaja mengejutkan Lucky itu adalah ekspresi keterkejutannya.  "Selama ngejomblo, Om Lucky emang enggak pernah suka sama cewek lain? Atau suka tapi ditolak?" Tiba-tiba Mika berubah menjadi seperti seorang wartawan yang sedang mewawancarai seorang selebritis.  "Hem ...." Lucky sedikit mengingat-ingat. "Kayaknya belum pernah ada cewek yang bikin Om Lucky jatuh cinta lagi."  "Wah, jangan-jangan hati Om Lucky udah karatan jadi enggak berfungsi lagi," ujar Mika dengan tatapan prihatin.  "Kok, lama-lama kamu jadi mirip Arga, sih!" jawab Lucky spontan.  "Om Lucky udah lama temenan sama Om Arga itu?" tanya Mika penuh selidik.  "Kami bahkan kuliah bareng, lalu kebetulan kerja bareng," jawab Lucky, Mika mengangguk anggukan kepala seperti seorang yang sedang berusaha memecahkan sebuah masalah. "Coba Om Lucky pikir, kalau Om Arga yang udah lama deket sama Om Lucky dan aku yang baru aja deket sama Om Lucky mengatakan hal yang hampir sama, berarti memang itu kenyataannya," ujar Mika, Lucky mengernyit tidak mengerti.  "Kamu sendiri, sejak putus sama pacar kamu. Pernah naksir cowok lain?" Lucky berubah membalikkan pembicaraan  "Pernah," jawab Mika cepat.  "Siapa?" tanya Lucky, entah mengapa ia begitu ingin tahu siapa pemuda yang Mika taksir dan entah mengapa pula tiba-tiba dirinya merasa tidak aman.  "Idol Korea," jawab Mika ringan, Lucky tersenyum geli sambil menepuk keningnya, tiba-tiba rasa tidak aman itu menguap tidak terasa.  "Kok, malah ketawa. Enggak salah, 'kan?" kata Mika melihat senyum lelaki di hadapannya.  "Enggak salah, Mika. Mengidolakan publik figur memang enggak ada salahnya, tapi bukan itu yang Om Lucky maksud. Kamu pernah naksir cowok di dunia nyata kamu apa enggak," terang Lucky lembut, Mika tersenyum mendengarnya.  "Iya, aku tau. Kalau naksir, sih, kayaknya enggak pernah, tapi kalau ngerasa nyaman banget sama seorang cowok pernah," jawab Mika, Lucky menghembuskan napas sepelan mungkin berusaha agar rasa tidak aman yang tadi tiba-tiba terasa lalu menghilang lalu kini terasa lagi bisa menghilang lagi.  "Siapa? Teman sekolah kamu?" tanya Lucky, Mika menggeleng.  "Om Lucky," jawab Mika cepat sambil menatap lelaki itu.  Lucky hanya diam, rasa tidak aman itu memang menghilang tetapi berubah dengan sebuah rasa yang begitu sulit digambarkan.  Lelaki tampan itu hanya tersenyum, merasa wajar jika Mika merasa nyaman bersamanya. Karena memang begitu, Lucky lah yang menjaganya saat kedua orang tuanya tidak ada maka sudah seharusnya Mika merasa nyaman di dekatnya.  "Gimana? Udah ketemu jawabannya?" tanya Lucky mengalihkan pembicaraan, Mika langsung mengerjakan soal yang Lucky berikan, lelaki itu membenarkan dan memberi contoh beberapa hal yang belum Mika pahami hingga mereka berdua kembali terlarut dalam kegiatan awal. Belajar.  Belajar memahami pelajaran sekolah tanpa mereka sadari jika hati mereka juga sedang belajar untuk saling memahami, menerima kehadiran masing-masing lalu belajar untuk saling mencintai.  Bukankah sebuah hal yang paling besar kemungkinannya untuk menumbuhkan cinta adalah perasaan nyaman?  "Terima kasih ya, Om, udah ngajarin Mika. Om udah bilang Mama kalau Om yang jadi guru private Mika?" tanya Mika sambil merapikan buku-bukunya.  "Belum, emang Om harus bilang," jawab Lucky yang sudah duduk di atas sofa yang ada di belakang Mika, dari sana Lucky memperhatikan setiap gerakan Mika yang cekatan menumpuk beberapa buku di atas meja. Setelah semuanya rapi gadis itu duduk di sebelahnya.  "Ya harus, dong, Om. Biar nanti Mama bayar jasa Om Lucky," jawab Mika, Lucky malah menatap aneh pada gadis itu.  "Buat apa, Om enggak melakukannya demi bayaran," jawab Lucky santai. "Lagi pula kita sudah membuat kesempatan bukan? Itu sudah cukup."  "Eh, Om Lucky, 'kan, itu beda. Kalau Om Lucky dapet bayaran dari Mama, 'kan, bisa buat tambah-tambah," jawab Mika serius, ia menatap Lucky dengan wajah berbinar-binar.  "Tambah-tambah apa?" tanya Lucky tidak mengerti.  "Tambah-tambah modal Om Lucky ngelamar aku nanti," jawab Mika serius, Lucky terlihat begitu terkejut dengan wajah yang spontan menegang.  Melihatnya Mika malah tertawa geli, kini menjahili Lucky adalah sebuah hal yang begitu mengasikkan baginya.  "Pikirkan baik-baik, ya, Om," sambung Mika sambil menepuk lengan Lucky yang masih duduk dengan kaku.  Gadis itu masih tertawa kecil, mengambil buku-bukunya lalu masuk ke kamar.  Lucky menghembuskan napas kasar, bahkan tangan kanannya pelan mengusap daada.  "Sepertinya bukan aku yang harus menjaga Mika, tapi aku harus menjaga diriku sendiri dari Mika," gumam Lucky yang lalu ikut beranjak dari sofa dan memasuki kamarnya.  * Dita Andriyani *  Minggu.  Sudah lama sekali rasanya Lucky tidak merasakan malam minggunya seperti tadi malam, tidak bisa tidur karena kembali teringat waktu yang telah ia lalui dengan seorang gadis.  Saat seseorang begitu lekat di hati, setiap waktu yang kita lalui bersamanya pasti akan kembali terbayang saat kita sendirian kadang tanpa sadar membuat waktu tidur kita berkurang. Sialnya hal itu Lucky rasakan tadi malam, parahnya lagi bayangan Mika seolah tidak mau pergi dari kepalanya, Lucky sadar apa yang keluar dari bibir Mika semuanya hanya sebuah canda tapi rasanya canda itu terasa mengguncang ketenangan jiwa.  Lucky ingin sekali mengelak, tetapi sepertinya apa yang Arga katakan semuanya benar dan memang tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengelak, perasaan itulah yang tidak benar. Tidak seharusnya ia menjadi seseorang yang bersikap seperti sebuah pepatah. Pagar makan tanaman.  Lucky melirik jam analog yang ada di atas nakas, pukul lima pagi. Lelaki itu turun dari ranjangnya lalu mengambil pakaian olah raga di dalam lemari, ia ingin lari pagi di sekitar kompleks ada sebuah taman juga di tengah-tengah kompleks itu biasanya jika Minggu pagi taman itu akan ramai.  .  "Mika? Ini 'kan, hari Minggu ngapain dia pagi-pagi di dapur?" gumam Lucky melihat Mika sendirian di dapur, hingga ada sebuah niat jahil tiba-tiba muncul di kepalanya.  Lucky berjalan mengendap-ngendap mendekati Mika lalu memegang bahunya.  "Ah ... maling ... maling ...."  "Aduh ... aduh ... Mika!"  Suara Mika dan Lucky terdengar bersamaan, keduanya sama-sama terpekik dengan gerakan tangan berbeda.  Tangan Mika sibuk memukuli Lucky dengan spatula kayu yang semula sedang ia gunakan untuk mengaduk makanan di dalam wajan sedangkan tangan Lucky sibuk menutupi kepalanya agar tidak terkena pukulan Mika.  "Non Mika, Mas Lucky. Kalian apa-apaan?" pekik Mbak Kus yang baru datang dari belakang dan melihat keributan di dapur.  "Mika, apa-apaan, sih!"  "Om Lucky, apa-apaan, sih!"  Kembali suara Mika dan Lucky terdengar bersamaan, sementara Mbak Kus yang melihatnya menahan tawa.  "Kamu yang apa-apaan mukulin Om Lucky pake itu," ujar Lucky sambil menunjuk Spatula yang berukuran cukup besar yang masih Mika acungkan padanya.  "Om Lucky ngapain ngagetin aku, aku kira Om Lucky maling. Pagi-pagi buta gini ngagetin aku," sembur Mika.  "Sini, Non. Nanti masakannya gosong," ujar Mbak Kus sambil mengambil alih spatula yang Mika pegang lalu mengaduk isi wajan, ia biarkan Mika dan Lucky menyelesaikan kesalahan pahaman mereka.  Mika dan Lucky lalu tertawa bersama menyadari apa yang telah mereka lakukan.  "Aku, lagi ngangetin makanan yang Om Lucky masak. Sayang, 'kan, masih banyak sisa," terang Mika, Lucky hanya diam mendengarkan. "Rencananya mau aku makan sebelum lari pagi, eh, Om Lucky malah ngegetin aku."   Lucky tertawa geli, ia melihat bajunya sedikit kotor karena spatula yang Mika gunakan untuk memukulnya terkena kuah makanan.  "Baju Om Lucky jadi kotor, 'kan," keluh Lucky sambil mengusap-usap bajunya.  "Maaf," jawab Mika dengan wajah penuh rasa bersalahnya.  "Enggak apa-apa, Om ganti baju aja, nanti kita lari pagi bareng, ya." Mika mengangguk.  "Aku juga mau ganti baju." Mika juga memasuki kamarnya.  .  Lucky dan Mika melakukan pemanasan di halaman rumahnya sebelum keluar dan berlari menuju taman kompleks, benar saja taman itu terlihat ramai karena ini hari libur. Mereka memutuskan untuk tidak sarapan terlebih dahulu karena hari sudah menjelang siang.  Lucky menyejajarkan langkahnya dengan Mika yang terlihat begitu segar dengan setelan olah raga berwarna kuning lemon rambutnya ia kuncir tinggi di belakang kepala membuat perasaan aneh semakin menjadi-jadi di dalam hati Lucky.  "Om, kita istirahat dulu, ya," pinta Mika saat melihat ada sebuah bangku kayu di dekat mereka.  "Iya," jawab Lucky lalu membiarkan Mika duduk lebih dulu sementara dirinya membeli air mineral di sebuah rumah makan yang tidak begitu jauh dari tempat itu.  Tidak begitu lama Lucky kembali sambil membawa dua botol air mineral, berikannya satu pada Mika lalu meneguk minuman yang menjadi jatahnya hingga hanya tersisa setengahnya. Mika tidak membuka botolnya tetapi malah meminta sisa air minum Lucky dan meminumnya hingga tandas.  Lucky menatapnya dalam diam.  "Punya kamu masih utuh, kenapa minum sisa Om?" tanya Lucky pada gadis yang tengah mengatur napasnya. "Ini." Mika malah mengembalikan botol yang tadi Lucky berikan padanya, dengan tidak mengerti Lucky menerimanya. "Aku males bawanya, mending minum ini sampe habis terus dibuang botol kosongnya."  Lucky tersenyum saat Mika melempar botol kosong dan tepat masuk tempat sampah yang ada di dekat bangku kayu yang mereka duduki.  "Mika mau sarapan di sana aja?" tawar Lucky melihat rumah makan di hadapan mereka hanya perlu menyebrang jalan komplek untuk ke sana.  "Enggak, 'kan, tadi aku udah bilang sayang masakan Om Lucky yang masih ada," jawab Mika, Lucky mengulum senyum.  "Sama masakannya aja sayang, apalagi sama yang masak," sindir Lucky, kini berganti dirinya yang ingin meledek Mika.  "Om Lucky, ceritanya mau balik ngegombalin aku, nih?" tanya Mika dengan begitu gembira. Ia menatap wajah Lucky dengan senyum lebarnya tetapi detik itu juga senyum itu hilang.  "Om, ini karena aku tadi?" tanya Mika sambil mengulurkan tangannya, ia melihat sebuah luka di pelipis Lucky.  Sebuah luka lecet dan sedikit memar memanjang yang Mika yakin itu karena pukulan spatula kayunya, Mika benar-benar kaget tadi pagi hingga ia mengeluarkan semua tenaganya untuk memukulnya.  "Enggak apa-apa, enggak sakit, kok," jawab Lucky, terang saja tidak sakit karena sekarang tangan Mika berada di kepalanya mengusap-usap pelipis dengan luka dengan ibu jarinya. Jangan lupakan wajah cantik itu yang menatapnya dengan begitu lembut seolah begitu merasa bersalah telah menyakiti Lucky.  Lelaki itu begitu menikmati detik demi detik yang berlalu dan ingin waktu berhenti saat itu.  "Enggak sakit gimana, orang lecet sama memar begini, Mika minta maaf, ya, Om," kata Mika, entah sadar atau tidak tangannya masih berada di kepala Lucky. "Pulang, yuk, aku obatin."  Tanpa berkata apa-apa Lucky mengikuti langkah Mika, mereka berjalan santai menuju rumah Mika yang tidak begitu jauh tetapi cukup membuat kaki lelah.  "Aku bisa menjaga Mika dari dunia luar, tapi aku tidak bisa menjamin bisa menjaga Mika dari diriku sendiri. Ini adalah sebuah hal yang tidak akan pernah aku biarkan, aku tidak akan menjadi sesuatu yang begitu aku takutkan." Lucky bersenandika, ia berjalan selangkah di belakang Mika. "Aku pernah bercanda keterlaluan hingga membuat Yogi terjatuh dan kakinya terkilir, aku juga pernah melihat teman-teman lain terluka jauh lebih parah dari Om Lucky, tapi kenapa rasa beda. Aku begitu tidak rela melihat Om Lucky terluka, apa ini yang dinamakan sayang?" Dalam diam Mika juga mendengarkan hatinya berbicara, langkahnya pasti menuju rumah dengan rasa bersalah yang menyelubungi hati karena telah membuat Lucky tersakiti.  "Kenapa jadi pendiam? Sudah Om Lucky bilang Om Lucky enggak kenapa-kenapa, ini cuma luka kecil dan Om juga tau kamu enggak sengaja. Itu 'kan juga salah Om Lucky udah ngegetin kamu," kata Lucky saat mereka sudah sampai di depan pagar rumah yang mereka tuju karena Mika hanya diam.  "Iya, tapi aku obatin, ya," pinta Mika.  "Ngobatinnya, abis mandi aja, ya. Nanti obatnya malah ilang," jawab Lucky, Mika hanya mengangguk lalu keduanya berpisah menuju kamar masing-masing.  . "Om, Om Lucky pernah enggak ngerasa nyesel banget setelah menyakiti seseorang? Terus ... ngerasa enggak pengen menyakitinya?" Tanya Mika, gadis itu sedang berkonsentrasi mengoleskan salep pada luka di pelipis Lucky.  "Pernah," jawab Lucky ringan.  "Sama siapa?" tanya Mika lagi, sepertinya ia sengaja berlama-lama mengobati luka Lucky padahal mengobati luka kecil begitu tentu saja tidak memerlukan banyak waktu.   "Mama, Kak Celine, Kak Ricky. Ya, keluarga Om Lucky," jawab Lucky sambil menatap wajah Mika, kedua mata mereka bertatapan lekat sekarang karena posisi mereka yang begitu dekat.  "Selain itu?" tanya Mika lirih.  "Hem ... mantan pacar Om Lucky, dulu. Biasanya perasaan seperti itu kita rasakan pada seseorang yang benar-benar kita sayang," jawab Lucky.  "Oh ...." sahut Mika ringan, ia memikirkan apa yang Lucky katakan. Apakah dia benar-benar menyayangi Lucky, karena itulah yang dirinya rasakan sekarang.  Mika diam, sesekali melirik wajah Lucky dengan tangan yang berusaha menutup tube salep yang baru ia gunakan untuk mengobati pelipis Lucky, entah karena merasa gugup atau pengaruh jantungnya yang berdegup tidak wajar, tube salep itu rasanya begitu sulit ditutup.  "Mika, itu sebuah kesalahan. Kamu seharusnya sadar," ujar Lucky sambil menatap wajah dengan begitu serius, sontak apa yang Lucky katakan membuat Mika semakin gugup.  Gadis itu takut jika Lucky telah lebih dulu menyadari perasaannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN