Lucky baru saja bisa lelap dalam tidurnya menjelang pagi, entah mengapa matanya tidak juga bisa terpejam memikirkan Mika.
Antara kesal karena gadis itu seolah sengaja membuatnya kalang kabut mencarinya, juga karena merasa bersalah perihal bekal makan siangnya, setidaknya rasa kesal Lucky sedikit menghilang karena ia tahu Mika merajuk karena perbuatannya.
Merasa tidak dihargai itu tidak enak, Lucky jelas tahu itu tetapi ia juga tidak membenarkan apa yang telah Mika lakukan.
Lelaki itu terbangun karena suara ponsel yang berdering nyaring di atas nakas, kedua matanya melotot seketika melihat siapa yang meneleponnya sepagi itu.
"Bang Daniel!" seru Lucky, ia merasa jika lelaki itu meneleponnya untuk menanyakan tentang putrinya. Harus jawab apa dia nanti.
"Iya, Bang," jawab Lucky sambil bangun dan duduk bersila di tengah ranjang.
"Luck, maaf ganggu pagi-pagi banget. Bisa minta tolong cariin file di meja kerja kamar atas?" Lucky menghembuskan napas lega karena Daniel meneleponnya untuk hal lain, bukan untuk menanyakan tentang putrinya.
"Iya, Bang. Bisa," jawab Lucky mantap, pemuda itu langsung melompat dari atas ranjang dan berjalan keluar kamar.
"Yang map merah, nanti kamu foto setiap lembarnya dan kirim ke nomor Abang, ya," pinta Daniel.
"Iya, Bang, aku cari dulu map-nya nanti aku fotoin," jawab Lucky yang kini setengah berlari menaiki anak tangga menuju ruang kerja Daniel.
.
"Mbak, enggak usah bikin sarapan buat saya, saya mau sarapan di luar," ujar Lucky yang baru saja turun dari lantai atas rumah itu.
"Iya, Mas," jawab Mbak Kus sambil menatap Lucky penuh tanda tanya mengapa lelaki itu pagi-pagi sekali sudah dari lantai atas tetapi tidak berani bertanya hingga yang ia lakukan hanya menatap punggung Lucky hingga menghilang di balik pintu kamarnya.
Tidak begitu lama Lucky sudah keluar dengan pakaian kerjanya, menenteng tas dan keluar lewat pintu samping agar bisa langsung ke garasi untuk mengambil mobilnya.
"Mika biasa pulang sekolah jam berapa, Mas?" tanya Lucky pada Mas Dwi yang sedang mengelap mobil Mika.
"Hari ini pulang cepat Mas, jam dua belas sudah keluar dari gerbang biasanya," jawab Mas Dwi yang sudah hapal betul jadwal masuk dan keluar Mika dari sekolahnya, kecuali jika gadis itu ada kegiatan tambahan maka Mika akan memberitahunya.
"Ya sudah kalau begitu hari ini Mas Dwi enggak perlu jemput Mika. Biar saya yang jemput," ujar Lucky, sambil membuka pintu mobilnya yang sudah dipanaskan oleh Mas Dwi. Itu adalah tugas lelaki yang sudah lima tahun lebih bekerja pada keluarga itu setiap pagi.
"Baik, Mas," jawab Mas Dwi sambil tersenyum, terang saja ia merasa gembira karena bisa bebas tugas hari ini.
Lucky memasuki mobilnya lalu melesat keluar sementara Mas Dwi kembali mengelap mobil Mika, lelaki itu menatap dua mobil lainnya dan berencana mengelap mobil mobil itu agar tidak makan gaji buta hari ini. Mobil Daniel dan Sandra.
.
Lucky duduk di atas kursi plastik berwarna biru tua, ia menikmati lontong sayur lengkap dengan sebutir telur dan ayam suwir dengan kedua mata yang sibuk mengawasi gerbang sekolah menengah atas, pandangannya awas menatap setiap murid yang baru datang. Canda dan tawa mereka membuat siapa saja yang melihatnya ikut merasa bahagia seolah tiada beban hidup di masa muda.
Tatapan Lucky terpaku pada sebuah mobil berwarna merah yang baru saja berhenti di depan gerbang lalu dia orang gadis turun dari dalamnya sambil bercengkrama ceria, Lucky turut tersenyum melihat senyum di wajah salah satu dari gadis itu.
Rupanya benar Mika menginap di rumah Ica, seorang teman yang pernah Mika kenalkan padanya saat beberapa temannya main ke rumah untuk mengerjakan tugas kelompok.
"Berapa, Mbak?" tanya Lucky pada pedagang lontong sayur yang berjualan di depan sekolahan Mika, lelaki itu sengaja datang pagi-pagi ke sekolah itu untuk memastikan jika Mika tidak berbohong dan benar benar menginap di rumah Ica.
Setelah melihat sendiri Mika datang ke sekolah bersama Ica maka Lucky bisa pergi ke kantor dan menjalani pekerjaannya dengan tenang, hingga yang dia lakukan adalah pergi ke kantornya sambil bersenandung kecil sejenak tidak memikirkan kemarahan Mika padanya, kemarahan anak-anak pasti akan cepat berlalu.
* Dita Andriyani *
Mika tersenyum penuh kemenangan saat mengaktifkan ponselnya sebelum jam pelajaran dimulai, ponselnya menampakkan laporan jika Lucky berkali-kali mencoba menelepon dirinya malam tadi, ia yakin jika sudah berhasil membuat lelaki itu mencemaskannya.
"Mik, kamu dikasih sarapan apa sama Ica di rumahnya?" tanya Siska yang baru saja datang dan langsung duduk di sebelah kanan Mika sementara Ica yang duduk di sebelah kiri Mika hanya menatap mereka.
"Kenapa?" tanya Mika tidak mengerti apa maksud pertanyaan yang Siska berikan.
"Ya kamu, pagi pagi udah senyum senyum sendiri. Siapa tau Ica salah kasih kamu sarapan pake serealnya Michi," jawab Siska sambil tertawa, Ica yang mendengarnya langsung mencubit gemas pipi sang sahabat.
"Ya kali, aku ngasih Mika sarapan pake makanan kucing, Sis!" protes Ica, Siska malah makin tertawa terbahak-bahak, sedangkan Mika hanya diam meneruskan senyum senyum sendirinya.
Ica dan Siska saling berpandangan lalu saling menggedikkan dagu setelah menatap Mika, bingung dengan tingkahnya.
"Kamu kenapa, sih, Mik?" tanya Ica.
"Pake nanya kenapa, pasti Mika sayang senyum senyum karena mikirin aku," sambar Yogi tiba tiba, pemuda yang duduk di kursi depan itu ternyata sedari tadi memperhatikan pembicaraan mereka bertiga.
"Idih, gue? Mikirin elu? Amit-amit!" Mika mengetuk ngetuk meja di hadapannya, Yogi hanya nyengir kuda di kursinya pemuda konyol itu memang kadang begitu menyebalkan.
"Ya terus kamu Kenapa?" tanya Siska sambil menatap Mika yang sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas, benda itu tidak lagi dia matikan tetapi dalam mode bisu agar tidak mengganggu pelajaran yang sebentar lagi akan dimulai.
"Aku seneng aja, Om Lucky berusaha telponin aku terus tadi malem, pasti dia kalang kabut nyariin aku," jawab Mika setengah berbisik karena guru bahasa Inggris yang akan mengajar mereka di jam pertama sudah datang.
"Hem ... beneran deh, Mik, kayaknya kamu beneran suka sama dia!" celetuk Siska sementara Ica hanya mencibirkan bibirnya.
"Enggak, aku 'kan, cuma lagi ngasih dia pelajaran gara-gara bekal kemarin, salah sendiri udah aku masakin enggak dimakan, enggak tau dibuang ke mana itu bekal!" omel Mika yang tanpa sadar kasak kusuk itu didengar oleh guru mereka, suara dehaman guru lelaki berbadan gempal itu membuat ketiga gadis itu diam lalu menatap ke depan, mulai fokus pada pelajaran yang sudah dimulai.
"Kata satpam rumah, semalem ada cowok ganteng nyariin kamu, aku yakin dia Om Lucky," bisik Siska nyaris tidak terdengar.
"Beneran?" Tanpa sadar Mika bertanya dengan suara keras hingga menarik perhatian seluruh kelas, sontak Siska melotot padanya.
"Kalau masih mau mengobrol silakan mengobrol di luar!" ujar guru yang berdiri di depan papan tulis dengan tegas, ia menatap dengan tajam ke arah Mika dan Siska sedangkan Ica berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawa.
"Maaf, Pak." Kompak Mika dan Siska meminta maaf.
.
"Sis, Siska ... satpam rumah kamu ngomong apa lagi?" tanya Mika sambil mengejar langkah Siska yang berjalan santai sambil menikmati es krimnya menuju kursi kosong yang ada di kantin yang cukup ramai itu.
"Hem ... apa, ya ...." Siska berlagak lupa untuk meledek sahabatnya itu, Ica yang berjalan sambil menggandeng tangan Mika hanya diam menahan tawa melihat wajah Mika yang begitu penasaran.
"Ih, Siska!" rajuk Mika.
"Ngaku dulu kalau kamu emang suka ama Om Lucky!" pinta Siska, Mika melepaskan lengan Siska yang sedang dipegangnya dengan kasar.
"Enggak! Masa iya aku suka sama Om Om!" jawab Mika sambil merengut.
"Bener, ya, kita inget loh omongan kamu ini, awas aja kalo nanti kamu curhat ke kita kamu jatuh cinta sama Om ganteng itu," ucap Ica sambil mengacungkan telunjuknya di depan hidung mancung Mika, gadis itu melotot sambil berdecak kesal.
"Iya, enggak mungkin lah itu!" Mika menepis tangan Ica yang masih di depan wajahnya lalu duduk di kursi diikuti oleh kedua sahabatnya.
"Jadi, satpamku bilang kalau semalem Om Lucky itu dateng, nyariin kamu sekitar jam sebelasan lah. Satpam aku bilang muka dia cemas banget apalagi pas Om Lucky tau kalo kamu udah pulang naik taksi online muka Om Lucky malah kelihatan panik terus langsung pergi. Aku yakin dia nyariin kamu," terang Siska, Mika malah kembali senyum senyum sendiri.
"Tuh, 'kan, bilang enggak bakal jatuh cinta tapi senyumnya beda gitu!" cibir Ica, Siska mengiyakan dengan anggukan kepala.
"Enggak, aku cuma seneng aja berhasil ngerjain Om Lucky, untung dia enggak tau rumah Ica. Siapa suruh bekal yang udah aku masakin enggak dimakan." Mika menaruh tangannya di atas meja dan menyangga dagunya dengan tangan sambil membayangkan wajah panik Lucky saat mencarinya.
"Mik, sadar enggak, sih, kamu. Dengan kamu repot repot bikinin dia bekal aja udah nunjukin ke kita kalau kamu udah mulai perhatian sama dia," ujar Siska sambil mengelap bibirnya yang lengket karena es krim dengan tissu.
"Itu cuma tanda terima kasih aku, berkat Om Lucky 'kan, nilai matematika aku jadi bagus!" sangkal Mika sambil menatap Siska.
"Lagian, kamu juga main ngerjain Om Lucky aja, bikin dia panik siapa tau dia punya penyakit jantung terus kena serangan jantung karena kamu, gimana?" tanya Ica, Mika memasang mimik wajah aneh mendengarnya lalu tertawa.
"Ya enggak mungkin, dong, liat aja dia sehat gitu," jawab Mika sambil tertawa kecil.
"Lagian kamu belum tanya, 'kan, kenapa Om Lucky enggak makan bekal yang kamu kasih, bisa aja karena rasanya enggak enak," ledek Siska sambil tertawa membuat Ica juga ikut menertawakannya.
"Enak aja masakan aku enak, aku udah cicipin, Kok!" sembur Mika membuat kedua sahabatnya semakin tertawa geli meledeknya. "Lagian Om Lucky itu bukan hanya enggak makan, aku yakin dia sama sekali enggak liat apa isi kotak bekal itu."
"Tapi kotaknya kosong? terus siapa dong yang makan isinya?"
"Jangan jangan dimakan pacarnya di kantor!"
Mika hanya diam mendengarkan pertanyaan Ica yang disahuti oleh Siska, entah kenapa hatinya terasa semakin sakit dan tidak terima.
Sedangkan di tempatnya Lucky kembali berkutat dengan pekerjaan, ia hanya sekilas menoleh pada Arga yang memasuki ruangannya sambil membawa dua cangkir kopi.
"Istirahat Bos, kerja terus, ntar cepet kaya, loh!" kata Arga setelah menaruh kopi yang sengaja ia buat untuk dirinya dan sang sahabat.
"Aamiin ... gue emang pengen kaya biar bisa bahagiain anak bini nanti," jawab Lucky ringan, Arga malah tertawa mendengarnya.
"Bener sih, tapi ngebahagiain anak bini bukan cuma perlu harta aja, ada cinta, kasih sayang dan perhatian yang harus dikasih. Waktu juga." Arga mulai berbicara seolah dirinya adalah konselor pernikahan. "Eh, Lu udah ada calon? Udah ngomong begitu?"
Lucky yang sudah beranjak dari kursinya tertawa kecil. "Ya belum, ngarang aja dulu!" Keduanya tertawa bersama sebelum Lucky mengambil cangkir yang tadi Arga bawa lalu menyeruput isinya setelah ia duduk.
"Kotak bekal yang kemarin mana? Enggak dibawain lagi, Lu?" tanya Arga sambil menatap ke sekeliling dan tidak mendapati kotak bekal untuk Lucky.
"Enggak, gara gara itu si Mika ngambek," jawab Lucky, Arga mengerutkan keningnya.
"Ngambek? Kenapa?" tanya Arga tanpa rasa bersalah padahal dia lah yang memakan bekal yang Mika buat kemarin.
"Ya, gue ketahuan enggak makan bekal yang dia kasih. Terus semalem dia pergi, nginep di rumah temannya enggak bilang bilang. Kalang kabut lah gue nyariin sampe tengah malem, mana hapenya sengaja dimatiin," terang Lucky dengan wajah kesal.
"Terus, terus?" Arga meminta Lucky melanjutkan ceritanya sambil menahan tawa.
"Pas gue pulang, gue tanya Mbak, dong. Ternyata Mika telpon si Mbak bilang mau nginep di rumah temannya. Dia kayaknya sengaja mau ngerjain gue!" Arga sudah tidak kuasa menahan tawa, membuat Lucky malah berdecak kesal karenanya.
"Ketawa! Ini, 'kan, gara gara Elu makan bekal gue!" sembur Lucky pada Arga, sang sahabat yang lalu memasang wajah protes.
"Kok, gue? Elu sendiri yang udah ngijinin gue buat makan," jawab Arga tanpa rasa bersalah, karena memang dia tidak bersalah.
"Terus yang bikin gue tambah ngerasa bersalah, ternyata makanan itu emang dia yang masak sendiri. Mbak Kus bilang dia bangun lebih pagi buat masakin bekal itu," sambung Lucky, Arga terlihat berbinar binar mendengarnya.
"Widih, so sweet banget tuh anak, naksir kali dia ama Elu, Bro!" celetuk Arga membuat Lucky terkejut bahkan sampai memundurkan badannya.
"Hah, gila, Lu, ya! Bocah itu!" seru Lucky.
"Bocah? Kelas tiga SMA Elu bilang bocah? Hati anak seusia dia udah mateng buat jatuh cinta, Bro!" Lucky menatap aneh wajah Arga yang berusaha meyakinkannya.
"Enggak mungkin, Ga!" sangkal Lucky sambil meminum kopinya kembali, kopi yang tiba tiba terasa lebih manis dari sebelumnya.
"Jangan bilang enggak mungkin, ntar tiba tiba Elu curhat ama gue udah jatuh cinta sama si Mika!" ledek Arga sebelum meminum kopinya dari balik cangkir matanya memperhatikan Lucky yang sedang menggedikkan bahu, lelaki itu jadi ingin tertawa melihatnya.
"Gue bahkan pernah gendong dia pas masih bayi, Ga!" ujar Lucky.
"Ya justru itu, Elu udah punya chemistry sama dia sejak dulu," jawab Arga yang semakin semangat meledek sang sahabat.
"Ah ... udah, udah. Makin ngelantur, Lu, ngomongnya, dah sana balik kerja!" Arga tidak menghiraukan Lucky yang sudah mengusirnya ia tahu jika Lucky hanya tidak ingin dirinya terus meledeknya.
"Iya nanti gue balik, sekarang Lu jawab dulu pernyataan gue." Lucky menatap Arga dengan pandangan penuh kecurigaan.
"Apa?" tanya Lucky ketus.
"Mika cantik?" tanya Arga dengan tatapan yang ia tajamkan ke arah wajah sang sahabat.
"Ya ... cantik," jawab Lucky, Arga tersenyum lebar mendengar jawaban itu.
"Kalo Elu udah bisa mengakui Mika cantik, berarti itu udah modal yang cukup bagi Elu buat jatuh cinta sama dia!" ujar Arga sambil bangun dari duduknya dan segera keluar dari ruangan Lucky tidak ingin mendengar kata protes yang pastinya akan Lucky ucapkan.
* Dita Andriyani *
"Eh, Bro! Makan siang, yuk!" pekik Arga saat melihat Lucky keluar dari ruangannya.
"Enggak bisa gue mau jemput Mika!" jawab Lucky sambil berlalu.
"Hem ... bilang enggak enggak. Mulai perhatian, 'kan, Lu!"