Pendekatan

1541 Kata
Baru saja Laura keluar dari minimarket tempatnya bekerja untuk kembali pulang, dia sudah dikejutkan dengan kehadiran Nicholas Leister yang berada di dalam mobil. Karena jendela kaca mobil itu terbuka, membuat Laura bisa melihat dengan jelas jika pria itu tengah menatapnya, lalu dari tatapannya tersebut seolah meminta Laura untuk mendekat. Laura pun mendekat dan pria itu memberikan kode agar wanita itu masuk ke dalam. Awalnya Laura mendesah pelan karena pria itu tidak jelas. Tapi akhirnya dia memilih untuk masuk karena penasaran juga mengapa pria itu selalu saja muncul di hadapannya. Seolah hidup Laura kini dipenuhi dengan pria itu. Mungkinkah benar-benar dia dibuntuti oleh pria yang sebenarnya adalah pelanggan barunya di pekerjaannya yang lain? Ah, Laura tak mempedulikan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi padanya. Dia lebih mengutamakan rasa penasarannya dahulu saat ini. Karena itulah, dia kini duduk di samping pria itu. "Ada berapa banyak mobil yang kau punya?" tanya Laura sembari menoleh ke arah John yang mulai menyalakan mesin mobil. "Seingatku, saat itu kau tak menggunakan mobil yang ini. Iya, kan?" lanjut Laura memastikan jika ingatannya sangat baik. Bahkan mengenai mobil pria itu juga. John melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia menoleh sekilas sebelum menjawab pertanyaan gadis itu. "Kau memang benar. Aku bosan dengan mobil yang kemarin. Jadi, aku memakai mobil yang ini." Laura sontak mendecih pelan mendengar jawaban dari pria itu yang terkesan sombong. Apalagi ekspresi wajahnya saat ini yang tengah tersenyum menyebalkan bagi Laura. Dia sama sekali tidak meragukan seorang pria seperti Nicholas Leister. Dari tampangnya, cara berpakaiannya yang sangat rapi, lalu bau parfumnya yang sangat memabukkan, dan cara bicaranya saja sudah bisa dipastikan jika pria itu memang orang kaya. Atau mungkin seorang konglomerat? "Apa kau anak dari seorang konglomerat? Aku lihat-lihat, dari atas sampai bawah bahkan semua barang yang kau gunakan terlalu mahal. Atau bisa dibilang harganya di luar nalar? Kau bisa mengganti mobil sesuai mood, benar?" John sontak mengangguk dan Laura menyipitkan kedua matanya. Menatap John tanpa lepas, meskipun pria itu tak balik menatapnya. "Jadi benar?" "Apanya? Mobil?" tanya John kembali memastikan. "Jika itu, memang benar. Aku suka mengganti mobil sesuai mood." "Bukan itu," John menoleh sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Lalu apa yang kau maksud jika bukan itu?" "Kau benar-benar anak konglomerat?" tanya Laura mengulang pertanyaan sebelumnya. "Tapi, konglomerat mana? Kau sepertinya bukan asli orang Spanyol." "Kau sendiri? Kau juga tampaknya bukan orang asli sini." "Aku bertanya padamu, Tuan Leister. Jangan balik bertanya jika belum menjawab ku." balas Laura dan pria itu hanya mengedikkan bahunya. Laura sontak mendecih, "benar-benar percuma bicara dengan orang sepertimu." John kembali menoleh sekilas, dan bertepatan dengan Laura yang menoleh juga ke arahnya. Tapi kemudian John yang lebih dulu memutus pandangan. "Belok kanan." seru Laura dan John langsung menurut sesuai dengan perkataan gadis itu. Sebenarnya, John sudah tau di mana Laura tinggal. Di gedung apartemen apa, lantai berapa dan unit yang mana dia tau semuanya. Hanya saja, dia harus berpura-pura tak mengetahui apa pun agar Laura tidak curiga. Selain itu, ini adalah misinya untuk melakukan pendekatan dengan Laura. Ya, Laura si gadis cantik yang mirip dengan mendiang kekasihnya. "Stop!" John segera menghentikan mobilnya ketika Laura menginterupsi. John sengaja menurunkan kaca jendela untuk melihat gedung apartemen yang ada di depannya menjadi lebih jelas. "Kau tinggal di sini?" "Ya," jawab gadis itu singkat. "Terimakasih untuk tumpangannya." lanjutnya, lalu turun tanpa menunggu John membalas ucapannya. Laura tak lantas langsung melangkah pergi masuk ke dalam gedung apartemen. Dia justru berdiri di samping mobil John yang mana juga membuat pria itu sedikit heran dan penasaran juga. Tidak ada sedetik, Laura membungkukkan sedikit tubuhnya untuk menengok John yang ada di dalam mobil. "Mau minum kopi di tempatku?" +++ Dan di sinilah John. Pria itu sedang duduk di sofa panjang, tepatnya di dalam unit apartemen Laura. Dia tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ketika gadis itu menawarkan untuk minum kopi bersama. Apalagi di unit apartemen milik gadis itu. Mata John mengamati ke seluruh penjuru ruangan. Sama sekali tidak ada yang istimewa di sana. Unitnya terbilang kecil dan lumayan sempit. Tidak ada banyak ruang dan tidak ada hal yang menarik kecuali si penghuninya. "Kau betah tinggal di sini?" tanya John ketika Laura muncul sembari membawa secangkir kopi di tangannya. Laura tak lekas menjawab pertanyaan pria itu. Dia meletakkan kopinya di atas meja, kemudian duduk di samping pria itu. "Minum dulu selagi masih panas." ujar Laura, mengabaikan pertanyaan John barusan. Yang sebenarnya, dia tidak ingin mengabaikannya juga. Dia hanya ingin melihat John minum dahulu. "Sedikit terlalu manis." komentar John yang mana tak membuat Laura merasa down. Justru gadis itu terlihat biasa saja. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Laura." lanjut John mengingatkan. "Apa yang perlu aku jawab? Jika aku tinggal di sini, tandanya memang betah." "Kau—" "Jangan bilang kau ingin berkomentar mengenai unit apartemen ini yang sangat sempit?" sela gadis itu sembari menyangga kepalanya pada sandaran sofa. "Faktanya memang begitu." "Walaupun sempit begini, aku masih bisa tinggal. Tidak kepanasan, dan tidak kehujanan. Yang paling penting, aku tidak menjadi gelandangan di luar sana." "Sebelum menjadi gelandangan, aku bisa membawamu bersamaku." sahut John. Laura terdiam beberapa saat, lalu kemudian tertawa sambil bertepuk tangan. Seolah menganggap jika ucapan John hanyalah ucapan para pria buaya pada umumnya. "Kau bisa melucu juga ya? Aku pikir kau kaku orangnya. Tapi ternyata tidak," John menggeser duduknya dengan mendekat ke arah Laura. Sementara Laura sendiri sama sekali tidak berpindah tempat. Bahkan mundur pun tidak sama sekali. Dia benar-benar duduk di tempatnya dari awal. Kepalanya juga tetap tegak tak bergerak di saat John mulai mendekatkan wajahnya. Memindai wajah cantik Laura yang nyaris sempurna. "Kau bisa jatuh cinta padaku jika terus mengagumi wajahku, Tuan Leister." seru Laura memperingati. "Atau kau sebenarnya sudah jatuh cinta padaku pada pandangan pertama?" tebaknya dan sukses membuat John tersenyum smirk. John kembali menjauhkan diri meskipun sedikit. Menyandarkan kepalanya pada sandaran dalam posisi menyamping agar tetap bisa menatap Laura dengan jelas. "Kau percaya cinta pada pandangan pertama?" Laura menyipitkan kedua matanya saat mendengar pertanyaan dari John barusan. Benar-benar pertanyaan si rajanya buaya. Dan Laura tak terkejut akan hal itu. "Tidak." jawab Laura dengan tegas. Gadis itu menyibak rambut panjangnya ke belakang, dan John memperhatikan itu dengan seksama. "Bagiku tidak ada cinta yang seperti itu. Karena memang aku tidak pernah merasakannya." lanjut Laura dengan jujur. "Aku pernah merasakan cinta pada pandangan pertama. Pada seseorang..." Laura terdiam mengamati John dengan serius. Tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Keduanya justru saling berpandangan. Mengunci tatapan seolah tak ada yang boleh ikut campur saat ini. "Siapa?" "Kau." jawab John. Laura mendengus sembari menendang kaki John. Hal itu tentu membuat John semakin tertarik pada Laura. Entah apa dan mengapa bisa serandom itu. "Aku hampir lupa jika kau rajanya buaya, Tuan Leister. Beruntung aku tidak tertipu olehmu." "Bagaimana bisa kau menganggapku sebagai raja buaya? Kau bahkan tidak mengenalku dengan baik." "Kau punya banyak uang dan kau sendiri yang mengatakan pernah menyewa wanita untuk kepuasan hasratmu. Jadi, ya kau termasuk kategori buaya. Aku harus berhati-hati padamu mulai sekarang." John menegakkan punggungnya. Lalu merogoh sesuatu dari saku celananya, hingga Laura tau jika pria itu mengeluarkan sekotak rokok dan pemantik. Laura suka sekali ketika melihat John memainkan pemantiknya. Lalu membakar batang nikotin tepat di hadapannya. "Kau merokok?" tanya John pada Laura yang masih menatapnya dengan lamat. "Tidak, tapi aku pernah sekali mencobanya." jawab Laura dengan jujur. Dan John mengapresiasi kejujuran gadis itu. John dengan sengaja meniupkan asapnya ke arah Laura yang masih tetap biasa saja. Tidak terganggu dan terbatuk juga. Lalu John mengarahkan rokoknya tersebut pada Laura. Meminta gadis itu untuk menghisapnya. Karena Laura tipikal orang yang tidak suka diremehkan, dia melakukannya. Laura menghisap rokok tersebut dan berakhir terbatuk-batuk. Sudut bibir John terangkat begitu menyaksikan Laura sampai terbatuk-batuk saat ini. John yang tak bersuara sama sekali pun kini langsung meraih wajah Laura. Ibu jari John menekan dagu Laura ke bawah, hingga mulut gadis itu terbuka. Dan tepat saat mulut Laura terbuka, John mengembuskan asap rokoknya ke dalam mulut Laura. Kemudian dengan kesadaran penuh, John membungkam bibir Laura dengan bibirnya. Menaut, melumat dan berciuman dengan gadis itu. John pikir Laura akan mendorong atau menamparnya. Tapi ternyata gadis itu justru membalas dan mengimbangi ciumannya. Meskipun di awal sempat hampir terbatuk kembali. John menggigit dan menarik bibir bawah Laura sebelum dia melepaskan ciuman tersebut. John mengusap bibir bawah Laura yang terdapat setitik darah di sana dengan ibu jari John. Tatapannya yang tajam mempesona menarik atensi Laura sepenuhnya. Apalagi saat mengusap bibirnya. Ada hal yang tak bisa Laura jelaskan. "Bagaimana rasanya?" "Cukup gila," jawab Laura sembari mendorong d**a John dan dia memilih bangkit dari duduknya sekarang. Laura mulai mengikat seluruh rambutnya menjadi satu di hadapan John yang nampak terduduk santai saat ini. Anggap saja Laura sama gilanya dengan John, sebab dia sekarang justru mendudukkan diri di atas pangkuan John. Lalu mengambil paksa rokok yang sedang terapit di antara kedua jari John. Mencoba mengisapnya lagi dan membuang asapnya di depan wajah John. Pria itu nampak tersenyum saat Laura berhasil melakukannya. Sungguh, John semakin ingin mendorong diri lebih jauh lagi. "Hebat sekali, haruskah aku memberimu hadiah, Laura?" "Apa yang akan kau berikan? Jika aku benar-benar meminta hadiah?" tanya gadis setengah menantang. Jemarinya bermain pada d**a John. "Sesuatu yang menyenangkan untukmu." Salah satu alis Laura terangkat. Menatap John dengan tatapan curiga, namun masih tetap harus berpikir positif. "Di mana kamarmu? Aku akan menunjukkannya." lanjut John yang mana akhirnya membuat tubuh Laura mendadak menegang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN