Yoga tak langsung menarik diri, menikmati proses akhir dengan kening menyatu dan memerhatikan wajah cantik sang istri yang sedang memejam, menanti sampai mata indah terbuka. Untuk beberapa menit berlalu mereka tetap seperti itu saling memandang lama masih menikmati hal luar biasa baru saja mereka terima, dikamar pengantin mereka.
“Thank you...” bisik Yoga membuat April terdiam, untuk pertama kali setelah mereka lama bersama baru kali ini Yoga mengatakannya.
Terdengar hangat, meski kalimat I love you lebih ingin di dengarnya.
Nggak apa-apa pril, bertahap, ini awalan juga kemajuan yang bagus. Ada yang berbisik begitu di dalam kepalanya.
Yoga mengecup keningnya barulah berguling untuk beralih kesisi, memeluk April erat. Wanita itu menoleh, mencium sang suami langsung di balasnya. Mereka kembali berciuman.
"Kamu benaran nggak pa-pa, kalau kita tunda punya anak dulu?" dia membuka suara begitu sensasi panas itu mulai berkurang.
Sebelum menikah, April mengajak Yoga berdiskusi. Bahwa dia belum siap memiliki anak dalam waktu dekat ini. Yoga setuju, walau tidak langsung menjawab. Lelaki itu terdiam cukup lama. April sudah mengira pria itu akan tidak setuju. Jika Yoga menolak, dia akan tetap pada pendiriannya. Banyak hal yang jadi pertimbangan dia. Selain belum yakin bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya kelak. Entahlah dia rasa, dia juga belum sepenuhnya yakin dengan pernikahan ini, tujuan mereka, dan akan berjalan seperti apa. Yoga bahkan mengatakan dengan gamblang, bahwa dia tidak bisa menjanjikan pernikahan ini akan bahagia.
Lengkap bukan? pernikahan ini jelas tidak sempurna.
Jika kebanyakan di awal para pasangan menjanjikan kebahagiaan, berbeda dengan April. Dia juga merasa t***l, bagaimana biasa setuju dengan pernikahan ini, jika di awal saja Yoga mengatakan itu.
Bukan hanya itu, April juga mengatakan keinginannya tetap bekerja setelah menikah. April bekerja di perusahaan keluarganya sendiri, sebagai manajer marketing perusahaan retail makanan siap saji terbesar di Indonesia. Yoga sendiri mengurus perusahaan keluarganya di bidang kontruksi, selain itu dia membangun bisnis hotel dan Resort, bekerja sama dengan sahabatnya, Riefaldi.
"Hanya menunda, kan? bukan nggak mau punya anak?" April menikmati setiap tangan besar itu terasa mengelus lembut punggungnya yang terbuka.
"Ya, kalau aku udah siap pasti aku berhenti minum pil." Bisiknya, dia merasa tidak tahu kapan hari itu akan datang.
Semua ini, bukan karena dia tidak menyukai anak-anak. Sungguh, April sangat menyukai manusia-manusia kecil yang mengemaskan itu. Tidak bisa menahan rasa senang setiap kali para keponakan dia berkunjung ke rumah, tidak bisa berhenti tertawa setiap melihat tingkah mereka yang ada-ada saja. tidak berhenti antusias saat mereka baru saja bisa melakukan sesuatu yang baru atau tidak bisa menolak saat mereka meminta sesuatu padanya. Tapi, untuk miliki sendiri, dia merasa belum bisa, takut tidak siap menjadi ibu yang baik terlebih dia sendiri belum tahu seperti apa perjalanan rumah tangga mereka ke depan, selain tahu bahwa pernikahan ini belum sempurna karena suaminya ini, tidak memiliki cinta untuknya.
April rasanya ingin menangis dan meneriakan realitas yang ada, dia tidak ingin munafik untuk menutupi bahwa April menginginkan hatinya, di cintai Yoga. Sementara yang terlihat jelas sejauh ini, lelaki itu hanya mau tubuhnya, ketertarikan seksualitas semata.
Memikirkan itu membuat April bergerak segera melepaskan diri dari pelukan Yoga, lalu dia mengubah posisi jadi membelakangi Yoga. Berharap Yoga memberi dia ruang, karena dia merasa sungguh sesak di dadanya.
"I need to sleep well..." katanya lalu memejamkan mata. Nyatanya, dia harus membiarkan lengan kekar suaminya kembali menguasai, memeluk tubuhnya.
"Tidurlah, besok perjalanan kita akan panjang." Balasnya berbicara pelan.
Ya, setidaknya tidak sepanjang perasaanku menunggu balasanmu! Bisik April dalam hati.
Dengan masih bertelanjang, pria itu kemudian menjauhkan diri, lalu pergi ke kamar mandi. April yang sudah mengantuk dan juga kelelahan mulai memejamkan mata.
Berselang beberapa menit, Yoga keluar dari kamar mandi dan menemukan April sudah tertidur dengan napas yang teratur. Mata indah itu terpejam dengan mulut sedikit terbuka. Yoga menghampiri sisi ranjang, mengutip celananya begitu dapat menemukannya, kemudian memakainya. Yoga, untuk beberapa waktu memandangi istrinya yang sedang tidur itu.
Tersenyum kecil, tangannya terulur untuk segera menarik selimut hingga ke dàda istrinya tersebut. Yoga menurunkan kepalanya mendekati wajah April, dengan lembut dikecupnya kening wanita itu, dalam dan cukup lama. April menggumam pelan, namun tidak terbangun dari tidurnya.
Yoga tahu, caranya mengajak menikah sangat tak masuk akal dan mungkin melukai wanita itu. Rasa bersalah, jelas dia rasakan. Bahkan saat di hari pernikahan, dia lebih banyak diam karena takut apa yang sudah dia pilih ini, salah. Dia sadar hatinya belum mencintai April. Namun, bayangan menghabiskan sisa usianya bersama April terasa menyenangkan, membuat dia berani mengajaknya menikah. Terlebih ketika sang Bunda—orang tuanya—minta ia segera menikah, hanya April yang terlintas di pikirannya. Lagi pula mereka sudah bersama, selama itu juga Yoga sudah mengenal April. Itu lebih baik di banding ia harus mencari dan mulai dengan perempuan lain, yang belum tentu pas. Ya, walau sejauh ini ketertarikan fisik tentu jadi alasan terbesarnya memilih April. Wanita yang membuat dia tidak tergoda dengan wanita lain lagi setelah merasakan April untuk pertama kalinya di Paris beberapa tahun lalu.
Setelah mematikan lampu tidur, kembali bergabung dengan istrinya di ranjang pengantin mereka, kembali memeluk wanita itu, Yoga memejamkan matanya dan ikut tidur bersama istrinya.
***
Pagi-pagi sekali mereka sudah di Bandara, perjalanan panjang untuk ke tempat Honeymoon. Hadiah dari Yoga sendiri. Dua buah koper besar di bawa, sebagian besar adalah keperluan April, tentu saja perempuan memang yang paling banyak bawaannya.
Yoga bukan tipe lelaki pemrotes, tidak banyak komentar melihat April yang banyak membawa pakaian.
Yoga terlihat keren dengan celana jeans biru, kaos hitam dan juga sebuah jaket jeans. Mereka berkunjung bukan saat sedang musim dingin, jadi tidak membawa pakaian hangat. April bersandar pada bahu suaminya yang sedang asyik membaca sebuah majalah bisnis.
Mereka sudah sarapan juga, tinggal menunggu beberapa jam untuk berangkat. Orang tua atau keluarga tidak ada yang mengantar. Ini bukan kali pertama mereka liburan sebenarnya, Ya tanpa ada yang tahu. Mereka sering mencuri liburan bersama, menjelajah berbagai daerah di Indonesia sampai luar. Inilah salah satu kesukaan mereka yang cocok, suka berpelesir.
“Ga..” bisik April, dia bisanya tidak semanja ini pada Yoga.
Mungkin, sindrom pengantin baru atau April yang posesif, karena sejak tadi beberapa wanita muda yang ada di ruangan tunggu bersama mereka tertangkap basah mencuri-curi pandang pada suaminya. April langsung sigap, seakan memasang label—ini suami gue, jaga mata anda, awas ada istri galak!—dengan cara menyelipkan tangannya pada lengan Yoga, merapat dan bersandar manja tak lupa memberi seringai pada wanita-wanita tersebut.
“Hm..”
Hanya hm?
Yoga benar-benar tidak asyik! Protesnya di dalam hati, sejujurnya dia berharap Yoga juga menunjukkan kemesraan.
“Sayang..” panggil April sengaja, dan itu berhasil menarik atensi Yoga. Tentu saja, April jarang sekali bertingkah manja dan romantis. Dulu bahkan Yoga ingat, bagaimana April sangat jutek dan galak saat dia berusaha mendekati wanita itu.
“Kenapa, kamu mau ke kamar mandi? Atau masih lapar?”
April memutar bola matanya malas, memang kalau istri manja pada suami hanya itu alasannya. Yang benar saja!
“Hm, masih lama ya kita menunggunya?” akhirnya dia memilih pertanyaan itu.
Yoga mengangkat sebelah tangan untuk memastikan pada jam mewah yang melingkar di sana. “Sebentar lagi.”
“Aku bosan! Kamu sibuk baca majalah bisnis, kita kan lagi Honeymoon trip, Ga. Bukan Business trip.” Ujarnya berbisik tapi lebih berupa rengekkan manja yang terdengar di buat-buat. Yoga mengerutkan kening, April makin mendekatkan wajahnya karena dia tahu wanita yang memakai pakaian bahunya terbuka di depannya masih terus menatap penasaran pada mereka.
“Sabar sebentar lagi kita berangkat.” April mendengus sebal, Yoga tidak peka sama sekali.
Dan Tuhan tolong, kenapa dia berubah jadi Posesif sekali seperti ini sih! sadarnya di dalam hati.
Ah, sepertinya ini benar-benar sindrom New bride!
[to be continued]
JUDUL CERITA : UN PERFECT WEDDING