Started in Paris
Awal mula,
Paris. Bulan April, Tiga tahun sebelumnya....
.
.
Pernah dengar, bahwa sebagai manusia biasa hanya punya rencana tanpa tahu jalan takdir di depan sana akan seperti apa?
Dan jika boleh memilih, tidak ada manusia yang ingin terlibat dalam momen jangka panjang, momen yang akan di sesali seumur hidupnya.
Begitu pun dengan dia, wanita malang yang tak pernah terbayang akan terbangun di pagi terburuk dengan kondisi paling asing sepanjang hidupnya. April masih fokus menatap punggung telanjang telungkup tepat di sampingnya
Seseorang yang mengisi sisi bagian lain ranjang, seseorang yang selama ini berhasil membuatnya kerap kesal dengan mengodanya, seseorang yang April tahu adalah Playboy.
banyak sekali yang tidak di suka April dari dirinya.
Huft!
Sekali lagi April menarik napas dalam-dalam lalu memejamkan mata, terus berharap ketika membuka mata sisi tersebut kosong, namun dilihatnya justru makin menguatkan bukti akan apa yang telah mereka lewati semalam. Beberapa bekas cakaran kuku tampak samar menghiasi punggung kokoh tersebut. Sementara Lelaki itu masih terjaga, dengkuran halus masih terdengar seiring gerakan samar dari tubuh yang bernapas teratur. Tampak sangat nyenyak.
Apa yang dia coba jaga, kini hilang dalam satu malam, karena kebodohan sendiri yang membiarkan ini terjadi.
April mengubah posisi lalu hanya bisa menatap langit-langit kamar hotel, mendesah kesal dengan kepala seketika migrain, seperti dipukul-pukul palu ketika menyadari bahwa apa yang sudah terlewati semalam adalah kesalahan terbesar yang tidak akan terjadi jika saja dia tidak terpancing dan logikanya masih waras.
Ya, tidak semua salah lelaki itu. April sadar semua terjadi karena persetujuan darinya.
Kemarin adalah hari ulang tahunya, April pergi ke kelab untuk traktir beberapa temannya. Tidak disangka, di sana harus bertemu dengan Yoga, pria yang akhir-akhir ini jika bertemu selalu terang-terangan menggodanya. Lelaki yang terkenal players karena wajah rupawannya, terlihat kalut sekali malam itu. April dari jauh tidak berhenti memperhatikan Yoga yang tampak sudah mabuk, beberapa kali mengusir beberapa wanita sexy mencoba menggodanya. Selanjutnya April mendekati, berniat membantu dan ternyata itu kesalahan.
Kembali mendesah, April kini menatap muram pada kamar hotel yang berantakan "s**t! sekacau apa kami semalam!" desahnya lagi.
Setelah membantu lelaki ini kembali ke hotel, seharusnya April pergi meninggalkannya begitu saja. Tapi, rasa peduli berlebihan membuatnya tidak tega meninggalkan Yoga Pramudya.
"Gue t***l! Masih cinta sama dia, padahal jelas dia milik sahabat gue sendiri! April? Ko disini?" Rancau laki-laki itu semalam lalu dia tertawa, sebelum kembali berkata.
"Andai gue benaran bisa suka sama lo, pril. Pasti gue lebih mudah mengejar lo dari pada harus diam meratapi cinta yang nggak sempurna karena nggak bisa memiliki." Drama lelaki itu semalam.
Seharusnya, April bersyukur lelaki players ini tidak benar-benar suka padanya, seperti yang diperlihat-kan selama ini. Nyatanya, entah bagaimana bisa hatinya merasa sakit. saat mengetahui dari pengakuan lelaki itu sendiri meski dalam keadaan mabuk, mengatakan dia hanya menjadikan April sebagai perisai untuk terlihat sudah move on dari perasaannya terhadap wanita yang sudah dinikahi sahabatnya sendiri.
Sial! Kenapa dia harus merasa sangat kecewa.
"Bodoh!t***l!" Gumam April kian menyesal. Kecewa pada diri sendiri, seharusnya saat Yoga menciumnya semalam, April langsung mendorong bukannya malah ikut terhanyut.
Ckck... banyak sekali kata seharusnya yang sia-sia, semua sudah terjadi!
Rasa penyesalan hadir bersama dengan pagi mendung memayungi langit Paris hari ini, seperti pikiran April yang tidak kalah mendung dengan tubuh masih menjeritkan rasa nyeri, linu disekujur tubuh. Namun, semua kekacauan ini harus segera dibereskan.
April akan meminta pria itu untuk melupakan apa yang terjadi dan lalu menjalani hidup masing-masing. Pertama-tama, dia memilih beranjak ke kamar mandi, berpakaian dan menunggu Yoga bangun dan selesaikan masalahnya, sayangnya tidak semudah itu ketika dia mematung ingat semalam mereka melakukannya tanpa pengaman!
Damn it!
***
Tiga tahun, dua bulan kemudian. Jakarta, diakhir bulan Juni.
.
.
Perempuan itu menatap cermin besar dengan lampu di setiap sisinya, duduk termenung meski dalam ruangan itu terdapat televisi mengantung menyiarkan acara yang sedang berlangsung.
Meski tak ingin, matanya kembali mengamati suasana di sana. Ada meja akad diletakan. Yoga, sang mempelai laki-laki sudah datang dan sedang duduk disana memunggungi para tamu.
Apa yang sedang di pikirkan laki-laki itu?
April begitu ingin mengetahuinya sekarang, bahkan dia berpikir, jika Yoga berdiri, pergi dengan batalkan pernikahan ini, rasanya lebih baik.
Please, Ga. Masih ada kesempatan jika kamu memilih pergi.
Sepertinya hanya April, pengantin satu-satunya yang ingin di campakan di pernikahannya.
Tidak tahan, akhirnya wanita itu kemudian memalingkan wajah, tidak berniat untuk menyaksi-kan itu lebih lanjut, dia termenung sambil menatap dirinya sendiri yang tidak di kenali karena riasan wajah dan pakaian adat sunda, sampai berhasil membuat dia terlihat sangat berbeda.
Terdengar arahan pemandu acara mulai membuka dan mengatakan bahwa akad akan segera mulai, membuat suara riuh yang sebelumnya terdengar mulai menipis di gantikan suasana hening, semua yang hadir menyimak serius ketika di awali dengan pembacaan ayat suci, lalu terus berlanjut sampai pada ayah dari sang mempelai perempuan berjabat tangan dengan sang mempelai pria karena acara paling inti dan sakral dimulai dengan tanda suara tegas sang ayah pun mulai terdengar untuk menyerahkan April pada Yoga melalui Ijab kabul.
Seiring itu, mempelai wanita memejam-kan mata hingga kilasan titik balik sampai hari ini terjadi berputar, rangkaian pertemuan, kebersamaan tanpa komitmen selain sama-sama tertarik secara fisik. Malam-malam panas yang sudah terjadi, hingga dia tidak menyangka pria itu melamarnya dengan cara yang paling aneh juga tanpa ada cinta.
"Ayo kita menikah!" Ajak Pria itu ringan sekali, sampai April harus menajamkan pendengaran.
"Are you crazy? pernikahan nggak bisa main-main! Bercanda kamu kelewatan!"
"Aku nggak gila, aku serius dan sadar dengan ucapanku ini." Jawab dia lebih serius dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca.
"Beri aku alasan, kenapa aku harus menikah dengan kamu? Sedangkan kita tahu selama ini hubungan apa yang terjalin, Ga? Terlebih kamu nggak mencintaiku!" Kata April berharap Yoga menyerah saja dan saat mengatakan bagian akhir, ada sesuatu yang mencubit hatinya—Ya, Yoga tidak mencintainya. Walau tahu begitu, april tidak tahu alasan apa yang membuat ia bertahan dan tidak terkendali sampai sejauh itu dengan Yoga.
Yoga malah menatap dia kian tajam, lalu berujar hal yang membuat April tercengang. "Yang jelas, kita nggak bisa terus seperti ini. Lagi pula aku percaya dan kita sama-sama tau bahwa pernikahan bisa terjadi tanpa ada cinta, banyak yang berhasil. Aku mau melakukannya, kita menikah. Usia, kita udah matang untuk menikah. Kita udah saling mengenal lama, aku rasa kamu bisa jadi istri yang baik untukku. Kita bisa bersama, lebih penting lainnya, kita nggak perlu lagi berbuat dosa jika udah menikah."
Yoga terlalu berbelit, alasannya hanya ketertarikan fisik semata. Dia ingin terus meniduri April tanpa dosa.
Simple, tentu menyakitkan untuk pihak perempuan.
Menyesal? Sepertinya terlambat. Sudah sejak awal dia tahu akan yang terjadi hanya akan timbulkan luka di sisinya.
Sejak kembali ke Indonesia 8 bulan lalu, setelah kejadian malam di Paris waktu beberapa tahun lalu, beruntung dirinya tidak hamil, ia langsung membeli beberapa obat yang di yakininya mampu gagalkan pembuahan akibat kesalahan mereka. Melibatkan bayi dari kebodohan mereka, bukanlah hal yang April inginkan terlebih pasti akan membuat orang tuanya kecewa.
Sekian lama berlalu, mereka kembali bertemu, dan kembali mengulang kebersamaan waktu itu. Hingga dua bulan sebelum hari ini, Yoga Pramudya melamarnya, yang lebih bodoh adalah atas dasar rasa nyaman, diberikannya persetujuan.
"SAH!" Teriakan tersebut menyadarkan April dari pikirannya yang berkelana.
Sah? Apa yang sah?
Rupanya dia bahkan tidak mendengar lelaki itu sudah mengiklarkan janji sehidup semati melalui ijab kabul yang suci.
Suci?
April tersendu, bisakah di bilang suci sedangkan dia berlumuran dosa.
"Alhamdulillah..." serempak suara para tamu di ruangan ballroom juga ruang yang ditempatinya, terdengar mengucap syukur.
Sementara April tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Semua perasaannya campur aduk.
April untuk pertama kali menoleh saat pelukan para sepupunya terasa. "Alhamdulillah, kamu sudah jadi istri sekarang. Pril!" Chantika, wanita yang memiliki tubuh berisi itu semakin cantik saja dengan kebaya berwarna dusty purple yang dipilih untuk digunakan para sepupu dan teman-teman perempuannya.
"Terima kasih, kak."
Kemudian dia yang sejak tadi sempat cemas itu pun ikut mengadahkan tangan saat doa terdengar, dengan cepat dia menghapus air mata yang kembali menetes.
"Ayo kita temui suami kamu." April mengangguk, dibantu Chantika dan beberapa sepupunya, ia melangkah keluar kamar untuk menujub ballroom, bergabung di meja akad dan duduk di samping Yoga yang sekarang sudah sah menjadi suaminya.
Suami.. rasanya masih terlalu asing di telinga dan lidahnya.
***
Pernikahan megah, bertema Garden party yang sepenuhnya dihiasi bunga-bunga favorit April--Mawar dan Lily putih. Butuh antrean panjang untuk bersalaman dengan pasangan yang baru saja menjadi suami-istri tersebut. Semua sahabat dari kedua belah pihak berhasil salaman dan berfoto dengan pasangan pengantin tersebut. Wajah April terlihat sangat semringah, dia tidak berhenti tersenyum dan tertawa pada setiap gurauan menggoda teman-temannya, sementara Yoga lebih banyak diam dan tersenyum tipis, sangat berbeda dengan Yoga, yang tengil saat mendekati April beberapa tahun lalu.
Setelah ini dia terbebas dari desakan orang tua dan keluarga yang khawatir karena dia belum menikah, setidaknya itu salah satu alasan ia menerima Yoga. Lelaki itu benar, sejauh ini mereka saling mengenal satu sama lain. Lalu hatinya mentertawakan itu—mengenal? Yakin kamu, pril? Aku rasa-mengenal, yang di pahami hanya sebatas mengenal tubuh satu sama lain, letak tanda-tanda tersembunyi di bagian tertentu. Bukan mengenal benar-benar mengenal, terutama mengenal hati satu sama lain.
Senyum april perlahan memudar, rasa sakit kembali dia rasakan. Ya, tentu saja. inilah Yoga, suaminya. Pria sama namun berbeda dari Pria yang berpura-pura menyukainya untuk menutupi diri yang belum move on dari seseorang wanita yang tak lain...
"Hati-hati dong, sayang!" suara lembut itu milik sepupunya, Chantika yang menegur si kembar, kedua anaknya yang tidak mau diam, rebutan untuk sampai pada April lebih dulu. Sementara suaminya, Riefaldi dengan sayang mengendong putrinya—Mishall—bayi cantik yang berusia sepuluh bulan.
"Selamat, ya!" Mereka bersalaman dengan April, sepupunya memeluk lebih erat dari yang tadi pagi setelah ijab. Mereka cipika-cipiki sejenak, lalu perempuan itu lanjut dan ketika giliran Chantika bersalaman dengan Yoga tiba, April merasakan pandangan aneh yang diperlihatkan suaminya untuk sepupunya. Pandangan memuja, menginginkan tetapi tak bisa memiliki. Saat melihat itu, April seperti bercermin karena seperti itulah dia menatap Yoga. Bedanya, dia beruntung lelaki itu memilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya, sampai kapan? Mungkin, sampai April dan yoga sadar bahwa jika cinta saja tidak cukup menguatkan sebuah pilar pernikahan untuk tetap kokoh, lantar apa yang akan membuat mereka bisa terus bertahan untuk bersama? Jawabannya April pun tidak tahu..
"Selamat, Yoga.. Welcome jadi bagian keluarga Wijana." Ucapnya tulus, tersenyum manis. "jaga April baik-baik!"
Yoga terkesiap, lalu membalas hanya dengan senyum tipis. Tak berlangsung lama, karena Riefaldi yang posesif segera bergantian memeluk Yoga. "Kiamat benaran sudah dekat, bro. Players kita nikah!" Guraunya, disambut tawa Yoga, dan dua sahabatnya—Doni dan Irfan—datang juga bersama pasangan masing-masing. Tentu mereka bersahabat.
Setelah berfoto keluarga dengan tiga anggota balita itu dan sahabat suaminya yang lain pun turun. Mereka kembali ke tempat yang sudah disediakan.
April menggigit bibirnya mendapati suaminya, Yoga, tidak berhenti menatap lurus pada punggung perempuan itu.
Ya Tuhan, apakah lelaki ini adalah pilihan tepat untuk percayakan masa depanku?
Seketika April terpaku dengan pemikiran dan perasaan kian meragu kembali. Rasanya, pernikahan ini tercipta hanya untuk April mengobati luka Yoga dan dirinya sendiri menciptakan luka.
Panah yang sudah melesat tidak pernah bisa untuk kembali ke busurnya. Begitulah keputusan April, membawa dia harus terus melangkah meski tahu, usahanya tidak mudah.
Usaha membuat pernikahannya jadi sempurna.
[to be continued]
JUDUL CERITA : UN PERFECT WEDDING
PENULIS : UNAARTIKA