Chapt. 6

544 Kata
Beberapa hari kemudian. Seorang pria mengangkat kertas bertuliskan nama Riana di bandara untuk menjemput nya. Setelah beberapa hari Ana berada di Paris untuk mendapatkan kembali uang nya. "Itu nama saya…" ia menghampiri pria tersebut. "Ah, nyonya. Selamat datang kembali. Saya sopir kantor Tuan Braven diminta untuk menjemput anda ke Villa. Silahkan ikuti saya ke mobil" ucap nya lalu berjalan membawakan koper milik Ana. Ana berjalan dengan lelah namun agak sedikit canggung. Nyonya?? Sesampainya nya di Villa. "Apa tuan sibuk?" tanya Ana. "Seperti biasa, nyonya. Tetapi hari ini akan pulang agak cepat" Ana membereskan semua pakaian nya dan menikmati waktu santai nya di bathub. Setelah mendapatkan kembali uang nya, ia semakin merasa berhutang budi dengan Braven. Semuanya bahkan berjalan dengan mudah disana. Bahkan hotel mewah yang ia tinggali adalah pesanan Braven. Setelah selesai, Ana duduk di ranjang dan menatap layar ponselnya melihat jumlah saldo rekening yang sangat besar. Besok ia akan bersiap untuk mentransfer uang kepada Nasha untuk biaya rumah sakit dan uang kuliah. Seharusnya ratusan juta saja sudah cukup. Tetapi ia ingin membayar kesulitan hidup mereka selama ini. Dan mungkin akan memberikan sebesar 3 Milyar. Lalu ia juga akan menyiapkan uang untuk membayar hutang Braven. Tidak masalah jika tabungan nya habis. Lagi pula ia juga akan menikah dengan Braven. Tentu hidup nya pasti akan terjamin. Ana menghela nafasnya berat. Jam 1 malam Braven belum juga pulang. Bahkan hingga Ana tertidur pulas. ……… Ana sempat terkejut saat ia bangun kesiangan hingga pukul 10.12 dan ia langsung mandi lalu buru-buru keluar melihat apakah Braven ada atau sudah berangkat ke perusahaan. Huh, ini pasti karena ia kelelahan. Padahal biasanya tidak pernah seperti ini. Ia keluar sambil mengikat rambutnya asal. Melihat tukang kebun sedang membuat kopi di dapur. "Pak, maaf saya kesiangan. Sudah sarapan??" "Sudah.. tadi kami beli didepan" "Ohbegitu ya. Apa tuan sudah berangkat??" "Tidak. Tuan baru saja sampai didepan. Tadi mengecek mobil di garasi.." ucap Pak Min. Ah jadi semalam Braven tidak pulang dan baru sampai. / Ana menuju ruang depan dan melihat Braven masuk membawa amplop coklat ditangan kiri nya. Namun… wajah nya terlihat dingin bahkan saat melihat dirinya. Ana mengikuti langkah Braven ke atas menuju kamar. "Apa kamu sedang sibuk? Tidak pulang semalam?" Braven diam hingga didalam kamar melemparkan amplop tersebut ke meja dan duduk disofa dengan kesal. "Ada apa denganmu?" Braven membuang pandangannya. Tangan nya terus bergerak entah ada apa sebenarnya. "Braven… ku tanya ada apa? Apa ada masalah? Atau.. aku yang salah ?" tanya Ana sekali lagi. Tubuh Braven maju mengambil amplop dan mengeluarkan berkas tersebut. Ia juga meletakkan kotak cincin di meja. "Tanda tangani surat pernikahan itu. Dan pakai cincin ini sekarang" ucap nya. Ana tidak mengerti dengan sikap Braven yang terlihat berubah. "Apa? Begini caramu meminta ku menikah?"  "Lalu bagaimana lagi? Jangan mencoba menuntut apapun selain yang akan kuberikan nanti, Ana. Jangan membuatku semakin marah. Lakukan saja sesuai kesepakatan kita!" ucap Braven dengan nada tinggi. "Kamu sedang ada masalah? Katakan .." Braven menatap Ana tajam. "Jangan ikut campur. Cepat tanda tangani saja. Kamu tidak mengerti???" Setelah melihat wajah marah Braven beberapa saat. Ana pun duduk dan menanda tanganinya. Lalu memakai cincin tersebut. Ia juga merasa marah jika diperlakukan begini. Padahal menikah juga tanggung jawab besar baginya.  "Berikan nomor rekening mu… dan berapa banyak hutang bibi???!!" tanya nya dengan kesal. "Untuk apa masih bertanya soal hutang?? Jika kamu menikah dengan ku maka tidak ada lagi hutang. Sudah … keluar saja!" ucap Braven frustasi. Ia benar-benar sedang mengalami kesulitan bisnis dengan salah satu rekan nya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN