BAB 4. Berhenti Peduli Padaku!

1565 Kata
“Bagaimana rasanya menjadi asing dengan seseorang yang dulu kita pikir sedekat nadi?” Pertanyaan ini membuat Prince diam cukup lama tadi malam. Dia sesekali menatapku dengan tatapan sedih hingga sebuah kalimat keluar dari mulutnya. “Aku yakin setiap hal di dunia pasti ada sebab dan akibatnya, kamu hanya belum menemukan jawaban atas pertanyaan kamu. Kenapa dia lebih memilih sahabat kamu? Kenapa bukan kamu yang dia pilih? Dan banyak pertanyaan lain akibat dari kekecewaan kamu karena terlalu banyak berharap pada manusia.” Ucapnya yang gantian membuat aku diam. Aku tidak lagi bisa menyangkalnya. Prince benar! Seluruh pertanyaan di kepalaku akibat rasa kecewa karena tidak di pilih Regartalah yang membuat hatiku rasanya sakit sekali. “Loh belum berangkat, ada Regarta di luar katanya mau berangkat sama kamu. Ada Anggun juga.” Ucap Mom membuatku mendesah. “Bilang sama mereka aku nggak ngampus hari ini Mom, aku malas berangkat sama mereka.” Jawabku. Daddy harus pergi ke luar kota sementara eyang juga sedang ke luar kota. Karena itu tidak ada yang mengantar aku ke kampus. Mommy tanpa persetujuanku lebih dulu meminta Regarta untuk berangkat bersama denganku. “Kamu lagi berantem yah sama Rega?” “Mereka berdua pacaran Mom, aku nggak enak ada di tengah-tengah. Kan ganggu. Lagian Mom kenapa nggak nanya dulu sama aku sih sebelum minta tolong sama mas Rega.” Jawabku dan Mom terlihat sedih serta merasa bersalah. “Mereka berdua pacaran?” tanyanya lagi dan aku mengangguk. Mom kemudian tersenyum tipis terlihat sedih. Aku yakin sekalipun aku tidak pernah mengatakannya, Mom pasti tahu perasaanku pada Regarta. “Ya sudah, mom bilang aja kalau kamu nggak ngampus.” Ucap Mom kemudian mengelus kepalaku pelan dan meninggalkanku sendiri di kamar. Air mataku jatuh dan aku segera menghapusnya. Mulai sekarang aku harus berhenti bergantung pada Regarta. “Loh Wendy sakit Mom? Sakit apa?” aku bisa mendengar suara Regarta dari ruang televisi di lantai dua. “Kayaknya kecapean aja sih agak demam.” Jawab Mom. “Regarta mau jenguk boleh Mom?” tanyanya. “Udah siang Rega, sebaiknya kamu berangkat kuliah aja nanti telat.” Ucap Mom menolak halus. Mom pasti mengerti aku tidak ingin bertemu dengannya dulu. “Ya sudah Mom, Rega berangkat kalau gitu. Salam buat Wendy, semoga lekas sembuh.” Pamitnya masih terdengar olehku. Aku turun dari lantai dua sudah rapih ketika mobilnya sudah aku dengar meninggalkan pelataran rumah aku. “Kamu udah Mom panggilin taksi, besok juga berangkat naik taksi aja yah Wen.” “Iya Mommyku yang paling baik di dunia. Makasih yah.” Jawabku kemudian memeluknya erat, mencium tangan dan pipinya, lalu keluar rumah karena taksi yang di pesan Mom sudah datang. Pagi itu aku pergi ke kampus sendirian lagi seperti biasa. Tidak mau membuat hidupku lebih rumit dengan gosip yang beredar jika aku ikut bersama Regarta. “Wendy!” Sebuah suara membuatku menoleh saat sedang berjalan di gerbang kampus. Aku tersenyum. “Heh, lo kuliah di sini juga?” tanyaku antusias. Dia adalah Rama, salah satu peserta Olimpiade Matematika yang juga aku ikuti. Sebelumnya Rama berasal dari SMA Internasional yang terkenal. Dia pintar, good looking dan juga kaya. Tapi Rama bukan jenis laki-laki Narsis suka tebar pesona seperti Regarta. Rama hampir mirip denganku. Suka sendirian dan hanya memiliki teman sedikit. “Iya, baru pindah Wen. Nggak sreg di kampus lama.” Balasnya kemudian kami berjalan berdua masuk ke dalam kampus. “Ambil fakultas apa? Kedokteran?” tanyaku. Mengingat kepintarannya yang menurutku cukup setara dengan Regarta itu, Rama tidak akan kesulitan ambil kedokteran. “Enggak.” Kekehnya. “Gue ambil hukum Wen.” Jawabnya membuatku cukup tertarik. Karena si jago matematika ini ku pikir akan ambil jurusan kuliah yang banyak menggunakan hitung-hitungan sepertio Kedokteran. “Wah di luar prediksi gue. Tapi hebat, anak hukum juga hebat-hebat.” Aku mengacungkan jempolku padanya. Rama tampak malu-malu. “Lo pasti mikirnya gue mau jadi dokter kaya nyokap yah?” kekehnya dan aku mengangguk. “Papa dan mama nggak pernah nuntut aku untuk jadi kaya mereka untungnya.” Tambah Rama lagi. “Bagus dong jadi kan kita kuliahnya sambil bahagia kalau sesuai apa yang kita mau.” “Lo sendiri ambil jurusan apa Wen?” “Tata boga sama Psikologi.” Jawabku membuatnya terkekeh. “Sesuai prediksi gue. Si princess matematika ini pasti nggak mungkin biasa aja. Ambil dua jurusan sekaligus. Hebat banget.” Pujinya berlebihan. Aku tertawa. “Katanya sakit?” suara Regarta membuatku mengalihkan pandangan dari Rama yang masih mengobrol denganku. “Bukan urusan lo.” Balasku kemudian kembali menoleh ke arah Rama dan melanjutkan langkah kami. Di samping Regarta ada Oliver dan Anggun yang terlihat penasaran dengan laki-laki yang sedang mengobrol denganku. “Dia Regarta kan? Lo lagi musuhan? Apa lagi ngambek-ngambek manja.” Rama mendekat dan bisik-bisik. Aku mendesah lelah. Rama tahu bahwa aku menyukai Regarta, sebab dia pernah menyukaiku dan aku bilang aku memiliki orang lain yang aku sukai yaitu Regarta. “Ngambek-ngambek manja apaan.” Balasku sambil cemberut. “Ya kan biasanya kalau orang pacaran kaya gitu Wen.” Kekehnya. “Wendy!” Regarta menarik tanganku tiba-tiba terlihat marah. Matnya menatap Rama sinis. Aku segera menghempaskan tangannya. “Apa sih?” tanyaku ketus. “Kamu katanya sakit? Kenapa berangkat ngampus? Apa nggak mau berangkat sama aku? Bilang aja langsung nggak usah bohong. Kalau mom nggak minta tolong sama aku buat anterin kamu juga aku nggak akan nyamperin kamu tadi.” Ucapnya menyebalkan. Aku menghembuskan napas lelah. Banyak orang yang tiba-tiba memperhatikan kami karena Regarta memang selalu menjadi pusat perhatian. “Ya sudah aku minta maaf karena Mom merepotkanmu. Besok tidak usah berbaik hati padaku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal.” Balasku kemudian berbalik meninggalkannya diikuti Rama. “Wendy!” Regarta masih memanggil tapi aku tidak peduli dan terus melanjutkan langkahku. Tidak mau semakin menjadi pusat perhatian. “Lo nggak papa kan Wen?” tanya Rama ketika aku sudah jauh dari Regarta. “Nggak papa kok Ram,” balasku sambil tersenyum. “Btw gue udah sampai kelas, nih kelas gue. Maksih udah anterin.” Ucapku. “Nanti pulang bareng gue aja gimana? Gue bawa mobil tadi.” Tawarnya. “Nggak ngerepotin?” “Enggak lah lagian rumah kita juga searah, sekalian gue pulang.” “Boleh deh, makasih yah Ram.” “Iya oke, gue ke kelas yah. Nanti tunggu gue di gerbang atau chat aja, masih nyimpen nomor gue kan? “Masih lah.” Aku terkekeh. Rama kemudian pergi setelah melambaikan tangannya padaku dan aku masuk kelas. Hari ini cukup padat tapi tidak ada kegiatan apapun di clun memasak sehingga bisa langsung pulang setelah jam mata kuliah berakhir. Ketika aku keluar kelas, Regarta sudah ada di depan kelasku dengan wajah yang tidak ramah. “Cowok tadi siapa?” tanyanya. “Bukan urusan lo.” jawabku. Anggun selalu terlihat tidak suka jika aku diajak bicara oleh Regarta. “Wend, aku di minta tolong Dad sama Mom buat jagain kamu, jadi aku berhak tahu siapa aja yang jadi temen kamu.” Ucapnya keras kepala. “Kalau begitu nanti gue minta sama Dad dan Mom buat nggak ngerepotin lo dalam hal apapun karena sekarang lo sibuk.” Ucapku hendak melangkah pergi tapi Regarta mencekal tanganku. “Wen, kenapa sih gini banget? Aku udah minta maaf perkara kamu di bully dan dianggap ngerebut aku dari Anggun. Masih marah?” tanyanya. Aku menghempaskan tangannya. “Gue nggak butuh maaf lo, nggak akan ngerubah apapun mas. Nggak akan ngerubah tangan gue yang lecet karena di dorong sama temen pacar lo itu. Nggak akan ngerubah kaki gue yang sakit karena di tendang sama mereka. Nggak ada yang berubah.” Ucapku marah. “gue Cuma minta lo nggak usah urusin lagi hidup gue, nggak usah sok akrab, nggak usah peduli sama gue. Urus aja tuh cewek lo yang cemburuan itu.” Tambahku lagi. “bagus lah kalau lo nyadar kalau selama ini lo Cuma beban.” Anggun ikut menanggapi. Aku menoleh ke arahnya sambil tertawa ringan. “Jangan lupa, lo juga beban buat gue dari kelas satu SMA sampai lulus. Lupa siapa yang ngajarin lo matematika padahal gue lagi sibuk-sibuknya mau lomba? Lupa siapa yang bawaain lo makan tiap hari karena uang saku lo abis buat bayar buku? Ngaca kalau ngomong.” Balasku kesal. Regarta diam saja, tidak memarahi Anggun. Sebelumnya jika ada yang mengataiku, dia akan menjadi orang yang paling membelaku. Tapi sekarang tidak lagi. Tentu saja dia akan lebih membela pacarnya di banding aku. Memangnya aku siapa? Aku Cuma bebannya selama ini. “Oh lo nggak ikhlas bantuin gue?” “Iya gue ngak ikhlas, balikin sini! Balikin waktu gue yang terbuang, balikin duit gue.” Teriakku marah. Regarta menahan Anggun yang hendak menyerangku sementara Rama datang dan menarikku pergi. “Nggak ada gunannya bertengkar dengan orang egois. Lo akan selalu dia anggap salah karena dia nggak tahu diri.” Ucap Rama. “Eh siapa yang nggak tahu diri? Jangan asal ngomomg lo yah!” Anggun tidak terima tapi aku dan Rama tidak peduli. Kami terus berjalan keluar kampus dengan tangan Rama masih ada di tanganku. Baru terlepas ketika kami sampai di mobilnya. “Minum dulu nih!” Rama menyodorkan air putih dari dalam tasnya. Aku terkekeh kemudian mengeluarkan tumbler bergambar beruangku. “Gue bawa.” Ucapku. Rama terkekeh dan meminum airnya sendiri karena aku minum airku sendiri. Rama sebenarnya baik, dia juga bisa menjadi teman yang baik sekalipun aku pernah menolaknya. Kepribadian kami juga tidak jauh berbeda. Apakah aku bisa menyukainya suatu hari nanti? Bukankah aku harus segera melupakan Regarta? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN