Aku benar-benar kesal. Baru juga beberapa hari aku menjauh dari Wendy sudah ada aja yang mendekatinya. Sudah ku bilang bukan? Gadisku ini memang cantik dan seandainya saja pakaiannya lebih berwarna dia akan menjadi gadis paling panas di kampus. Tapi aku lebih suka dia dengan baju-baju gelapnya itu. Supaya hanya aku saja yang memiliki hak istimewa melihatnya memakai baju berwarna setiap malam.
“Lo nggak bisa nyalahin dia Ga, kan lo yang mulai.” Ucap Davena. Dia memang yang paling tidak setuju dengan rencanaku mendekati Anggun. Aku diam saja, masih sakit hati melihat Wendy terlihat mengobrol seru dan akrab dengan laki-laki bernama Rama itu.
“Kali ini kalau kita singkirin Rama menurut gue nggak bisa Ga. Secara dia temen deket Wendy sejak awal. Dari SMA mereka udah temenan. Kalu si Rama kita bereskan bisa ngadu dia sama Wendy. Selesai deh reputasi lo.” Dario ikut menanggapi membuatku semakin pusing.
“Dia jago bela diri juga Ga. Dia satu tempat les Taekwondo sama gue. Dia sering menang lomba bela diri dari SD.” Oliver juga ikut mengomentari. Aku masih diam saja, berusaha berpikir jernih. Mencari jalan tengah terbaik untuk masalah ini. Aku benar-benar kesal dengan takdir yang seolah sedang mempermainkan aku ini.” Putusku sambil mendesah kemudian berpamitan dengan mereka menuju kelas.
Sejak pertama masuk kuliah satu tahun lalu, aku sudah berusaha mencari tahu tentang laki-laki itu tapi tidak mendapatkan apapun. Hingga akhirnya aku memutuskan menjadi pacar Anggun untuk bisa mengorek informasi penjahat yang ternyata saudara dekat atau kakak Anggun itu. Sejauh ini masih belum mendapatkan apapun juga karena keputusanku mendekati Anggun juga baru kemarin. Tapi aku sudah tidak tahan melihat Wendy bersama laki-laki lain. Aku tidak bisa marah padanya karena Wendy juga pasti sakit hati melihatku menjadi kekasih Anggun.
“Dipukul dan di tendang? Serius?” tanyaku pada Anggun. Saat ini gadis itu ada di hadapanku. Setelah kemarin dia bertengkar dengan Wendy saat pulang kampus. Anggun menunduk.
“Aku tidak meminta mereka melakukan itu tapi mereka yang—”
“Aku tidak suka perempuan tukang Bully. Jika kamu masih ingin denganku, hentikan semua tingkah mengganggu kamu pada Wendy.” Ucapku kesal. Anggun menunduk.
“Aku yang di pilih jadi pacar kamu tapi kamu terlihat perhatian sama dia, jadi aku kesal.”
“Perhatian yang bagaimana? Kami ini sahabat dari kecil dan orangtua kami saling mengenal dengan sangat baik. Jika kamu memintaku memusuhinya lebih baik kita selesai saja.” Ancamku. Anggun terlihat gelisah.
“Enggak Ga, oke. Aku berjanji tidak akan mengganggunya lagi. Begitupun dengan teman-temanku. Jangan marah lagi yah.” Ucapny memohon. Aku tahu gadis jahat ini sangat menyukaiku. Bukan jenis cinta yang tulus menurutku. Karena dia berharap menjadi populer dengan menjadi kekasihku. Terbukti, baru beberapa hari.
“Kali ini aku pegang omongan kamu, tapi sekali lagi aku dapat laporan kamu atau teman-teman kamu mengganggu Wendy, kita selesai. Bukan masalah aku lebih suka Wendy atau lebih suka kamu. Tapi ingat baik-bauik di kepala kamu, aku tidak suka wanita jahat. Jika ingin tetap bersamaku jadillah wanita baik! Bukan hanya pada Wendy saja, tapi pada orang lain juga.” Ucapku lagi di angguki Anggun. Setelah itu kami berpisah karena harus masuk kelas setelah Anggun memberiku kotak makanan yang berisi makanan yang dia buat. Sejak menjadi kekasihku, gadis ini memang selalu menyiapkan sarapan untukku yang tidak pernah aku makan.
Pulang kuliah, lagi-lagi aku melihat Wendy berjalan berdua dengan Rama. Keduanya sangat akrab. Jujur saja aku sangat terluka melihatnya, tapi aku menahannya. Segalanya juga aku lakukan demi Wendy. Jika di akhir nanti aku menyelesaikan masalah ini dan Wendy memilih orang lain, setidaknya aku sudah berusaha dengan sangat keras. Aku sangat mencintainya sehingga jika di akhir dia tidak memilihku aku tidak akan bisa memaksanya. Melihatnya menangis saja aku ikut terluka.
***
Tapi ketika malam hari tiba, maka giliranku mendapatkan kesempatan mendekati Wendy. Aku melompati pagar belakang yang paling tidak pernah di lewati siapapun. Rumah Wendy sangat besar sekalipun mereka hanya tinggal bertiga saja dengan beberapa karyawan. Dan karena aku sangat mengenal wilayah ini, aku tahu seluk-beluk tempat yang paling aman untuk di susupi.
Setelah masuk lewat gerbang belakang, aku mengambil jalan melalu tangga di belakang yang menuju ke rooftop di lantai dua. Dari sana aku tinggal jalan saja memutar sampai di bawah balkon kamar Wendy dan naik lewat sana.
Aku terkekeh geli melihatnya sudah ada di depan jendela kaca dengan pemukul base ball di tangan kananya dan wajah menatapku kesal. Dia manis sekali.
“Jangan masuk!” Ancamnya tanpa suara. Kami masih terhalang kaca jendelanya dan aku lihat dia sudah mengikat gerendel jendelanya dengan semacam tali agar aku tidak bisa masuk. Aku kembali terkekeh melihat bando pink gambar beruang yang bertengger di kepalanya serta piama tidur dengan warna yang sama.
“Sebnentar doang!” Negoku juga tanpa suara. Wendy menggeleng sambil terus menatapku sebal. Aku tertawa ringan, kemudian menyingkir pergi dari sana dan naik ke atap melalui samping. Biasanya memang aku masuk lewat atap. Di atas kamar Wendy, ada semacam tiang untuk pemasanga Wifi atau semacamnya. Dan akses masuknya adalah melalui plapon kamar Wendy.
“Astaga1” Dia terlonjak kaget melihat aku melompat dari langit-langit kamarnya. Menganga tidak percaya melihat plaponnya terbuka dengan ukuran kotak yang mampu di lewati manusia. Dia mematung beberapa detik hingga aku terkikik geli.
“Dasar curang!” Ucapnya kesal sambil menghampiriku dan memukuli aku bertubi-tubi menggunakan tangannya. Tongkat baseballnya itu rupanya sudah dia letakkan ketika melihatku pergi dari depan jendelanya tadi. Aku tertawa geli.
“Sudah ku bilang otak aku lumayan kan? Perkara menyusup saja bukan hal yang sulit buat aku.” Kekehku sombong. Wendy terlihat cemberut dengan menggenmaskan.
“Kalau begitu, ayo bantu aku buat tugas.” Tantangnya.
“Oke.” Balasku senang. Gadis ini sudah tidak terlalu banyak memberiku perlawanan dan itu adalah sesuatu yang baik.
Menit selanjutnya kami sudah berkutat dengan tugas mata kuliahnya. Aku memang suka membaca, bahkan untuk hal-hal yang bukan masuk dalam jurusan yang aku ambil. Karena itu aku mengetahui banyak hal dan bisa menyelesaikan tugas Wendy dengan mudah. Dia menatapku takjub sambil tersenyum.
“Apakah kamu sekolah di fakultas yang sama denganku?” tanyanya. Aku menhendikkan bahuku sambil mengulum senyum geli. Lagi-lagi aku mendapatkan wajah cemberutnya yang menggemaskan.
“Sok misterius itu menyebalkan, seperti Regarta.” Komennya.
“Memangnya Regarta kenapa?” Aku bertanya.
“Dia seperti memiliki banyak rahasia, karena itu aku kadang meerasa tidak mengenalnya sedikitpun.” Jawab Wendy sudah tidak perlu aku paksa bicara.
“Laki-laki memang cenderung seperti itu, mereka tidak suka menunjukkan hal yang berlebihan pada orang lain. Karena bisa jadi yang dia sembunyikan itu adalah bebannya. Laki-laki tentu saja tidak ingin terlihat lemah dengan mengelyhkan bebannya bukan?” Ucapku menanggapi. Wendy menatapku dengan serius setiap kali aku emmberikan pendapat. Kemudian dia tersenyum dan berajak dari kursinya.
“Kalau besok tugasku dapat nilai baik, besok malam aku beri hadiah.” Ucapnya sambil membuka lemarinya dan mengeluarkan sebuiah kotak dari sana. “Aku membeli ini kemarin waktu aku menemani Rama membeli hadiah untuk ibunya, aku rasa ini cocok untukmu.” Tambahnya lagi.
“Rama?” tanyaku pura-pura tidak tahu. “Siapa lagi Rama? Kenapa daftar cowok kamu banyak sekali? Kamu bukan seoang pemain cinta bukan?” ledekku. Wendy terkekeh geli.
“Bukaaan, kamu salah paham. Rama itu sahabat aku dari jaman Olimpiade dulu. Baik kok orangnya dan aku merasa sedikit aman waktu dia jadi temen aku di kampus. Sebab temen-temen Anggun nggak berani ganggu aku.” Jawab Wendy sambil tersenyum lebar. Jujur saja aku cemburu. Karena Wendy baru saja merasa Rama berjasa untuknya, sementara usahaku untuk melindunginya tidak terlihat sedikitpun.
“Ahh jadi dia seperti pangeran yang menyelamatkan tuan putri?” tanyaku. Wendy terlihat berpikir kemudian kembali tersenyum. Melangkah ke arah sofa dan aku mengikutinya. Kami duduk di sana sambil memeluk bantal-bantal besar yang juga bergambar beruang.
“Mungkin saja bisa di artikan seperti itu, tapi di mataku dia hanya seorang teman.” Balas Wendy menerbitkan senyumku.
“Masih Regarta yang menguasai hati kamu?” tanyaku lagi dan dia mendesah.
“Menyebalkan bukan?” tanyanya balik. Aku menggeleng.
“Menurut aku kamu masih punya kesempatan.”
“Kenapa? Dia sudah punya pacar.” Desahnya lagi.
“Apa tujuian akhir menyukai Regarta hanya sebagai pacar? Tidak kan?” tanyaku dan dahinya berkerut. Kemudian matanya berbinar. “Sekarang mungkin dia sedang menyeleksi wanita-wanita yang pantas dia jadikan istri kelak karena itu Anggun belum tentu lulus. Bisa saja pada akhirnya yang dia pilih kamu kan?” tambahku lagi dan Wendy tersenyum.
“Kamu sangat dewasa Prince.” Pujinya. “Kamu sendiri punya pacar? Atau seseorang yang kamu suka?”
“Pacar? Bisa di bilang tidak. Tapi kalau wanita yang aku sukai ada. Hanya saja aku juga merasa sulit sekali mendapatkannya.” Desahku.
“Kenapa?” Tanyanya penasaran.
“Karena gadis itu sangat menyukai Regarta.” Balasku dan Wendy tertawa.
“Tapi kamu sudah mencuri ciuman pertamaku Prince, kamu harus bertanggungjawab.”
“Bagaimana? Menikahimu? Dengan senang hati.” Kekehku. “Tapi tunggu kamu lulus kuliah dulu oke.”
“Gombal banget, belajar dari mana kamu” Wendy lagi-lagi tertawa. Aku senang sekali karena malam ini, gadisku banyak tertawa. Setidaknya aku bisa sedikit menghibur sakit hatinya karena suasana di kampus pasti menyebalkan untuknya.
Kami terus bercerita hingga jam satu malam. Wendy mulai mengantuk dan tertidur di pundakku. Di depan kami, ada laptopnya yang masih menayangkan sebuah film detetktif kesukaanya. Kami memang sepakat untuk menonton film sambil bercerita tadi. Aku menggenggam tangannya pelan kemudian mengecupnya. Setelah itu tanganku menarik kepalanya ke dadaku lalu aku juga menciumnya. Wangi khas Wendy langsung menguar di hidungku. Wangi yang setiap hari membuatku selalu ingin berdekatan dengannya tapi tidak bisa. Wangi yang setiap saat selalu aku rindukan.
“Sayang banget sama kamu, sampai mau gila.” Bisikku pelan sambil membelai kepalanya lembut. Setelah itu aku menggendongnya perlahan, menidurkannya di kasur dan mencuri kecupan di bibirnya.
“Selamat malam semestaku, maafkan aku karena aku belum bisa membuat kamu bahagia. Jangan terluka dan tetaplah tersenyum. Sisanya biar aku yang urus.” Ucapku pelan lalu melangkah pergi dari atap setelah memastikan jendela Wendy terkunci rapat. Membenarkan lagi pintu di langit-langitnya seperti semula. Pulang kembali ke kamarku dengan senyuman bahagia.
***