Aku memeluk bahu Tristan dengan erat, diam-diam merasa penasaran dengan apa yang terjadi saat ini di lift, apakah pria itu masih ada di sini. Kondisinya saat terakhir masih teringat jelas di dalam kepalaku, kepalanya yang berdarah, wajahnya yang lebam dan kakinya yang di tusuk dengan keras hingga membuat cipratan darah di lantai. Aku tidak bisa melakukannya, berdiri untuk segera pergi dari sini walau aku menginginkannya. Aku tidak tahu kenapa Tristan bisa ada di sini, tetapi senang melihatnya ada di sini. Aku sangat takut dan dia datang seperti pelindungku. “kau bisa berdiri?.” Aku menggelengkan kepalaku, kakiku sangat lemas dan tanganku masih bergetar. “kakiku keram.”hanya kata itu yang bisa ku katakan, kakiku memang mulai terasa keram akibat terlalu lama berjongkok untuk menutupi pa