8. KENCAN DI GALERI

1884 Kata
Anya tengah membereskan beberapa dokumen di atas mejanya. Layar laptop yang sudah tidak menyala, segera ditutup. Barang pribadi yang sebelumnya dikeluarkan, kembali dimasukkan ke dalam tas. Wajahnya pun nampak serius melakukan aktifitas ini. Anya sampai tidak sadar sedang diperhatikan oleh Kyomi. “Kamu mau ke mana?” “Mau makan siang,” sahut Anya. Lantas ia melirik singkat jam yang ada di ponselnya. “Sebentar lagi waktunya istirahat dan aku mau pergi.” Kedua alis Kyomi mengkerut dan ekspresi wajahnya nampak penasaran. Biasanya ia selalu ditawari ikut jika makan siang di luar tapi kali ini berbeda. “Memang mau makan siang di mana?” “Di galeri.” “Galeri?” Anya mengangguk, lalu beranjak dari kursinya. “Aku mau ke galeri lukisan milik seorang pelukis yang ternyata terkenal.” “Siapa?” tanya Kyomi semakin antusias. “Namanya Keenandra Dewangga alias Kin,” jawabnya santai. “Sudah ya, aku pergi dulu.” “Nya …” Sebelum benar-benar pergi, Anya menoleh singkat. “Jangan nitip makan siang karena aku baliknya lama.” Terdengar Kyomi mendengkus sebal. “Bilang saja kalau kamu pergi dengan pacar baru!” Mobil yang dikemudikan oleh Anya tengah berhenti di salah satu restoran cepat saji. Ia ingin membeli pizza yang akan dijadikan oleh-oleh untuk Kin dan karyawan di galeri. Untuk menu makan siang, ia berencana membeli nasi ayam betutu, yang kebetulan searah dengan tempat tujuannya. Apa yang ia lakukan, sudah tentu bukan untuk menarik perhatian. Baginya ini adalah salah satu etika saat berkunjung ke tempat orang lain. “Terima kasih, Mbak,” ucap Anya. Makanan yang barusan dibeli, diletakkan di kursi sebelah. Tinggal membeli menu utama makan siang, sebelum nanti pergi ke galeri Kin yang bernama House of K. Datang untuk kali pertama, Anya cukup gugup. Anya sedikit tahu mengenai seni lukis karena dulu ayahnya penyuka lukisan. Bahkan ada ruangan khusus menyimpan koleksi hasil seni tersebut. Sayang, Agni tidak mau memajangnya karena takut terus mengingat dengan sedih kepergian suaminya yang sudah cukup lama. Tidak butuh waktu lama dari rumah makan ayam betutu, papan nama dari galeri milik Kin sudah terlihat. Halamannya cukup luas dan ada beberapa mobil parkir di sana. Dari luar nampak biasa. Tetapi Anya tidak akan tertipu karena biasanya sebuah galeri seni, tampilan di bagian dalam sangatlah mengesankan. “Selamat siang. Selamat datang di House Of K.” Anya tersenyum mendapat sambutan dari bagian karyawan yang berdiri di balik meja resepsionis. Penampilan dua orang wanita dengan pakaian khas Bali dan juga bunga terselip di kuping, sangat menyejukkan mata bagi pengunjung yang baru datang. “Siang, Mbak. Aku Anya, mau bertemu dengan Mas Kin. Apa beliau ada?” “Ada. Tapi maaf, apa sebelumnya sudah membuat janji dengan Bli Kin?” Mendengar Kin dipanggil dengan ‘Bli’ sebagai panggilan khas orang Bali untuk laki-laki, sedikit membuat Anya kaget. Tetapi ia bangga karena Kin sangat menyesuaikan diri, di mana ia sedang tinggal. “Sudah, Mbak.” “Baik Mbak. Mohon tunggu sebentar, biar saya panggilkan Bli Kin. Kebetulan sedang menemani tamu.” Tahu kalau Kin sebuk, Anya mencegah kepergian wanita itu. “Tunggu, Mbak. Sebaiknya jangan dipanggil. Aku tunggu sampai tamunya pergi.” “Serius, Mbak?” “Serius, tenang saja,” jawab Anya. “Oh iya, aku bawa pizza untuk karyawan di sini. Silakan dibagi dengan yang lain ya, Mbak.” “Wah, terima kasih, Mbak. Tapi kami tidak enak menerimanya kalau Bli Kin belum tahu.” “Nggak apa-apa, Mbak. Dia pasti nggak akan marah kalau tahu pemberiannya dari aku.” Dua orang itu saling lirik, lalu kembali melihat Anya dengan tatapan penasaran. “Maaf, apa Mbak Anya pacarnya Bli Kin?” Kedua mata Anya membola lalu menggeleng pelan. “Bukan. Aku temannya.” “Oh begitu.” “Silakan diambil, ya. Aku mau duduk di sana sambil nunggu Bli Kin.” “Baik. Terima kasih banyak ya, Mbak.” Anya mengangguk dengan wajah dihiasi senyum ramah. “Sama-sama.” Sambil menunggu, Anya duduk di kursi kayu berwarna hitam gelap. Suasana galeri bagian depan, cukup membuatnya penasaran. Beberapa lukisan yang di pajang, seakan memanggil Anya untuk melihat lebih dekat. Akhirnya kaki wanita itu bergerak, menuju lukisan seorang wanita yang hanya terlihat bagian matanya. “Bahkan Cuma kelihatan matanya saja, tapi aku bisa bayangin wajah wanita ini sangat cantik,” ucap Anya dengan tatapan takjub. Anya kembali melihat lukisan yang lain. Lebih banyak gambar abstark yang ia temukan. Padahal baru bagian depan, tapi Anya seperti betah di tempat ini. Namun ada yang ia sadari dari apa yang ia lihat. Warna dari lukisan tersebut semuanya sama. “Kenapa hanya hitam putih? Apa ciri khasnya Mas Kin memang seperti ini?” Perhatian Anya teralihkan saat mendengar derap langkah kaki yang mendekat. Ia menoleh dan melihat beberapa orang asing sedang berjalan menuju keluar sambil membawa benda yang terbungkus rapi. Anya yakini yang mereka bawa adalah lukisan. Tidak hanya satu orang, tapi tiga orang sekaligus. Bisa dipastikan kalau pengunjung tersebut membeli hasil karya dari tetangganya. “Aku nggak tahu kalau hasil karya tetanggaku, seterkenal ini,” gumamnya. “Zeevanya!” Anya menoleh ke sumber suara. Pria yang ditunggu kini tengah berjalan ke arahnya. Penampilannya sangat santai dan jauh dari yang biasa Anya lihat di rumah. Mengenakan kaos hitam dan celana jin panjang namun sudah robek di beberapa tempat. Ada noda cat di tangannya. Baru kali ini Anya bertemu Kin dalam versi sebagai seorang seniman. “Mas.” “Sudah dari tadi?” tanya Kin yang sudah berdiri di depan Anya. “Belum.” “Kenapa tidak minta karyawan saya untuk panggil?” Anya menggeleng. “Aku tahu Mas Kin lagi sama tamu, jadi sebaiknya aku tunggu. Dan ternyata nunggunya nggak terlalu lama.” Tangan Kin terulur, lalu mengusap pelan pucuk kepala Anya. “Harusnya kamu biarkan saja mereka kasih tahu saya mengenai kedatangan kamu. Kalau lama, bagaimana?” Rasanya Anya ingin sekali memberitahu Kin kalau setiap sentuhan yang diberikan, sangat tidak aman bagi kesehatan jantungnya. Sayang, bukannya protes, Anya malah terdiam dengan jantung berdebar. Anya lalu berdeham untuk menyamarkan rasa gugupnya. “Yang penting, sekarang Mas Kin sudah tahu, kan?” Kin tersenyum dan mengangguk. “Baiklah. Sebaiknya kamu ikut ke ruangan saya.” “Oke.” Langkah kaki Anya yang tidak terlalu panjang, mengikuti ke mana perginya Kin. Pandangan matanya melihat ke sekitar bangunan tersebut. Galeri Kin terdiri dari tiga lantai dan cukup luas. Lantai satu bentuknya memanjang. Untuk menuju ruang kerja pria itu, mereka harus melewati selasar, di mana bagian kiri dan kanan terdapat kaca sebagai pembatas. Ada taman hijau yang menjadi penyejuk mata. Sungguh, Anya sangat takjub dengan bangunan ini. “Silakan masuk,” ucap Kin. “Maaf kalau ruang kerja saya, jauh dari kata rapi dan bersih.” Anya melihat ke setiap sudut ruangan yang lampunya berwarna kuning. Matanya sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di ruangan itu. “Setahuku, orang seni bekerja memang seperti ini.” Makanan yang dibawa, Anya letakkan di atas meja yang tidak terdapat benda penunjang pekerjaan Kin. Sisanya tidak ada tempat karena sepertinya sebelum ini, pria itu memang sedang melakukan pekerjaannya. “Mas, aku bawa menu makan siang. Siapa tahu Mas Kin belum makan, jadi aku beli nasi ayam betutu. Kita makan sama-sama.” Kin menghampiri Anya yang tengah mengeluarkan bungkusan. “Ayam betutu?” “Iya. Mas Kin suka, nggak?” “Suka, sangat suka. Salah satu makanan yang paling saya suka selama di Bali,” jawabnya antusias. “Syukurlah. Kalau begitu, ayo makan dulu, Mas.” Meja bundar yang ada di dalam ruangan, menjadi tempat yang nyaman untuk menyantap makan siang. Apalagi berdua, bisa sambil bertukar cerita. Anya sangat senang karena pria di hadapannya nampak lahap menikmati makanan yang ia bawakan. Anya mencuri pandang ke arah Kin. Tersenyum melihat pria itu yang fokus dengan makanannya. Keadaan ini seakan memancing imajinasi Anya. Ia merasa seperti sedang makan siang bersama dengan pacarnya. “Kenapa lihat saya seperti itu? Apa ada nasi di wajah saya?” Pertanyaan Kin membuat Anya terkejut sekaligus panik. Bagaimana bisa ia tertangkap basah sedang memperhatikan pria di hadapannya. “Ah? Enggak Mas. Aku suka lihat Mas Kin makan dengan lahap.” “Padahal saya yang undang kamu ke sini tapi malah kamu yang repot bawa makanan.” “Santai Mas. Bukan hal yang berlebihan. Lagian aku juga belum makan, jadi sekalian saja.” Kin tersenyum samar. “Kamu baik sekali padahal kita baru kenal,” gumamnya. Pujian Kin hanya ditanggapi senyum oleh Anya. Padahal di dalam hatinya, ia sedang berbunga-bunga. Setelah selesai menyantap makan siang, Anya diajak oleh Kin untuk melihat-lihat lukisan hasil karya Kin. Dimulai dari lantai satu dan berakhir di lantai tiga. Sedikit banyak Kin mencoba menjelaskan beberapa hasil karyanya. Dan Anya begitu antusias mendengarkan. Mereka seperti sedang kencan di galeri. “Zeevanya.” “Iya Mas?” “Entah ini perasaan saya saja, atau memang kenyataannya seperti ini. Kamu terlihat sangat antusias mendengarkan dan memperhatikan lukisan di sini. Apa kamu pura-pura atau memang benar-benar menikmati?” tanya Kin. Anya terdiam sejenak, mencerna pertanyaan dari pria di sebelahnya. Bukan pertanyaan yang berbelit-belit, tapi cukup mengejutkan. “Buat apa pura-pura, Mas? Lagian, kalau nggak suka, sudah pasti aku nggak akan ke sini.” “Jadi kamu mengerti dengan apa yang saya jelaskan?” “Mengerti. Mendiang papaku sangat menyukai lukisan. Karena papa sudah meninggal, jadi aku berusaha mengobati rindu dengan melihat koleksi lukisannya. Mencari tahu sedikit-sedikit tentang hobinya papa,” jelas Anya. “Papa kamu suka lukisan?” Wanita itu mengangguk dengan pandangan mata tertuju ke sebuah lukisan di depannya. “Benar. Kapan-kapan Mas Kin lihat koleksinya, ya. Masih aku coba rawat sebaik mungkin, karena sangat berarti buatku.” “Boleh.” “Mas, aku boleh tanya sesuatu?” “Silakan.” “Kenapa Mas Kin bisa berpikir kalau aku pura-pura suka dengan lukisan?” tanya Anya. Kedua tangan Kin masuk ke dalam saku celananya, lalu mengangkat bahunya ringan. “Saya terlalu sering bertemu wanita yang pura-pura suka dan mengerti tentang lukisan, hanya demi menarik perhatian saya,” jawabnya. Kin lantas menoleh dan berkata, “Maaf kalau saya punya pikiran seperti itu terhadap kamu.” “Maksudnya, mereka suka dengan Mas Kin?” “Yah, mereka mengaku sendiri seperti itu.” Anya mengangguk paham. “Mungkin saking inginnya dekat dengan Mas Kin, makanya mereka begitu.” “Tidak harus menyukai apa yang saya sukai, untuk bisa dekat dengan saya,” ujarnya. Lagi-lagi Kin menoleh ke samping sehingga mereka saling beradu pandang. “Cukup jadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura, itu jauh lebih menarik bagi saya.” Kalimat yang terlontar dari bibir Kin, berusaha Anya pahami. Ia tidak mengatakan apa-apa karena merasa Kin seperti sedang membagi rahasia kepadanya. Dan Anya pikir, tanpa sadar selama ini sikapnya seperti apa yang pria itu katakan. “Apa mungkin Mas Kin merasa, kalau selama ini aku selalu bersikap apa adanya?Atau aku yang terlalu percaya diri?” Anya membatin. Tatapan Kin kepada Anya berakhir karena suara dering ponsel di saku celananya. Pria itu langsung melihat siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya muncul sebagai penelepon. “Anya, saya angkat telpon dari mama saya dulu, ya.” Anya mengangguk. “Iya Mas.” Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Anya bisa melihat wajah semringah Kin yang sedang bicara di telepon. Ia ikut tersenyum dan menebak kalau hubungan pria itu dengan ibunya cukup dekat. “Sebagai laki-laki, Mas Kin terlihat sangat sempurna,” gumamnya. “Tapi aku belum tahu, kenapa dia bisa berstatus sebagai duda?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN