7. SEBUAH PENGAKUAN

1894 Kata
Anya menatap ke arah luar jendela kamarnya yang langsung menghadap ke kamar Kin. Lampunya menyala tapi remang-remang. Jendelanya masih terbuka dan hanya tertutup gorden. Sepertinya si pemilik kamar lupa menutupnya. Anya sedikit heran dengan kebiasaan Kin yang sangat berbahaya ini. “Pergi ninggalin rumah dengan keadaan jendela masih terbuka. Mas Kin benar-benar ceroboh,” gumam Anya. Sekelebat bayangan mengenai apa yang Kin katakan barusan tentang Vika, muncul di ingatan Anya. Senyum tiba-tiba menghiasi wajah tanpa ia sadari. Reaksi yang cukup aneh terhadap sesuatu yang bukan merupakan urusannya. Entah sejak kapan, hal menyangkut Kin menjadi berarti baginya. “Kenapa aku senang saat dengar Mas Kin bilang kalau wanita itu bukan pacarnya? Apa aku sudah tidak waras?” “Zeevanya?” Anya terkesiap saat ada yang memanggil namanya. Ia menoleh ke segala arah, bahkan ke kamarnya karena panik serta takut. Siapa yang tidak bereaksi begitu karena mendadak ada yang memanggil namanya disaat sudah malam. “Hei! Kenapa kamu panik begitu?” Akhirnya pandangan matanya menangkap sosok pria yang tengah berdiri di seberang rumahnya. Lebih tepatnya di kamar seberang. Siapa lagi kalau bukan Kin, tengah melihatnya dengan tatapan heran. Selain itu, Kin sudah berganti pakaian dengan baju tanpa lengan, kembali mengingatkan Anya pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Bedanya, kini rambut pria itu diikat, sehingga semakin memperlihatkan rahangnya yang tegas. Anya tidak habis pikir, mengapa pria itu nampak sangat berbeda dengan beberapa pria yang ia kenal. Mampu membuatnya sulit berkedip dan menolak pesonanya. “Astaga Mas Kin!” seru Anya dengan perasaan lega. “Aku pikir siapa.” “Kenapa kamu melamun? Bukannya tadi bilang mau mandi?” Anya mengusap tengkuknya meski tidak merasakan apa-apa. Dilakukan demi mengurai rasa canggung karena kepergok oleh tetangganya. “Itu Mas …tadi mau cari udara segar sebelum mandi. Terus sekalian kasih tahu Mas Kin kalau jendelanya belum ditutup,” jelasnya. “Oh, jendelanya baru saja mau saya tutup. Terus malah lihat kamu lagi melamun.” “Ya sudah Mas, aku mau mandi dulu, ya.” Kin mengangkat tangan, melambai singkat. “Silakan.” Begitu Anya masuk ke dalam kamar mandi, ia memegang dadanya sebelah kiri. Debar jantungnya tidak biasa. Semakin membuatnya bingung. “Sebenarnya aku ini kenapa? Ada apa dengan reaksi tubuhku saat melihat atau berdekatan dengan Mas Kin?” *** “Mas Kin, harusnya aku yang jemput. Yang mau buka jahitan kan, Mas Kin. Kenapa malah Mas Kin yang repot.” Anya baru saja masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Kin. Pria itu menjemputnya ke Summer Radio saat selesai siaran sore. Tujuannya adalah ke klinik untuk buka jahitan di kening Kin. Tentu yang menawarkan bantuan menemani adalah Anya. Meski Kin menolak, wanita itu tetap ingin menyelesaikan tanggung jawab terakhirnya, atas apa yang sudah ia lakukan terhadap pria itu. “Kamu baru selesai siaran, kalau jemput saya, yang ada kamu terjebak macet.” “Iya juga sih, Mas. Jalanan Denpasar semakin padat, apalagi jam pulang kerja,” ujar Anya. “Yuk Mas, kita berangkat sekarang.” Kin tersenyum menatap Anya. Lalu tiba-tiba pria itu mendekat, sambil berkata, “Sorry, tapi kamu lupa pakai sabuk pengaman.” Seketika Anya mematung di tempatnya. Membiarkan Kin memasangkan sabuk pengaman yang lupa ia pakai. Berdekatan seperti ini, Anya bisa mencium aroma parfum Kin. Wangi musk yang manis dan lembut, membuat para wanita betah mencium aromanya. “Oke, sudah beres. Kita berangkat sekarang.” Anya bernapas kembali setelah beberapa saat ditahan karena terkejut. Mendadak ia merasa canggung dan wajahnya juga terasa panas karena malu. “Makasih, Mas.” Hanya itu kalimat yang bisa Anya ucapkan. Selebihnya pikirannya lumpuh, sulit untuk merangkai kata-kata. Untungnya Kin fokus mengemudi, sehingga tidak sadar dengan apa yang terjadi. “Bagaimana siarannya, lancar?” tanya Kin memecah kesunyian. Anya mengangguk santai karena sudah tidak gugup lagi. “Lancar, Mas.” “Sudah berapa lama kamu bekerja sebagai announcer?” “Satu tahun sebelum lulus kuliah.” Kin menoleh singkat. “Wah, kamu kuliah sambil kerja?” “Iya Mas. Summer Radio juga tempat aku magang. Jadi setelah lulus, aku diangkat jadi karyawan tetap. Tapi ada pekerjaan lain juga kok.” “Pekerjaan lain lagi?” Kin penasaran “Iya. Kadang suka ada yang pakai jasaku sebagai MC di acara formal atau non formal. Selama bisa dan sanggup, aku ambil saja. Seru bisa nambah banyak pengalaman dan juga bisa dapat uang,” jelas Anya. “Keren sekali.” Anya mengulum senyum, merasa tersanjung atas reaksi pria di sebelahnya. “Bukan hal yang spesial, Mas. Karena masih banyak yang jauh lebih keren dari aku.” “Memang. Tapi ini kali pertama saya kenal dengan orang yang bisa menyelesaikan kuliah, sambil bekerja.” Obrolan mereka berakhir karena mobil sudah sampai di tempat tujuan. Seperti biasa, Anya membantu Kin melakukan registrasi sebelum nanti mendapat tindakan. Anya yang ceriwis dan ceria, berhadapan dengan Kin yang polos serta penyabar, membuat keduanya menjadi mudah akrab. Bahkan ada yang mengira kalau mereka pasangan suami istri hingga menyebabkan Anya dan Kin merasa canggung. “Akhirnya Mas Kin sembuh total. Lega sekali rasanya,” gumam Anya saat meninggalkan klinik. Kin tersenyum mendengar pengakuan polos Anya. “Padahal kamu tidak perlu merasa terbebani. Saya bisa pergi ke klinik sendirian.” “Jangan salah paham, Mas. Apa yang aku lakukan sekarang, sama sekali bukan sebuah beban. Malah senang rasanya bisa nemenin Mas Kin buka jahitan.” “Sebenarnya kamu masih merasa bersalah, kan?” Anya mengangkat bahunya ragu. “Mungkin iya, masih ada rasa bersalah. Tapi rasa senang membantu sesama tetangga, jauh lebih besar daripada rasa bersalah.” “Baiklah, saya akan percaya,” ujar Kin. Lantas menoleh singkat ke samping. “Bagaimana kalau saya traktir kamu makan. Terserah di mana saja. Anggap sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah jadi tetangga yang baik.” “Boleh. Aku nggak akan nolak sih, kalau urusan makan,” jawabnya dengan wajah senang. “Jarang saya ketemu wanita yang semangat kalau diajak makan. Apalagi saat malam hari.” Kening Anya mengkerut, lalu menoleh ke sebalah. “Maksudnya, Mas Kin tumben ketemu wanita rakus seperti aku?” Pertanyaan polos Anya berhasil membuat Kin tertawa renyah. “Loh, kok malah ketawa?” tanya Anya lagi dengan ekspresi wajah bingung. “Tidak, apa-apa. Jangan salah paham,” ucap Kin. “Maksudnya, biasanya kebanyakan wanita selalu menjaga pola makan saat malah hari biar tidak gendut. Tapi ternyata kamu beda dan saya suka.” Kalimat terakhir Kin berhasil membuat Anya terdiam dengan debaran jantung yang tidak biasa. Ia terlalu senang meski kata-kata itu terdengar ambigu. Saking bahagianya, Anya sampai menggigit bibirnya tanpa. “Kita mau makan di mana? Sebaiknya kamu yang tentukan karena saya kurang tahu makanan enak di sini.” “Baiklah.” Mobil yang dikemudikan Kin akhirnya parkir di area Pasar Kreneng yang letaknya di Denpasar Utara. Dari pagi hingga siang, pasar ini berfungsi sebagai pasar tradisional. Sedangkan malam hari, ramai akan penjual beraneka jenis makanan. Kin yang sudah setahun lebih di Bali, baru kali ini datang ke tempat ini. Sebelum mengenal Anya, kehidupannya hanya berputar di galeri dan galeri. Atau pergi ke beach club untuk bertemu dengan klien atau teman dekat dan itu pun tidak sering. “Mas Kin nggak masalah kan, kalau kita makan di sini?” Kin menggeleng santai. “Sama sekali tidak. Malah senang karena akhirnya saya bisa ke sini.” “Ini kali pertama?” tanya Anya lagi. “Iya. Hidup saya terlalu monoton dan membosankan. Jadi untuk tahu tempat kuliner atau restoran yang enak di Bali, saya sangat payah,” jelasnya. Anya pun mengangguk paham. “Baiklah. Kita makan di tempat langgananku biar Mas Kin nggak kapok datang ke tempat ini.” Tempat yang dituju Anya bersama Kin adalah warung soto yang terkenal enak. pelanggannya cukup banyak. Untung saja saat mereka datang, ada meja kosong sehingga tidak harus antri atau menunggu lama. Keduanya memesan menu utama di warung tersebut. Tidak lupa, nasi jinggo sebagai pelengkap soto. Cuaca yang sudah mulai dingin, sangat pas jika menikmati soto yang hangat. Membuat perut terasa nyaman sekaligus kenyang. “Saya sempat ragu dengan rasanya. Tapi ternyata enak,” ucap Kin saat selesai mencicipi kuah soto yang mengeluarkan aroma sedap. Anya tersenyum senang. “Syukurlah kalau masuk lidahnya Mas Kin. Nasi jinggonya juga enak, Mas. Coba deh nasi dicampur sama sambalnya, makin mantap.” Kin pun menuruti ucapan Anya. Ekspresi wajahnya yang excited menjadi berubah meringis. Nampak Kin merasakan pedas pada sambal yang baru saja dicicipi. “Kenapa Mas?” Pria itu mengambil es jeruk lalu diteguknya cepat. Bahkan wajahnya nampak merah. “Saya pikir sambalnya tidak terlalu pedas. Jadi lidah saya sedikit kaget.” “Mas Kin nggak suka pedas?” “Bukan tidak suka. Cuma tidak terlalu kuat.” “Oh begitu. Ya sudah, sebaiknya jangan dimakan lagi karena nasinya sudah tercampur sambal.” Kin menggeleng lalu berkata, “Tidak baik membuang makanan. Tenang saja, saya bisa habiskan, kok.” Keduanya menikmati makanan masing-masing sambil bercengkerama. Lalu lalang orang yang ada di sekitar, seakan tidak jadi masalah. Bukan kafe yang tenang, atau restoran mewah, Kin terlihat santai meski berada di tempat yang tidak familier baginya. “Jadi Mas Kin sudah setahun lebih di Bali. Tapi kenapa buka galeri di daerah Kerobokan?” tanya Anya. “Biasanya orang buka galeri di daerah Ubud atau Kuta.” “Karena di sana sudah terlalu banyak, jadi saya pilih di tempat lain. Tidak jauh dari kota Denpasar atau lokasi wisata lainnya. Jadi orang-orang tidak perlu pergi jauh untuk menikmati karya seni saya.” “Sejauh ini, apa prospeknya bagus?” “Cukup bagus. Walaupun tujuan saya bukan hanya soal jumlah kunjungan atau berapa uang yang saya dapatkan,” jawabnya. “Saya membuka galeri seni, karena saya ingin kembali fokus dan mencari tempat yang nyaman untuk memperkenalkan hasil karya saya,” sambungnya. “Oh …” Anya mengangguk paham. “Aku salut sama Mas Kin. Kepuasan berkarya bukan hanya masalah berapa jumlah materi yang didapat, tapi bagaimana menyalurkan dan menghargai seni yang dihasilkan.” Ucapan Anya membuat Kin tersenyum. “Saya tidak munafik, Anya. Saya juga butuh uang. Tapi saya jauh lebih bahagia saat karya yang saya hasilnya memiliki tempat yang istimewa. Saya bisa saja buka galeri di Jakarta dan mendapatkan banyak uang di sana. Tapi saya tidak memilih itu karena tujuan utama saya bukan mengejar uang tapi sebuah kehidupan yang baru.” Anya sampai tertegun mendengar penuturan Kin. Bahkan mengabaikan makanannya karena terlalu fokus. Hal bijak yang jarang ia dengar dari seseorang dan Kin berhasil membuatnya kagum. Tetapi, kalimat terakhir membuatnya sedikit penasaran. “Kehidupan baru? Maksudnya?” Kin menggeleng, sambil mengulas senyum tipis. “Bukan apa-apa.” “Oh.” Anya merasa tidak perlu bertanya terlalu jauh. “Kapan-kapan kamu datang ke galeri saya. Biar kamu tahu, apa saja yang ada di sana,” ucap Kin. “Serius, Mas?” Pria itu mengangguk sambil mengunyah kembali makanannya. “Tentu saja. Kalau kamu tidak datang, saya akan sedih.” “Kenapa sedih?” “Karena tawaran saya diabaikan,” jawabnya. “Tentu saja tawaran Mas Kin akan aku terima dengan senang hati.” “Kamu bisa ajak teman atau siapa pun. Jangan ajak Arlo karena dia sudah cukup sering ke tempat saya. Ajak pacar kamu saja, pasti seru. Anggap kencan di galeri.” Anya mengerucutkan bibirnya, lalu menggeleng pelan sebelum melakukan pengakuan. “Aku jomlo, Mas.” Kedua alis Kin bertaut dengan senyum tipis nampak di wajahnya. “Kamu bercanda?” “Kalau saya punya pacar, mana mungkin bisa pergi dan makan berdua dengan Mas Kin,” jawabnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN